Darurat literasi. Itulah diksi yang sering saya pakai untuk menggambarkan situasi membanjirnya informasi saat pandemi. Malas membaca dan berpikir mengulik sebuah berita juga turut berdampak pada konflik di tengah masyarakat. Ditambah lagi, perbedaan tidak lagi dilihat sebagai hal yang lumrah ketika semua berkehendak untuk memaksa yang lainnya sama.
Hari ini media sosial sudah menjadi kebutuhan, khususnya bagi kalangan anak-anak muda. Banyak generasi muda menghibahkan waktu dan pikiran untuk berkreasi sesempurna mungkin di medsos. Barharap banyak yang memuji (like) dengan memamerkan segala hal yang dipunyainya. Konseptualisasi eksistensialisme menjamur sejak dini ketika anak-anak sudah mulai mahir “menjual diri” di media sosial.
Setiap orang sibuk mencari jati dirinya. Aktualisasi diri banyak dikembangkan melalui sarana digital. Sampai pada titik dimana pasar ekonomi ada di pundak teknologi. Berlomba mencari penghasilan dari internet hingga melakukan aktivitas di luar kemanusiaan seperti pelecehan seksual, penipuan, politik adu domba, penyebaran aib, dan lain sebagainya.
Di dunia nyata dikenal sebagai orang pendiam, di dunia maya menjadi beringas dengan mengumbar umpatan dan caci maki. Budaya kebencian dipupuk sejak informasi dibuka lebar di internet. Belum siap menerima beragamnya perbedaan sudut pandang dalam menilai sesuatu. Berbeda dianggap musuh. Tokoh nasionalis berjuang menyatukan bangsa, kemudian dipecah belah sebab rendahnya literasi dan kapabilitas berpikir.
Tak cukup di situ, judul yang kontroversial telah menjadi konsumsi masyarakat untuk menguatkan argumen dan menyalurkan hasrat kebencian kepada yang dianggap musuh. Meramu kata yang dapat menyugesti masyarakat agar antusias berjuang di dalam kelompoknya. Sekali lagi, malas mengumpulkan informasi lain dan mengecek kebenarannya. Masyarakat hanya menjadi budak yang tidak mau melawan terhadap perilaku penjajahan digital.
Hanya tertarik pada eksistensi (bentuk) daripada esensi (fungsi dan tujuan). Menjadi manusia yang tekstualis dari banyak konteks yang bisa dijadikan rujukan dalam menilai sebuah permasalahan. Media sosial yang seharusnya menjadi alat komunikasi malah jarang digunakan untuk berdiskusi, selain ujaran kebencian dan caci maki.
Data mengenai pengguna internet mungkin bisa diketahui, namun data pengguna internet yang bijak menyikapi permasalahan masih sulit diketahui. Hanya kesimpulan bahwa warganet di Indonesia disinyalir paling tidak sopan di dunia. Bagaimana bisa sopan kalau penggunanya masih minim literasi dan malas mencari konteks permasalahan?
Tokoh Publik
Pengaruh media sosial menjadi jalan pintas seseorang untuk menjadi tokoh publik. Banyak artis dan politisi yang diberikan tempat bukan karena prestasi, namun karena sensasi. Ketika manusia tidak cukup dengan eksistensi yang disediakan media sosial, mereka berlomba mengumbar sensasi agar jangkauan eksistensinya lebih luas.
Era teknologi digital, prestasi tidak lagi didapat dari perjuangan panjang berlatih dan menimba ilmu dari berbagai pendidikan. Media sosial seolah menjadi jalan pintas untuk meraih ketenaran dan kekayaan. Terkenal adalah bentuk cita-cita masyarakat modern saat ini. Melakukan apa pun yang disukainya dengan mendapat atensi yang besar dari masyarakat.
Buruh atau karyawan mulai mengaktifkan diri di media sosial. Ketika jenuh dengan rutinitas pekerjaan, media sosial menjadi alat menyalurkan hasrat eksistensinya. Gelisah menunggu respons dan bergairah untuk berdebat (adu argumen). Kebijaksanaan manusia terdistorsi pada bentuk tampilan luar tanpa sudi mengupas esensi di dalamnya. Manusia menjadi penipu dan gampang ditipu.
Dalam konsep dasar ekonomi, keinginan manusia tidak terbatas. Mengabaikan esensi, meninggalkan eksistensi, dan sibuk membuat sensasi. Bahkan ketika sadar bahwa konsep dasar ekonomi berbanding terbalik dengan kebutuhan sumber daya alam yang terbatas, teknologi kembali menyediakan impian kehidupan visual yang dinamai: Dunia Metaverse.
Akibatnya sering muncul kesalahpahaman dan silang pendapat sebab menurunnya keinginan mencari tahu esensi di balik sebuah kejadian. Menyimpulkan sesuatu dengan ringan berdasarkan apa yang dilihat dan didengar saat itu juga. Masyarakat modern benar-benar ingin dimanjakan dan dimudahkan melakukan segala sesuatu, tanpa kemauan berpikir lebih.
Menduduki posisi tokoh publik membuatnya bisa mempengaruhi banyak orang agar sama (mendukung argumennya). Menjadi populer meskipun dengan risiko mengumbar aib (sensasi) dirinya sendiri. Semakin berani melontarkan pernyataan dan perilaku yang kontroversial, semakin besar potensinya untuk terkenal.
Dari problematika budaya bermedia sosial di atas menunjukan bahwa betapa tidak pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi manusia. Kekayaan dan kepopuleran tidak diukur dari rajinnya seseorang belajar di sekolah maupun serius ikut pelatihan. Percuma berprestasi kalau masyarakat lebih antusias memperhatikan sensasi. Percuma dipaksa membeli buku sekolah kalau ketika dewasa malas membaca.
Ruang pendidikan tidak menyediakan anak didiknya untuk mengaktualisasikan diri dan membekalinya pemahaman tentang pentingnya berliterasi. Sehingga mereka mencari ruang yang lain untuk mengekspresikan diri. Pamer diri agar tetap eksis di ruang publik. Kalau perlu dengan membuat sensasi.