Masyarakat NU Madura Harus Belajar dari Persahabatan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan

Saya bisa mengklaim bahwa sejak lahir saya sudah menjadi warga Nahdlatul Ulama (NU). Terlahir sebagai perempuan Madura, rasanya sangat tidak mungkin jika tidak menjadi NU. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat NU.

Tidak heran kemudian muncul ungkapan yang cukup fenomenal: agama orang Madura adalah NU. Padahal, kalau ditanya tentang struktural NU, seperti IPPNU, IPNU, PBNU, BANSER, dan lain-lain, saya yakin masyarakat Madura di kalangan bawah, seperti ibu dan bapak saya, tidak paham. Mereka hanya mengerti bahwa mereka adalah NU. Wes cukup!

Sebutan tersebut rasanya sejalan dengan pemahaman dan pandangan yang tercipta yakni, selain orang NU adalah sesat. Argumen tersebut diperkuat oleh kalimat-kalimat yang disampaikan oleh masyarakat tentang masyarakat Muhammadiyah yang cukup berbeda dengan NU. Dalam persoalan tradisi misalnya. Di kampung saya, tradisi tahlilan hingga hari ke-7 untuk memperingati orang meninggal, dzikir sehabis adzan dan sholat, hingga pembacaan burdah tiap jumat, masih menghiasi kehidupan masyarakat. 

Tidak hanya itu, sejak kecil saya melihat sendiri betapa kentalnya tradisi NU di kampung saya. Saat itu, saat Ramadhan tiba, semua langgar di kampung “mengambil formasi” 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir. Ritual itu sangat berbeda dengan Muhammadiyah yang hanya melaksanakan 8 rakaat dan 3 rakaat witir. Melihat tetangga jauh yang kebetulan Muhammadiyah, bapak dan ibu saya menjelaskan dengan singkat, “Mereka berbeda. Gak sama kayak kita. Ingat! Gak usah ikut-ikutan. Mereka sesat,” kalimat tersebut sangat jelas terngiang-ngiang dalam pikiran saya hingga hari ini.

Pengalaman empiris itu membuat saya yakin kalau kegiatan di atas adalah bagian dari ekspresi keagamaan yang saya miliki. Di samping itu, dengan pengalaman hidup di lingkungan homogen, saya mengklaim bahwa hal itu benar. Saya menganggap Muhammadiyah tidak memiliki kegiatan seperti kaum Nahdliyin. Hal itu menjadikan mereka kelompok masyarakat yang tidak bisa saya terima secara akal dan perbuatan.

“Kok bisa ya, ada orang yang tidak tahlilan, tidak ziarah, tidak baca qunut, dan hari rayanya selalu berbeda dengan orang lain?” pikir saya waktu itu. 

Keanehan itu ditambah dengan kalimat-kalimat yang disampaikan oleh orang tua tentang Muhammadiyah. Masyarakat sekitar menilai bahwa ia bukan Islam, karena secara ritual keagamaan sangat berbeda dengan masyarakat Madura. Bahkan, pernah suatu waktu ada ide tentang pembuatan kampus Muhammadiyah di Madura. Namun baru ide saja, pembuatan kampus itu sudah ditolak mentah-mentah oleh masyarakat.

Dengan sikap penolakan semacam itu, terbentuklah pemikiran yang selalu menolak apa pun tentang Muhammadiyah. Pikiran eksklusif itu pernah saya rasakan betul dengan menolak mentah-mentah masyarakat Muhammadiyah.

Hingga pada suatu waktu, melalui fase kehidupan selanjutnya, seperti menempuh pendidikan tinggi, pertemuan bersama teman-teman Muhammadiyah itu membuat saya melakukan refleksi ulang, bagaimana pola pikir masa silam tersebut tidak tumbuh. Tinggal di Yogyakarta, yang notabenenya adalah masyarakat Muhammadiyah, merupakan pengalaman berharga dalam hidup saya untuk meng-counter pemikiran itu.

Pernah suatu ketika, saya pindah dari kosan dekat kampus UGM, daerah Belimbing Sari, ke asrama di daerah Bantul, Yogyakarta. Selama di asrama, kebiasaan sholat jamaah Subuh saya ikuti tanpa qunut. Hingga akhirnya, ketika saya pulang ke Madura dan menunaikan sholat subuh, saya lupa bacaan qunut. Lucu bukan? Rasanya sudah tidak ada NU dalam diri saya.

Lagi pula, melalui pengalaman itu, saya jadi berpikir, lagian kenapa kalau saya bukan NU? Seandainya kalau saya Muhammadiyah juga kenapa? Toh mau NU atau Muhammadiyah ya sama saja. Argumen itu saya perkuat dengan kisah persahabatan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, dua tokoh pendiri NU dan Muhammadiyah.

Di masa silam, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan justru merupakan sahabat karib. Usia keduanya selisih dua tahunan. KH. Hasyim Asyari lahir di Jombang, Jawa timur, 14 Februari 1871. Sedangkan KH. Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868. Panggilan “mas” disematkan oleh Hasyim Asy’ari kepada Ahmad Dahlan.

Pengalaman belajar mempertemukan keduanya, yang kemudian mengantarkan kepada kebermanfaatan kehidupan yang sangat besar. Sama-sama belajar kepada Kiai Saleh Darat, keduanya dipertemukan lewat kesempatan yang cukup unik, yaitu ditempatkan pada kamar yang sama. Dari situlah, persahabatan mereka dimulai. Selama 2 tahun, komunikasi mereka dekat sekali layaknya saudara, kemudian keluar dari pesantren di waktu yang sama.

Setelah sekian lama keluar dari pesantren, keduanya kembali dipertemukan dengan kunjungan KH. Ahmad Dahlan ke Jombang. Kondisi Pesantren Tebuireng di pedesaan, dekat dengan sawah, membuat KH. Ahmad Dahlan merasa kalau itu jadi alasan kehidupan KH. Hasyim Asy’ari yang dinilai tentram dan bahagia. Potret kehangatan atas kerukunan yang terjadi dalam dua persahabatan itu menjadi sebuah pelajaran penting bagi masyarakat Madura.

Masyarakat Madura perlu kiranya melihat hubungan yang tercipta antara dua pendiri organisasi yang berbeda ini. Supaya tidak kaget nantinya kalau tahu bahwa organisasi Muhammadiyah dari segi pendidikan sangat bagus. Kemandirian ekonomi organisasinya juga bagus. Untuk bisa belajar, harus ditopang dengan sikap terbuka menerima perbedaan yang ada. Keluasan berpikir dan sikap toleransi atas perbedaan harus terus dilakukan.

Nah, kalau masyarakat Madura sudah tahu bagaimana mesranya hubungan pendiri Muhammadiyah dengan NU, semoga saja mereka tidak tertarik untuk pindah ke Muhammadiyah. Bisa-bisa sesat semua nanti masyarakat Madura.

  

Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.