Barangkali Gus Dur tak punya riwayat kesehatan asam lambung (Aslam) serius. Ia kita lihat begitu santai dengan setiap keadaan. Ketika ia di ombang-ambingkan Orde Baru, atau saat ia dikritik oleh rival politiknya, Gus Dur tak goyah. Ia tetaplah sumringah. Ia tak hentinya melucu. Bahkan saat ia dimakzulkan pendekar-pendekar politik di Senayan pada 23 Juli 2001 silam, Gus Dur tak berubah. Ia tetap enjoy melangkahkan kaki meninggalkan istana negara dengan perlengkapan tidurnya.
Gus Dur kebal dengan keadaan-keadaan negatif yang melandanya. Bagi kita—mungkin juga yang lain—barangkali tak kuasa menjalani kondisi itu. Stres hingga depresi mungkin tak jauh-jauh. Asam lambung mungkin tak absen pula. Tetapi Gus Dur, sejarah mencatat ia tak lemah. Imunnya tak melejit turun saat ia diturunkan sewenang-wenang oleh majelis yang terhormat di Senayan. Ia manusia sabar saat kedzaliman menerpanya.
Tetapi sepak terjang Gus Dur, entah sepanjang ia menjadi sosok wahid di NU, atau saat ia menjabat presiden ke-4 di republik ini—barangkali membuat sejumlah pihak bagai dilanda asam lambung akut plus gerd. Kita tahu, secara medis asam lambung plus gerd memberi sensasi yang dahsyat beraneka ragam pada penderitanya dengan durasi yang tak terkira. Itu karenanya, penyakit yang satu ini digelari “penyakit sejuta sensasi”. Secara umum, sensasi yang muncul tak jauh-jauh dari kecemasan berlebih, kliyengan, dada berdebar, jalan sempoyongan, tubuh gemetar, kepala sakit, gigi rapuh, dan sebagainya.
Saat menduduki posisi wahid di PBNU, Gus Dur seringkali melontarkan pernyataan yang kadangkala membuat kekuasaan dan orang ramai sakit kepala hingga kliyengan bak penderita asam lambung. Pernah di suatu masa, Gus Dur berkomentar enteng dalam merespons fenomena kekerasan atasnama pembelaan agama, “Tuhan tak perlu dibela”, katanya. Pernyataan ini ditujukan pada mereka yang gencar meneriakkan pencinta Islam dengan menghardik umat non-Islam.
Lantas di tahun 1991, Gus Dur mencemas-cemaskan kekuasaan Orde Baru. Ia menolak masuk ICMI, organisasi cendikia yang dipimpin BJ. Habibie atas restu Soeharto. Gus Dur menolak karena ia berpandangan bahwa ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat di negeri ini. Gus Dur lalu melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi (Fordem), organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Kecemasan Orde Baru dengan elit-elitnya sulit ditampik di sini.
Reshuffle kabinetpun menjadi pemicu “aslam” dalam pemerintahan Gus Dur. Sejak ia presiden reshuffle kabinet dilakukannya sebanyak 13 kali. Padahal ia menjabat sebagai presiden tak genap dua tahun. Kita tahu, reshuffle kabinet tradisi baru dalam pemerintahan di zaman itu, sebab di zaman Soeharto reshuffle mustahil terjadi. Namun, tak dipungkiri reshuffle ala Gus Dur memicu Aslam akut sejumlah pihak.
Lihat saja misalnya, ketika ia menempatkan Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung. Walau pendekar hukum itu tak cukup sebulan menjabat Jaksa Agung, namun sepak terjangnya memicu kumatnya Aslam pihak tertentu, setidaknya cemas yang bergelora. Lopa seolah predator koruptor di zaman itu. Ia dengan gesit memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta.
Baharuddin Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Lopa juga turut menyelidiki keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gerakan Lopa yang dahsyat itu mencemaskan banyak pihak. Dan mungkin yang paling mencemaskan adalah dimulainya upaya penangkapan Tommy Soeharto dimasa pemerintahan Gus Dur. Para kroni Cendana cemas tak terkira.
Begitulah Gus Dur. Ia sebenarnya adalah pahlawan yang mencemaskan kaum bejat. Dalam pergulatannya ia melakukan tindakan sederhana namun menakjubkan. Dengan situasinya yang terbatas, dan dengan keterbatasan kekuasaannya saat memimpin negeri ini ia menorehkan hal banyak diwaktu yang sedikit. Ia menjangkau yang bukan kaumnya. Ia mencairkan sumbatan-sumbatan ketatanegaraan kita. Ia memisah Polri dari TNI dengan damai. Ia merangkul minoritas yang terpukul. Ia menegakkan hukum sebagaimana seharusnya. Kebebasan berekspresi ia perbaiki. Demokrasi ia galakkan.
Kita tahu Gus Dur melakukan itu semua dengan nekat tetapi dengan prinsip kuat dan keberanian—kebenaran yang hampir tak terdapat pada siapa pun. Mungkin kita “berani” tetapi belum tentu “benar”. Barangkali kita “benar” tetapi kita tak “berani”. “Berani” saja tak cukup, “benar” semata tak genap. Cermat perlu, sebab keberanian yang dibenar-benarkan segera menerbitkan keonaran. Dan Gus Dur memadukan keduanya secara proporsional tanpa keonaran.
Itulah Gus Dur, dengan sepak terjangnya para penjahat demokrasi cemas tak lepas. Mereka bak pengidap asam lambung tingkat dewa, senantiasa dibaluti kecemasan akut. Dan memang nampaknya bangsa ini butuh pemimpin yang mencemaskan penjahat demokrasi. Kita tak perlu pemimpin yang ditertawai penajahat-penjahat demokrasi.
(Artikel ini pertama kali dimuat di Tribun Timur, 12/10/2022)