Hierarki Pengabdian Gus Dur

Bulan kemarin diperingati Haul Gus Dur ke-13. Berbagai kegiatan diskusi digelar tentang pemikiran dan pengabdian Gus Dur. Bagi saya, membaca Gus Dur perlu pembacaan yang holistik. Karena pembacaan yang parsial tentang Gus Dur akan membawa kita dalam pemahaman yang salah tentang siapa itu Gus Dur.

Banyak yang salah paham terhadap Gus Dur. Mulai dari pemikiran keislamannya, cara memimpin NU, sewaktu jadi presiden, pemihakannya kepada golongan minoritas, dan lain sebagainya. Tetapi tidak sedikit juga yang paham jalan pemikirannya. Yaitu pemahaman keagamaannya yang pluralistik, sangat demokratis, memberikan kebebasan berpendapat dalam berdemokrasi, memberikan tempat yang sama dalam melayani berbagai agama, mengakui agama Konghucu sebagai satu agama, mengutamakan wawasan kebangsaan untuk menjaga keutuhan bangsa, dan lainnya.

Dalam peringatan Haul Gus Dur ke-13 di Ciganjur, salah seorang putrinya yakni Alissa Wahid memberikan pengantar di acara tersebut. Gus Dur pernah berpesan kepada keluarganya bahwa dalam hal pelayanan atau perhatian, Gus Dur akan memprioritaskan atau mengedepankan agama atau keislaman, kemudian Indonesia atau keindonesiaan, kemudian Nahdlatul Ulama atau NU, dan yang terakhir adalah keluarga.

Itulah hierarki pengabdian kehidupan dalam Gus Dur. Sang Kosmopolit itu lebih memprioritaskan bagaimana menerjemahkan keislaman yang dia pahami, yaitu keislaman yang mengedepankan pemahaman universal tanpa tersekat-sekat oleh primordialisme. Islam ala Gus Dur adalah keislaman yang terbuka, keislaman yang lebih mengedepankan visi kemanusiaan.

Salah satu yang menjadi pemikiran universal Gus Dur dalam keislaman untuk konteks keindonesiaan adalah melakukan penerjemahan Islam lewat pribumisasi Islam. Pemikiran ini lebih banyak memberikan nuansa keberislaman di Bumi Nusantara. Berislam dengan mengakomodasi budaya-budaya lokal yang banyak membantu ketersebaran keislaman secara lebih cepat. Pemikiran Gus Dur lewat pribumisasi ini sangat membantu penyebaran keislaman yang lebih menyentuh karena aspek budaya yang menjadi motor dalam proses pembumian ajaran Islam.

Pemikiran keislaman Gus Dur yang sangat mengindonesia itu tidak terlepas dari aspek perjalanan intelektual Gus Dur yang berangkat dari nilai-nilai pesantren tradisional. Gus Dur tumbuh di lingkungan pesantren tradisional Tebuireng, Krapyak, dan Tegalrejo Magelang. Dari sini Gus Dur banyak menimba disiplin keilmuan Islam tradisional seperti ilmu fiqh, tafsir-tafsir klasik, hadis, tasawuf, dan ilmu-ilmu bahasa, khususnya tata bahasa klasik yang merupakan masterpiece dari pesantren-pesantren tradisional, serta ilmu-ilmu lainnya.

Di samping penguasaan terhadap keilmuan Islam tradisional, Gus Dur mampu mengakses keilmuan modern seperti sosiologi dan antropologi berkat pengalaman pengembaraannya di Timur Tengah, yaitu dalam menimba ilmu di Universitas Al Azhar dan Universitas Baghdad. Kedua universitas ini adalah universitas terbesar di Timur Tengah dan kiblat ilmu pengetahuan, khususnya kajian-kajian keagamaan. Untuk menambah ilmu di bidang keilmuan modern, Gus Dur juga menyempatkan diri mengunjungi berbagai negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, dan negara Eropa lainnya.

Hierarki berikutnya dalam pengabdian Gus Dur adalah kecintaannya pada Indonesia. Nilai-nilai keindonesiaan menjadi bagian pemikiran Gus Dur. Sebagaimana dalam perjuangan NU yang menjadi kiblatnya dalam mengampanyekan nilai-nilai keindonesiaan yang telah diperjuangkan oleh pendahulunya, yakni para pendiri NU yang mengedepankan nilai-nilai nasionalisme dan keindonesiaan.

Gus Dur sangat ingin merawat Indonesia yang pluralistik, juga memperjuangkan hak-hak minoritas yang banyak mengalami ketidakadilan terhadap keberadaannya. Gus Dur ingin perlakuan terhadap berbagai kelompok aliran yang ada di Indonesia sesuai dengan jaminan undang-undang. Sangat kental jiwa patriotisme yang dimiliki oleh seorang Gus Dur. Ia sangat menginginkan Indonesia yang berbineka dan plural tetap dipertahankan sebagai bagian ajaran keagamaan yang universal.

Hierarki berikutnya yang menjadi perhatian Gus Dur adalah organisasi yang menjadi tempat berpijak dalam pengembangan intelektualnya, yaitu NU. Gus Dur tidak bisa dipisahkan dari NU. Bahkan muncul ungkapan bahwa Gus Dur itu adalah NU dan NU adalah Gus Dur. Bahkan Gus Dur-lah yang berhasil mengembangkan NU menjadi organisasi yang sangat maju. Bukan hanya maju dalam mempertahankan  aspek kultural dalam beragama, tapi pada masa kepemimpinan Gus Dur aspek pemikiran atau intelektual menjadi lebih menonjol. Gus Dur telah berhasil meletakkan aspek-aspek intelektual dan keilmuan dalam tubuh NU. Kebesaran dan berlimpahnya kader NU itu tidak terlepas dari jasa-jasa Gus Dur. Gus Dur menjadi rujukan sentral oleh para cendekiawan muda NU yang akan melanjutkan tali estafet kepemimpinan NU ke depan.

Generasi-generasi pelanjut NU sekarang ini sangat banyak. NU kebanjiran kader. Banyak kader-kader muda NU yang sangat matang dengan keilmuan tradisional karena memang lahir pendidikan pesantren  dan juga ilmu-ilmu modern juga tidak terlepas dari bagian keilmuan yang mereka pelajari. Dalam kepengurusan NU sekarang ini, khususnya di tingkat pusat, banyak diisi oleh kader-kader muda yang tingkat keilmuannya sangat memadai dan memiliki pemikiran moderat dan punya wawasan kebangsaan yang luas. Mereka ini adalah para pelanjut pemikiran Gus Dur.

Semoga para Gus Dur-Gus Dur muda ini akan tetap menghiasi NU ke depan, sehingga dapat memperjuangkan keislaman yang moderat, keindonesiaan, dan kemanusiaan sebagaimana yang menjadi visi besar Gus Dur.

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.