Mendengar Kang Said Membaca Gus Dur

Di tahun 2000, saat Gus Dur menjadi orang nomor satu di RI, saya masih duduk di kelas 1 SD Guwa Lor, Kabupaten Cirebon. Saat itu bulan Ramadan. Rasanya bangga sekaligus terpuaskan ketika saya bisa berpuasa tanpa menguras tenaga sepanjang hari. Tak ada kelas. Sekolah libur.

Mulai dari situ, Gus Dur merupakan bagian dari tangga-tangga kehidupan yang membangun saya hingga sekarang. Dalam perjalanan tersebut, saya mulai mencari-cari informasi tentangnya, membaca-baca, dan membeli buku apa pun: yang penting terpampang nama Gus Dur.

Di Bandung, 2018, saya merasakan udara segar ketika bisa mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur. Kemudian setelah ikut berproses bersama Komunitas GUSDURian Bandung, makinlah pemikiran dan laku-lampah Gus Dur menyeruak dalam diri saya. Saya belajar tafsir kehidupannya, juga mendekati orang-orang yang dekat dengannya. Hingga setiap ada ruang kesempatan yang membincang perihal Gus Dur, ke mana pun, di mana pun, dan kapan pun, selalu saya datangi. Kecuali takdir bicara lain.

Suatu hari, saya sedang sendiri di dalam kamar. Lampu kamar padam, earphone rapat-rapat menempel pada lubang telinga saya. Saya membuka Youtube dan menonton video tentang bukti-bukti kewalian Gus Dur yang dipaparkan oleh KH. Said Aqil Siradj pada acara Haul Gus Dur tahun 2019. Acara itu sendiri diselenggarakan oleh Majelis Dzikir Hubbul Wathon & Dialektik.id yang dipublikasikan di akun YouTube PP Dzikrul Ghofilin Al-Hasyimiyyah.

“Saya pertama kali kenal Gus Dur tahun 1989, ketika saya masih belajar di Ummul Quro, Makkah,” papar KH. Said Aqil Siradj, atau yang akrab disapa Kang Said.

“Ceritanya begini,” lanjutnya. “Di sana (Makkah) itu apabila melakukan ujian S2 dan lulus, maka artinya di bulan tersebut adalah bulan terakhir menerima beasiswa. Bulan depan sudah tidak menerima. Sampai nanti kalau diterima S3 baru ada beasiswa lagi,” jelas Kang Said melalui mic.

Tujuh atau delapan bulan Kang Said hidup bersama istri dan ketiga anaknya yang masih kecil tanpa biaya hidup dari beasiswa. Akhirnya Kang Said terbersit menjadi imam di Masjid Azziziyah, salah satu masjid swasta di Makkah.

“Saya nekat. Dan menjadi imam masjid di sana itu berat karena harus hadir tepat waktu pada datangnya salat. Alhasil, saya jadi imam itu tidak lillahi ta’ala. Karena ingin menyambung hidup sambil menunggu pengumuman kelulusan penerimaan S3. Tapi, hanya kehendak Tuhan yang mengatur. Jadi, dengan adanya saya sebagai imam, saya dikenal di kalangan para TKI.”

“Ada salah satu TKI yang rajin berjamaah, jadi makmum. Namanya Abdul Hamid dari Kuningan, Wilayah 3 Cirebon, yang masih saudara dengan H. Sulaiman, seorang sahabat Gus Dur.”

“Tepat pada tahun itu H. Sulaiman pergi haji. Bertemu dengan TKI Abdul Hamid ini dan bercerita pada H. Sulaiman bahwa ada mahasiswa dari Indonesia lulus S2 jadi imam masjid, suaranya enak, pinter. Kira-kira begitu.”

Kemudian diajaklah H. Sulaiman salat berjamaah di masjid tersebut. Beberapa hari kemudian ia pulang ke Indonesia, bertemu dengan Gus Dur dan menceritakan tentang seorang Said Aqil Siradj.

“Jadi, seandainya saya tidak jadi imam masjid belum tentu secepat itu kenal dengan Gus Dur,” singkat Kang Said.

Setelah kenal nama Said Aqil, pada saat umroh maupun menunaikan ibadah haji, Gus Dur selalu menginap di kontrakan Kang Said. Waktu mereka berdua dihabiskan untuk obral-obrol pengalaman hingga pengetahuan.

“Saya lulus S3 pada 1994, cumlaude. Pulang ke Indonesia dan diterima oleh Gus Dur. Hingga saya menetap di dekat rumah Gus Dur”.

Pada saat Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, Kang Said diajak ikut hadir. Perhelatan lima tahun ini terbilang sangat panas. Di sinilah Gus Dur ditekan, sampai-sampai dikucilkan. Namun, dari sini juga Gus Dur menjadi perhatian utama. Makin ditekan semakin berperan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bandung. Ketua PAC GP Ansor Kaliwedi 2022-2024.