Komunitas GUSDURian ikut terlibat dalam FGD perumusan Draf Fikih Pencegahan Bunuh Diri bersama Pondok Pesantren Salafiyah Safiiyah, Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama dan, PGRI, bertempat di Gedung Rektorat UNG, Kamis (13/7/2023).
Turut hadir pada giat tersebut di antaranya para akademisi dari UNG, tokoh alim ulama, Seknas GUSDURian, penggerak GUSDURian Gorontalo, dan perwakilan media.
Sebelumnya, kasus bunuh diri yang terjadi di Provinsi Gorontalo diketahui selama enam bulan terakhir mencapai angka 22 kasus.
Rois Syuriah PWNU Provinsi Gorontalo, KH. Burhanudin Umar pada kesempatan tersebut menyampaikan bahwa, dalam hal melihat kasus bunuh diri itu seperti rencana bunuh diri berasal dari rasa depresi.
“Depresi ini ada yang terjadinya lama, tapi ada juga yang hanya sebentar kemudian menuju perilaku tersebut. Dalam hal ini kasus yang ada bukan lagi persoalan depresi, tapi lebih dalam lagi,” ucap Kiai Burhanudin.
Terkait kasus yang tengah beredar di masyarakat, dirinya menyarankan supaya tidak bertambah besar. Harapnya, media pemberitaan juga tidak membesar-besarkannya.
“Saya sarankan agar orangtua di rumah untuk menyarankan anaknya membaca Al-Quran. Insya Allah dengan baca Quran itu pikiran lain-lain itu hilang,” harapnya.
Tokoh agama Islam, KH. Muhyidin Zeni mengutarakan saat ini sudah sangat minim untuk mendapatkan keteladanan. Terlebih ada beberapa ustaz yang juga ikut memamerkan harta, sedang mereka harusnya menjadi contoh.
“Gorontalo ini disebut sebagai daerah Serambi Madinah, melalui kasus ini saya rasa karakter itu tidak tercerminkan lagi,” ucap Kiai Muhyidin.
Ketua MUI Kota Gorontalo, KH. Muin Mooduto turut mengomentari terkait perlunya pendalaman agama di masyarakat terutama pada anak-anak.
“Coba kita libatkan anak-anak untuk pergi ke majelis taqlim. Dalami rukun iman dan rukun Islam serta rukun ihsan,” tuturnya.
Pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Safiiyah, KH. Aniq Nawai mengucapkan bahwa, puncak spiritual adalah bahwa seseorang akan merasa selalu ditemani oleh Allah Swt.
“Bahwa, ketika saat tidak ada teman untuk curhat, kita bisa curhat kepada Allah Swt,” ucapnya.
Di tempat yang sama, Akademisi UNG Samsi Pomalingo menyampaikan mengenai riset Emile Durkheim mengenai bunuh diri. Di mana terdapat empat sub bunuh diri, di antaranya:
Pertama, bunuh diri egoistik. Sebut Samsi bunuh diri ini adalah lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan sosial. Hal itu didorong oleh sikap apatis.
Kedua, bunuh diri altruistik. Sebutnya bunuh diri tipe ini terjadi sebab ada rasa bersalah sebab menjadi beban masyarakat. Karena menurutnya, orang tersebut mementingkan masyarakat ketimbang dirinya sendiri.
Ketiga, bunuh diri anomi. Sebut Pembina GUSDURian Gorontalo itu hal tersebut dilakukan akibat situasi yang tak beraturan. Seorang, sebutnya, kehilangan orientasi hidup. Hal tersebut terjadi di kalangan orang-orang kaya.
Keempat, bunuh diri fatalistik. Hal tersebut sahutnya, dilakukan karena ada tekanan norma, keyakinan, dan kebebasan. Di mana menurut Samsi hal tersebut perlu menjadi perhatian.
“Sebab sering kali di tengah masyarakat ada konten-konten ceramah yang mengharamkan segala hal, sehingga tidak ada lagi solusi yang didapatkan. Akhirnya masyarakat jadi bingung,” jelasnya.
Di tempat yang sama, Seknas GUSDURian Suraji mengungkapkan bahwa, fenomena bunuh diri kemudian tidak hanya terjadi di kalangan awam dalam hal ini kurang paham mengenai ilmu agama. Ada juga kasus yang sama di kalangan yang paham agama.
Dirinya menyambut baik upaya penyusunan draf fikih pencegahan bunuh diri. Hal ini bertujuan untuk memberikan pencerahan di semua lapisan masyarakat agar memahami mengapa agama melarang untuk bunuh diri.
“Kemudian kepada orang awam harus ada penjelasan secara mendetail,” sebutnya.
Perwakilan media pemberitaan di Gorontalo, Ferianto Majoa mengucapkan, dalam pemberitaan bunuh diri adalah kasus serius. Wartawan banyak melihat hal ini sebagai kasus kriminal, padahal menurutnya ini adalah kasus kesehatan.
“Harusnya dalam menangani kasus bunuh diri ini yang meliput bukanlah wartawan baru tapi harus pimpinan redaksi yang harus turun langsung. Karena tidak sembarang menulis kasus ini,” imbuhnya.
Sementara, perwakilan psikolog, Sukma menyebut perihal kasus ini ada berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Ada faktor kepribadian, ada faktor ekonomi, dan bahkan juga salah kaprah dunia pendidikan.
“Intinya, kasus ini terjadi karena kerentanan mental. Saat ini semua serba mudah dan instan. Ini dampaknya anak-anak tidak punya daya juang. Generasi sekarang krisis generasi tangguh,” sebutnya.
Dirinya berharap agar perumusan draf fikih pencegahan bunuh diri ini tidak sekedar melahirkan draf fatwa, tapi juga berdampak pada perubahan perilaku bunuh diri.
“Misalnya hasil dari sini bisa disarankan kepada pemerintah yang kemudian dijadikan seperti buku yang akan menjadi bacaan-bacaan di sekolah,” ujarnya.