Membincang Kembali Childfree, Kontrasepsi, dan Kualitas Hidup

“Ledakan penduduk tanpa mutu penduduk, adalah azab.”

Prie GS


Tulisan ini bukan untuk mendukung ataupun menolak konsep childfree yang beberapa waktu lalu ramai, melainkan lebih ingin mengajak pembaca untuk sedikit berpikir apakah mayoritas publik tetap mendukung childfree ketika dihadapkan dengan fakta bahwa pasangan atau seseorang tidak dapat membesarkan anak dengan kualitas baik?

Ada berapa banyak anak-anak yang terlantar tanpa orangtua dengan beragam masalah kesehatan? Sebenarnya manakah yang utama, memiliki anak tanpa kualitas yang baik atau tidak memiliki anak sebab merasa tidak mampu membesarkan anak dengan baik?

Jika sedikit melihat hukum-hukum dalam agama, terutama Islam, hukum asal pernikahan sendiri pun tidak wajib, maka konsekuensi dari pernikahan salah satunya yaitu memiki keturunan adalah tidak wajib alias boleh. Maka dari itu, childfree hukum asalnya boleh.

Laporan hasil investigasi kompas.id dengan judul “Balada Keluarga dengan Sebelas Anak” disimpulkan bahwa persoalan stunting yang dialami oleh anak-anak memiliki persoalan yang begitu kompleks, di antaranya adalah legitimasi agama sehingga penolakan terhadap KB dan meyakini semakin banyak anak akan semakin banyak rejeki. (Agustinus Yoga Primantoro: Kompas, 2023). Implikasinya kemudian adalah kelahiran anak tidak ditekan walaupun dengan kondisi sosial ekonomi yang tidak layak yang akhirnya berpotensi pada menurunnya kualitas hidup anak.

Salah satu contohnya kualitas hidup anak yang kurang tersebut adalah pada gejala stunting. Walaupun terjadi penurunan angka stunting di tingkat nasional dengan prevalensi tengkes menurun dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 21,6 persen pada tahun 2020, tetapi angka tersebut masih terpaut 7,6 persen dari target yang ingin dicapai pada tahun 2024. (Agustinus Yoga Primantoro: Kompas.id, 2023).

Beberapa waktu lalu, di Twitter seseorang menulis bahwasanya tidak ada kaitan antara anak yang sehat dan berkualitas dengan jumlah anak. Dalam pengalaman penulis justru sangat berkaitan. Di zaman dahulu masyarakat mempercayai slogan ‘banyak anak, banyak rezeki’. Namun, faktanya dengan memiliki jumlah anak yang banyak dengan kondisi sosial ekonomi yang menengah ke bawah justru pada perkembangan waktunya melimpahkan tanggung jawab kepada saudara tertua atau yang dianggap paling mampu dalam keluarga. Imbasnya kemudian adalah, seorang anak yang dilimpahkan tanggung jawab tidak dapat secara maksimal untuk berkembang karena kemiskinan kultural itu.

Fenomena seseorang yang memiliki tanggung jawab menafkahi keluarga tersebut saat ini dikenal dengan sebutan generasi sandwich. Tentu generasi ini adalah korban dari generasi terdahulu yang memiliki keyakinan pada slogan ‘banyak anak, banyak rezeki’. Generasi sandwich tentu tidak menutup kemungkinan untuk bisa berkembang walaupun sulit, dibanding dengan generasi yang terlahir dengan privilege dengan keluarga yang berkecukupan.

Tentu diakui atau tidak, mereka yang lahir di keluarga yang berkecukupan akan memiliki akses mudah terhadap berbagai sumber daya, maupun waktu yang tidak dimiliki oleh banyak orang, terutama oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Kementerian Sosial (Kemensos) mencatat, jumlah anak terlantar di Indonesia sebanyak 67.368 orang pada tahun 2020. Selain itu, Kemensos juga mendefinisikan bahwa anak terlantar merupakan anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan ditelantarkan oleh orang tua/keluarga atau kehilangan hak asuh dari orang tua/keluarga (Rizaty: databoks, 2021). Tidak menutup kemungkinan bahwa angka ini terus bertambah setiap tahunnya jika angka kelahiran tidak ditekan dan tanpa mempersiapkan kehamilan dengan matang.

Hal itu sejalan dengan data yang dikeluarkan BKKBN pada tahun 2020. Setidaknya sebesar 17,5 persen angka kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Bahkan angka ini diikuti oleh tingginya kasus aborsi. Kompas menyebutkan aborsi mencapai 2,5 juta kasus per tahun. Tentu saja grafik semacam ini tidak boleh dipandangi hanya sekedar angka.

Kualitas hidup yang rendah juga ditandai dengan meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia. Pada September 2022 jumlah penduduk miskin sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang dibanding Maret 2022 dan menurun 0,14 juta orang dibanding September 2021. Adapun presentase penduduk miskin perkotaan sendiri meningkat menjadi 7, 53 persen pada September 2022 yang sebelumnya pada Maret 2022 sebesar 7,50 persen.

Oleh sebab itu, berdasarkan fakta yang terjadi dalam masyarakat, di mana angka kemiskinan yang begitu tinggi serta tingginya angka anak-anak terlantar yang menunjukkan kualitas hidup rendah masyarakat Indonesia masih besar. Sebagaimana yang dipaparkan Kalis Mardiasih, slogan ‘banyak anak, banyak rezeki’ ada baiknya diganti dengan slogan ‘mari lahirkan anak yang sehat dan berkualitas’.

Gus Dur sendiri dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) berpendapat bahwa Keluarga Berencana (KB) yang dahulu dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Di saat ini karena berbagai pertimbangan seperti biaya pendidikan yang semakin tinggi KB kemudian diperbolehkan dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Jika menghendaki anak kembali, orangtua cukup membuang kondom atau menjauhi obat-obatan yang dapat mengatur kelahiran. Ini menjadi bukti bahwa Islam sebagai agama yang relevan di setiap waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wakan ). (Gusdurian.net: Gus Dur, 2021).

Dengan demikian, beberapa orang yang memilih childfree bahkan mungkin lebih baik ketika ia merasa tidak mampu membesarkan dan merawat seorang anak dengan kualitas yang baik. Dari situ, sekiranya tidak perlu bereaksi berlebihan atas pilihan-pilihan seseorang yang secara sadar menginginkan childfree. Saat ini, sudah sepatutnya masyarakat lebih melihat sisi kualitas daripada hanya sekedar kuantitas, terutama dalam hal memiliki keturunan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.