Meneladani Gus Dur: Menjadi Generasi Muda yang Moderat dan Humanis

Pemimpin-pemimpin agama diminta secara aktif memikirkan persoalan-persoalan duniawi yang kompleks. Bila kebudayaan dilihat sebagai sistem pengetahuan, maka isi sebuah kebudayaan adalah seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan, norma-norma, hukum, dan keyakinan yang dimiliki oleh individu.

Kebudayaan adalah sebuah wadah, sedangkan agama adalah isinya. Kebudayaan merupakan seperangkat pengetahuan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk bertindak dan untuk memahami lingkungan dan menafsirkannya.

Generasi muda di Indonesia sepatutnya memoderatkan kehidupan beragama. Bisa dimulai dengan kehidupan sosial yang saling toleran. Kehidupan toleransi ini yang menurut penulis amat penting. Indikasinya ialah masyarakat kita mampu menjalani kehidupan berbangsa dan beragama yang saling menghargai dan memahami satu sama lain.

Kemudian, generasi muda patut mewaspadai segala bentuk informasi terkait doktrin keagamaan yang cenderung ekstrem, terutama melalui sosial media. Mereka harus berani berkomitmen pada kehidupan berbangsa. Karena beragama itu seharusnya juga berbangsa dan bernegara.

Dari komitmen berbangsa itulah akan nampak atau tidak di dalam praktik kehidupan beragama generasi muda dan prinsip anti terhadap kekerasan. Kalaupun masih ada bentuk praktik kekerasan, maka berarti belum moderat.

Dan terakhir, kita harus bisa menerima aspek kebudayaan. Agama dengan budaya itu seperti dua sisi pada mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan, karena tradisi biasanya menjadi media untuk penyebaran agama.

Generasi muda yang memiliki akar pengetahuan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, mereka seharunya berperan aktif dan mampu memberikan perspektif baru, serta wawasan baru terhadap perkembangan pengetahuan. Di sisi lain juga diperlukan sikap ilmiah dan kritik demi memperkaya khazanah intelektual, misalnya dengan menulis buku agar masyarakat dapat lebih memahami nilai-nilai keislaman dan ke-Indonesiaan.

Pada bulan Agustus ini, yang juga dirayakan sebagai “bulannya Gus Dur”, GUSDURian Academy menyelenggarakan rangkaian acara dengan tema Masa Depan Indonesia: Belajar dari Gus Dur, pada hari Jumat, 4 Agustus 2023 dengan berbagai tema, yaitu Gus Dur & Keadilan Gender, Gus Dur & Pribumisasi Islam, Gus Dur & Keadilan Ekologi, dan Gus Dur & Demokrasi.

Dalam hemat penulis, rangkaian acara tersebut tentu merupakan upaya dialog bersama dan menciptakan ruang komunikasi yang inklusif dan partisipatif, di mana berbagai perspektif dapat didengarkan, dipertimbangkan, dan diintegrasikan untuk mencapai solusi yang lebih baik. Tak lain demi membangun kembali gagasan-gagasan brilian Gus Dur dalam merawat kebangsaan lewat pemikirannya, serta memupuk prinsip-prinsip dan penghormatan terhadap pluralisme yang telah diperjuangkan Gus Dur.

Dan salah satu media yang penting dalam pembangunan nilai-nilai pemikiran Gus Dur adalah melalui bidang literasi atau kepenulisan. Lewat aktivitas menulis (literasi), kita dapat membuat narasi dan memasukan unsur-unsur seperti nilai-nilai moderasi beragama dan kemajemukan ke-Indonesiaan. Hal inilah yang dapat membantu bangsa kita untuk menerapkan kehidupan ke-Indonesiaan yang moderat dan peradaban agama yang harmoni. Karena pada dasarnya semua agama mengajarkan kedamaian.

Namun, mengapa dalam realitanya banyak sekali kasus pertentangan, permusuhan, bahkan saling menuding di antara sesama anak bangsa dengan alasan agama? Padahal bangsa Indonesia dikenal dunia sebagai bangsa yang yang religius. Bahkan tergolong sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Inilah tantangan sekaligus peluang untuk mengejar dan menyongsong kebangkitan kembali Islam di percaturan dunia.

Terkait hal itu, marilah kita berdiri bersama GUSDURian untuk bergerak dan berdampak pada masyarakat. Terlebih, bulan ini kita memasuki bulan Agustus, bulan kemerdekaan, dan peringatan Hari Lahir (Harlah) sang guru bangsa: KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Cara yang bisa kita lakukan dalam menanamkan nilai-nilai agama adalah melalui enkulturasi dan sosialisasi. Terkadang medium dongeng dan kisah-kisah inspiratif juga diperlukan dalam penanaman nilai-nilai ini agar tidak terkesan selalu menceramahi.

Kita generasi muda khususnya dan semua masyarakat Indonesia masih sangat perlu belajar dari tokoh bangsa bernama Abdurrahman Wahid “Gus Dur” dalam menjaga Indonesia agar lebih baik di masa mendatang. Bagi seorang Gus Dur, Indonesia yang dicita-citakannya sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini.

Maka marilah kita memberi makna pada bulan kelahiran Gus Dur ini demi terus merawat nilai, pemikiran, dan keteladanannya. Saatnya generasi muda berperan, bukannya baperan. Dengan Peluncuran GUSDURian Academy beberapa hari lalu, kita bisa turut berupaya merawat pemikiran dan cita-cita mulia Gus Dur kepada bangsa ini.

Sebagaimana kehadiran Gus Dur pada semasa hidupnya terhadap “wong cilik”, betapa kita belajar dari beliau bahwa tugas manusia ialah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Gus Dur adalah sumbunya ilmu kemanusiaan itu.

Alumnus Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan melanjutkan mondoknya di Pesantren Al-Qur'an Syihabudin Bin Ma'mun, Caringin Banten. Penulis juga lulusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) di kampus STAI Indonesia, Jakarta.