Social Media

Gus Dur di Mata Jimmy Tam Kok Chian

Jimmy Tam Kok Chian adalah seorang intelektual muda Malaysia sekaligus menjabat sebagai sekretaris divisi Kemahasiswaan dari Soka Gakkai Malaysia. Soka Gakkai Malaysia sendiri adalah bagian dari gerakan Soka Gakkai internasional, sebuah gerakan Buddhis kontemporer yang berpusat di Jepang dan memegang teguh ajaran Buddhisme yang dikembangkan oleh Pendeta Nichiren. Jimmy adalah salah satu akademisi Buddhis Malaysia yang terkesan dengan dialog antara Gus Dur dan Daisaku Ikeda -presiden ketiga dari gerakan Soka Gakkai.

Dialog antara kedua tokoh itu sendiri kini tersedia dalam bahasa Melayu (Malaysia) berkat usaha penerjemahan dari Osman Bakar yang merupakan murid dari filsuf Muslim kenamaan Hossein Nasr. Sebelumnya dialog Gus Dur-Ikeda tersebut telah dibukukan dan tersedia dalam bahasa Jepang, Indonesia, Mandarin, Inggris, dan Prancis.

Sebagai bagian dari anggota Soka Gakkai Malaysia, Jimmy mengapresiasi baik pemikiran Ikeda dan Gus Dur yang menjadi lawan dialog dari pimpinan organisasi yang diikutinya tersebut. Terlebih dalam posisinya sebagai kaum muda, ia merasa mendapatkan banyak inspirasi dari dialog antara Gus Dur dan Ikeda yang juga menyinggung topik mengenai peran strategis kaum muda dalam penciptaan perdamaian dunia dan pembangunan peradaban global yang damai dan adil.

Jimmy menggarisbawahi setidaknya ada dua fungsi strategis dari buku tersebut. Mengacu pada pemaparan yang disampaikan Jimmy dalam forum peluncuran dan bedah buku edisi Malaysia yang diselenggarakan oleh lembaga ISTAC-IIUM pada 7 Januari 2023 lalu, dua fungsi tersebut yakni bagi masyarakat Malaysia secara luas dan bagi kaum muda secara lebih spesifik. Terkait dengan relevansi bagi masyarakat Malaysia, Jimmy menggarisbawahi fakta bahwa sebagaimana Indonesia, Malaysia juga dicirikan dengan pluralitas etnis, budaya, serta agama.

Terlebih lagi dengan terjadinya arus globalisasi ekonomi dan budaya yang membuat masyarakat Malaysia -suka atau tidak- semakin terkoneksi dengan berbagai ragam budaya yang ada di berbagai penjuru dunia. Menurut Jimmy, situasi semacam ini menimbulkan pertanyaan krusial mengenai koeksistensi sebagai syarat mutlak dari perjumpaan budaya tersebut dalam arti yang positif.

Bagi Jimmy, peran strategis dari dialog Gus Dur dan Ikeda ialah memberikan semacam pendasaran filosofis mengenai urgensi dialog antarkebudayaan, antaragama, dan juga antarperadaban. Lebih jauh, Jimmy menyimpulkan bahwa baik Ikeda dan Gus Dur sama-sama yakin bahwa dialog akan membuahkan satu kultur baru, yakni kultur toleransi yang sekiranya menjadi prasyarat bagi tegaknya dunia yang damai di tengah silang budaya yang terjadi dalam skala masif. Kesimpulan ini tidak berlebihan sebab melalui dialog, kesepahaman, dan spirit perdamaian dapat ditumbuhkan di antara para peserta dialog tersebut.

Selain memberikan penekanan soal relevansi dialog Ikeda-Gus Dur dalam konteks membangun kultur dialog di Malaysia, Jimmy juga menyatakan bahwa karya tersebut juga memiliki relevansi dengan kaum muda, khususnya dalam menyediakan semacam “tips” soal bagaimana membangun satu generasi muda yang tangguh dan dapat diharapkan memiliki komitmen tinggi terhadap perdamaian dunia. Jimmy menyebutkan setidaknya ada tiga ide besar yang dapat ia gali dari dialog Gus Dur dan Ikeda tersebut, yakni mengenai strategi kebudayaan, strategi pendidikan, dan strategi penguatan spiritualitas.

Strategi kebudayaan yang dimaksud oleh Jimmy ialah bagaimana kaum muda semestinya memiliki pengetahuan yang luas akan kebudayaan lokal yang berkembang di wilayahnya, berikut kebudayaan lokal yang berkembang di negara/peradaban lain. Pemahaman yang mendalam tentang warisan kebudayaan yang dimiliki bangsanya dan bangsa lain inilah yang sekiranya dapat digunakan secara praktis sebagai bahasa dialog yang khas. Jimmy percaya dialog kebudayaan memiliki keunggulan tersendiri, karena berbeda dengan bahasa rasional yang lebih “impersonal,” bahasa kebudayaan memiliki kekuatannya sendiri dalam menggugah emosi seseorang secara lebih personal. 

Strategi kebudayaan inilah yang nampak hadir secara kuat dalam dialog Gus Dur dan Ikeda. Keduanya misalnya sempat membicarakan mengenai paralelitas antara kisah rakyat yang dikenal luas di Jepang dengan hikayat mengenai salah satu kerajaan pertama di Nusantara, yakni kerajaan Samudera Pasai. Dalam hikayat mengenai Samudera Pasai, dikisahkan bahwa berdirinya kerajaan Islam tersebut tidak dapat dilepaskan dari peristiwa unik yang mengawalinya, yakni penemuan sesosok putri dari dalam bambu yang secara tidak sengaja ditemukan oleh sang raja yang hendak memotong bambu dengan parangnya.

Menariknya hikayat itu memiliki paralelitas dengan kisah Putri Kaguya atau disebut juga kisah penebang bambu yang masyhur di Jepang. Dikisahkan bahwa seorang kakek penebang bambu menemukan bayi perempuan dalam sebatang bambu yang bersinar. Seiring berjalannya waktu sang anak tumbuh dewasa menjadi gadis yang cantik sehingga banyak pihak berebut meminangnya. Dikisahkan bahwa sang kakek tidak mengizinkan sang gadis yang diberi nama Putri Kaguya untuk dilamar seorangpun. Barulah suatu hari datanglah utusan dari Negeri Bulan untuk menjemput pulang Putri Kaguya ke tempat asalnya.

Baik Gus Dur dan Ikeda merasa kagum dengan kemiripan cerita tersebut. Ikeda misal menjelaskan jika orang Jepang diberi tahu akan hikayat Samudera Pasai tersebut maka mereka dengan cepat akan merasa akrab dengan kisah tersebut. Begitu pula dengan Gus Dur yang menyatakan bahwa melalui kebudayaan kita dapat menemukan “wajah manusia” di dalamnya. Dengan kata lain lewat kebudayaan maka kemanusiaan dapat ditumbuhkan.

Lebih jauh, kebudayaan tidak hanya bermanfaat bagi proses dialog dengan pihak lain. Kebudayaan juga memiliki kemampuan untuk membentuk karakter generasi muda secara kuat. Jimmy misal mencontohkan bahwa Gus Dur misalnya mengakui bahwa dirinya dibentuk secara kuat oleh cerita wayang. Salah satu tokoh yang menginspirasi kuat dirinya ialah Kumbakarna yang merupakan adik Rahwana. Rahwana sendiri merupakan musuh dari Rama karena Rahwana menculik kekasihnya Sinta. Rama kemudian melakukan invasi ke negara Alengka untuk mengalahkan Rahwana. Kumbakarna sendiri meyakini bahwa tindakan kakaknya itu keliru, tetapi karena ia adalah seorang patriot maka ia rela untuk membela negara Alengka dari serbuan Rama. Dikisahkan bahwa Kumbakarna melawan pasukan Rama bukan atas kebencian tetapi karena murni mengimplementasikan patriotismenya.

Gus Dur terkesan dengan patriotisme Kumbakarna yang bersedia mengorbankan dirinya demi membela bangsa dan negaranya. Walau sejatinya dalam kisah wayang tersebut perang ini karena kesalahan kakaknya sebagai pucuk pimpinan Alengka yang memprovokasi Rama. Sehingga sejatinya prinsip Right or Wrong, My Country! itulah yang mendasari patriotisme Kumbakarna. Model patriotisme semacam ini sebenarnya oleh kalangan akademisi semacam Magnis Suseno dianggap sebagai wujud nasionalisme yang dangkal. Namun Gus Dur dalam konteks ini lebih melihat patriotisme Kumbakarna sebagai sikap tulusnya yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada dirinya sendiri. Sifat patriot inilah yang bagi Gus Dur amat menginspirasinya dalam menjalani kehidupan.

Jika Gus Dur begitu terkesan dengan kisah wayang dan juga merasa diinspirasi secara kuat olehnya, maka Ikeda juga mengakui bahwa dirinya secara kuat dibentuk oleh kebudayaan pula, dalam hal ini kebudayaan agraris. Menurut Ikeda, kehidupan agraris memiliki bentuk kebudayaan yang khas jika dibandingkan dengan masyarakat non-agraris. Sebagai contoh, kebudayaan agraris berpusat pada pertanian dengan menjadikan sawah pusat aktivitas mereka. Ikeda menceritakan bahwa pada musim dingin lahan sawah membeku dan anak-anak kecil saat itu -termasuk dirinya- menggunakan lokasi tersebut untuk bermain selancar es dengan bambu yang dikreasikan sedemikian rupa sebagai alat luncurnya.

Pengalaman semasa kecil yang menurutnya tidak akan didapatkan dalam konteks masyarakat non-agraris membuat Ikeda membuat satu statement yang besar. Ikeda mengklaim bahwa satu bangsa yang tidak dibentuk oleh pertanian yang menurutnya adalah induk kebudayaaan, sumber kebijaksanaan, dan juga satu mode berada yang ramah dengan lingkungan, maka akan menjadi masyarakat yang tidak terbentuk jiwanya secara sehat. Masyarakat semacam ini bagi Ikeda akan menghasilkan masyarakat brutal, namun di satu sisi juga akan mudah terjebak pada jalan buntu. Maka Ikeda menyatakan bahwa baik Jepang dan Indonesia yang memiliki tradisi agraris yang kuat adalah aset.

Dari penjelasan Ikeda tersebut setidaknya kita bisa menangkap bahwa kebudayaan memiliki peran sentral baik bagi sarana dialog dengan pihak lain ataupun bagi sarana pembangunan jiwa. Tanpa kebudayaan yang erat dengan kandungan nilai-nilai kesabaran, kerja keras, kedekatan dengan alam, dan nilai positif lainnya, maka generasi muda akan tumbuh secara tidak sehat. Jiwa dan karakternya tidak akan terbentuk dengan baik.

Maka jika mendasarkan pada pandangan Ikeda tersebut, generasi muda mesti dikenalkan dan dibentuk oleh kebudayaan yang menjadi warisan dari bangsanya tersebut sehingga menjadi sosok yang kuat kepribadiannya yang sekaligus membuatnya lebih siap untuk melakukan dialog dan juga kerja sama bagi kedamaian dan keadilan secara global.

Selain strategi kebudayaan, Jimmy juga mengemukakan strategi pendidikan sebagai strategi yang sekiranya berkontribusi besar dalam membentuk karakter kaum muda. Lebih jauh Jimmy menegaskan bahwa pendidikan yang paling pertama dan juga utama adalah pendidikan di level keluarga. Jimmy memiliki keyakinan tersebut dengan berkaca kepada kehidupan Ikeda dan Gus Dur yang sama-sama dibentuk karakternya secara kuat oleh keluarga mereka.

Sebagai contoh, Jimmy menceritakan kisah hidup Ikeda yang dibentuk baik oleh ibunya maupun kakak laki-laki tertuanya yang bernama Kiichi. Kakak laki-laki tertuanya tersebut tewas dalam Perang Pasifik selama Perang Dunia II, tepatnya di wilayah Myanmar. Ikeda mengenang bahwa sebelum kematiannya, sang kakak sempat mendapat keringanan berupa dibebastugaskan dari misi Jepang saat itu yang menduduki wilayah Cina. Sang kakak yang pulang ke rumah bercerita bahwa militer Jepang melakukan berbagai tindakan kejam kepada masyarakat Cina.

Melalui cerita tersebut, sang kakak mengajarkan pada Ikeda kecil satu sikap toleransi yang tinggi pada pihak lain. Meskipun ia merupakan prajurit Jepang namun ia tidak dapat menerima kebijakan negaranya yang melakukan penindasan kepada masyarakat Cina. Sikap inilah yang merasuk kuat dalam diri Ikeda yang kemudian menjadi sosok yang anti-perang, anti-senjata nuklir, dan juga berkomitmen pada perdamaian global. Ikeda sendiri menyatakan secara terbuka bahwa apa yang dikisahkan oleh sang kakak adalah semacam wasiat, sehingga ia berusaha untuk merealisasikan visi sang kakak tersebut dengan berbagai aktivisme yang dilakukan Ikeda di kemudian hari.

Sebagaimana sang kakak, Ikeda juga dibentuk oleh pendidikan keluarga khususnya oleh ibunya. Ikeda misalnya mengisahkan ibunya begitu tabah menjalani kehidupan pasca sang kakak, Kiichi, terbunuh dalam medan perang. Ikeda menceritakan bahwa sang ibu membelakangi dirinya ketika mendengar kematian sang kakak. Dengan kata lain sang ibu berupaya memasang muka tegar di hadapan anak-anaknya.

Lebih jauh Ikeda menyebut bahwa sang ibu juga memiliki jiwa toleransi yang tinggi. Hal ini dibuktikan ketika terjadi penangkapan terhadap prajurit AS yang mendarat di wilayah Jepang setelah pesawatnya ditembak jatuh. Sang prajurit muda tersebut kemudian ditangkap oleh Kenpeitai (polisi militer) dan mengalami berbagai siksaan. Sang ibu yang mendengar kabar tersebut merasa iba dan menyatakan bahwa kasihan nasib sang prajurit tersebut karena pasti juga ada sang ibu prajurit tersebut yang menunggu kepulangannya.

Bagi Ikeda nilai-nilai kemanusiaan yang didapatinya di sekolah bernama keluarga memberikan dampak yang sangat besar bagi pribadi Ikeda. Secara terus terang ia mengaku kepada Gus Dur bahwa dirinya secara mutlak menentang perang yang baginya tidak membuahkan hasil kecuali kesedihan. Ikeda sendiri juga meyakini bahwa perang punya efek negatif lain, bahwa ia mampu mengubah sifat manusia dari baik menjadi jahat. Perubahan sikap ini mengacu pada masyarakat Jepang saat itu yang dipandang Ikeda dapat begitu kejam kepada pihak lainnya. Maka kemudian ia begitu gigih mengkampanyekan perdamaian global. 

Sebagaimana kasus Ikeda, Gus Dur juga dibentuk secara kuat melalui pendidikan keluarga. Sebagai contoh, Gus Dur mengakui bahwa setiap malam ia selalu tidur dengan kakeknya, yakni K.H. Hasyim Asyari -ulama kharismatik Indonesia dan sekaligus juga pendiri NU. Gus Dur bercerita bahwa untuk menemani tidur, sang kakek selalu memberikannya cerita pengantar tidur yang beraneka ragam. Namun Gus Dur menyatakan bahwa melalui aneka cerita tersebut diselipkan pengajaran-pengajaran tentang pentingnya toleransi dan menghargai pemikiran pihak lain.

Kisah Gus Dur tersebut menarik untuk direnungkan bersama. Bisa dikatakan melalui kisah-kisah pengantar tidur, berbagai etika positif berhasil ditanamkan sang kakek Hasyim Asyari kepada Gus Dur. Pendidikan khas semacam ini mungkin tidak dapat dilakukan di sekolah yang mengutamakan formalitas. Walau bukan berarti maknanya tidak penting. Namun yang perlu digarisbawahi kisah Gus Dur ini mengafirmasi posisi Jimmy bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah keluarga. Maka keluarga menjadi elemen mutlak bagi pengembangan generasi muda yang tangguh dan juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Terakhir, Jimmy mengemukakan mengenai strategi penguatan spiritualitas. Jimmy percaya bahwa spiritualitas merupakan elemen yang krusial dalam membangun generasi muda yang tangguh. Hal ini misal tergambar dari sosok Ikeda dan juga Gus Dur yang lekat dengan tradisi spiritual berbasis agama. Bagi Jimmy dengan adanya spiritualitas, memungkinkan kaum muda untuk tetap berdiri tegak di tengah berbagai situasi yang sangat cepat berubah. Dengan kata lain spiritualitas penting sebagai pilar ketahanan jiwa kaum muda dalam menghadapi aneka persoalan. Namun ada satu aspek penting yang dielaborasi Jimmy soal spiritualitas ini, yakni kebutuhan tentang sosok yang sekiranya menjadi panutan.

Kebutuhan akan panutan ini ditekankan oleh Jimmy karena secara spesifik dalam konteks Jepang spiritualitas juga sempat mengalami guncangan yang besar akibat perang dunia kedua. Sebelumnya, Shinto menjadi agama negara dan menjadi sumber kehidupan spiritual secara umum bagi masyarakat Jepang. Namun setelah perang terjadi upaya de-shintoisasi negara yang dianggap turut bertanggung jawab memicu perang. Perkembangan tersebut melahirkan kekalutan tersendiri di tengah masyarakat Jepang yang tengah mengalami berbagai kesulitan di ranah ekonomi, sosial, dan budaya pascaperang. 

Runtuhnya spiritualisme Shinto juga berdampak besar bagi generasi muda. Banyak di antara kaum muda kemudian mengalami kekosongan spiritual, kebingungan, dan mengalami disorientasi dalam menapaki kehidupan. Ikeda merupakan salah satu anak muda yang mengalami krisis spiritual akut tersebut dalam situasi pascaperang. Namun Ikeda mengakui bahwa dua tahun pascaperang tepatnya pada 14 Agustus 1947 ia berjumpa dengan Toda yang merupakan presiden kedua dari gerakan Soka Gakkai. Bagi Ikeda, Toda merupakan pribadi unik yang mampu membuat dirinya merengkuh kembali jalan spiritual.

Toda menjadi role model Ikeda karena saat itu ia mengajukan tiga pertanyaan eksistensial kepada Toda dan sang guru berhasil menenangkan hatinya. Tiga pertanyaan yang dimaksud terkait dengan hakikat kehidupan, hakikat nasionalisme, dan pandangan pada kaisar. Bagi Ikeda, Toda mampu menjawab pertanyaannya tanpa banyak berteori dan menjawab secara terus terang tanpa keraguan.

Ikeda juga terkesan dengan keberanian Toda menjaga sikapnya di era militerisme sehingga ia rela dipenjara karena menentang perang. Sejak saat itulah Toda yakin bahwa jalan spiritual Buddhisme yang dianut oleh Toda dapat menjadi pijakan spiritualitas baru untuk mengisi kekosongan spiritualitas Ikeda yang saat itu dapat dikatakan “hancur” akibat perang.

Jimmy menegaskan bahwa dalam konteks Gus Dur ia tidak pernah mengalami krisis eksistensial dan juga krisis spiritual sebagaimana Ikeda. Gus Dur sendiri juga mengaku tidak memiliki memori tentang perang dan dampaknya karena ia tidak memiliki sejarah masa kecil terkait perang. Namun bagi Jimmy ketiadaan krisis eksistensial tersebut tidak lantas menihilkan posisi sentral mentor atau role model dalam diri Gus Dur. Menurut Jimmy, Gus Dur mengambil role model dari kakek dan ayahnya yang sekiranya memiliki keteguhan prinsip dikarenakan memiliki basis spiritualitas yang kuat.

Penempatan sosok kakek dan ayah sebagai role model inilah yang menjadikan Gus Dur mampu bersikap teguh untuk mempertahankan prinsipnya dan tidak tergiur oleh politik praktis atau pragmatis yang melunturkan idealismenya. Faktanya Gus Dur sendiri menyatakan bahwa musuh terbesar bagi kaum muda adalah hasrat kekuasaan yang akan mengantarkan mereka menjadi “pemimpin busuk.” Senada dengan Gus Dur, Ikeda juga menyatakan bahwa nasehat dari gurunya Toda ialah bahwa kaum muda mesti waspada terhadap kekuasaan dan dunia politik praktis yang dipandangnya sebagai racun yang mematikan.

Dengan kata lain spiritualitas memiliki arti yang penting bagi generasi muda, di mana dengannya mereka tidak mudah tergiur dengan kekuasaan dan kemudian menghapus fungsi strategis mereka sebagai agen perubahan bagi terciptanya peradaban global yang lebih adil dan damai. Keberadaan role model juga akan membantu kaum muda untuk menirunya, sehingga mereka sadar bahwa berada pada jalan spiritual bukan merupakan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan dan merupakan jalan yang layak untuk diperjuangkan oleh kaum muda tersebut.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.