Social Media

Perempuan dalam Politik: Jadilah Pemikir, Bukan Hanya Pelaksana

Masih teringat di benak saya ketika tahun 2021 kemarin mengikuti SKPP (Sekolah Kader Pengawas Partisipatif) yang diadakan oleh Bawaslu Provinsi Banten. Ketika itu salah satu Komisioner Bawaslu RI Pak Rahmat Bagja mengatakan dalam penyampaian materinya bahwa kita jangan sampai alergi pada politik. Kenapa? Karena politik adalah anak kandung demokrasi. Sungguh menarik sekali pendapat beliau yang diam-diam saya amini dalam hati.

Selama ini kita sebagai masyarakat kerap dihadapkan pada kenyataan yang dalam istilah Soe Hok Gie, politik adalah barang yang paling kotor. Tak salah juga memang, jika melihat realitas saat ini bagaimana praktik money politic, black campaign, hingga hate speech berjamuran. Itu semua terjadi bukan hanya di tingkat nasional saja, bahkan di level desa pun sudah menjadi budaya. Mereka mencontoh tokoh-tokoh di level yang lebih tinggi.

Namun, betapapun kotornya, bahkan mungkin menjijikannya, kita tak bisa abai atau menampik politik. Kenapa? Karena setiap aspek kehidupan ini tidak terlepas dari politik. Bukan hanya dari kebijakan tingkat tinggi, bahkan harga bawang, minyak, hingga lipstik yang kita pakai itu juga hasil dari politik. Politik tak melulu terbatas pada tataran politik praktis. Yang kemudian ingin saya sampaikan mengenai unek-unek saya di masa menuju pemilu dan pilkada ini, yaitu tentang keterwakilan perempuan sebagai bentuk implementasi dari affirmative action 30% sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Meskipun sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan mengenai jumlah kuota tersebut, tapi setidaknya dengan adanya regulasi mengenai keterwakilan perempuan ini memaksa partai untuk mengikut-sertakan perempuan dalam ranah politik. Ini penting sekali sebagai aksi nyata pemerintah dalam pengamalan Sustainable Development Goals bagi keadilan gender. Memang hasilnya seperti yang kita lihat sekarang, banyak sekali perempuan yang menjadi kepala daerah dan juga anggota legislatif. Namun, apakah sudah selesai di situ?

Berdasarkan pengalaman saya sendiri sebagai warga Banten yang menetap di Serang, sepanjang arah jalan dari Terminal Pakupatan sampai Alun-Alun Kota, hingga di gang-gang sempit kos-kosan mahasiswa dan pemukiman warga, yang nampak mencolok dan paling banyak bertebaran adalah wajah-wajah para calon laki-laki dalam berbagai pose dan jargon yang, jujur saja, slogannya nampak utopis dan basi.

Namun, ada yang menarik dari Pilkada Banten sendiri, yaitu sampai saat ini setidaknya ada dua sosok perempuan yang baliho dan banner-nya bertebaran di papan-papan reklame, yaitu wajah Airin Rachmi Diany dan Ratu Ageng Rekawati. Untuk Airin sendiri namanya sudah sangat dikenal dan bukan pemain baru dalam dunia politik mengingat dia pernah menjabat sebagai Wali Kota Tangerang Selatan. Namun meski dalam politik praktis ini Ratu Ageng merupakan wajah baru tapi sosoknya sudah dikenal oleh masyarakat Banten karena aktivitas sosial dan kepeduliannya terhadap budaya Banten, mengingat dia adalah anak dari tokoh Banten juga yang bernama Abah H. Sangadiah, pendiri Organisasi Masyarakat Paguron Jalak Banten Nasional (PJBN).

Jika keduanya nanti benar-benar maju sebagai paslon gubernur maka akan sangat menarik untuk menampik stigma bahwa politik itu maskulin, ranahnya laki-laki. Kembali dengan unek-unek saya tadi. Biasanya yang sering terjadi, meski kehadiran sosok-sosok pemimpin perempuan sudah banyak, bahkan berhasil menduduki posisi strategis di tingkat pusat, tapi dalam prosesnya tetap saja yang mengatur, mengontrol, dan mengambil keputusan di balik layarnya adalah laki-laki. Sederhananya, perempuan terima beres.

Maka dari itu, meski mereka menjadi orang nomor satu, pemegang kebijakan tertinggi dalam suatu daerah, tapi mereka awam secara politik. Bahkan yang miris, ada seorang perempuan dari Banten yang menjadi anggota DPD RI tapi selama dia menjabat belum pernah bersuara sama sekali dalam setiap rapat atau sidang (ini menurut kesaksian salah satu mantan komisioner Bawaslu Banten).

Kenapa dia bisa terpilih? Karena dia mempunyai modal dan juga latar belakang keluarga yang kuat. Dia tak perlu belajar bagaimana tugas dan wewenang anggota dewan itu, bahkan hal sederhana seperti tata cara persidangan saja mungkin dia tidak tahu apalagi ikut menyumbang gagasan dalam membuat rancangan undang-undang. Tapi secara figur memang perempuan itu menjadi daya tarik, mudah mendapat simpati masyarakat. Karena kekuasaan dalam perspektif perempuan, seperti yang dikatakan Chusnul Mar’iyah adalah bersifat power to do, bukan power over yang lebih maskulin. Ketika perempuan berkuasa lebih banyak bicara tentang caring, mengayomi, melakukan sesuatu untuk anak bangsa sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa yang termaktub dalam UUD 1945.

Tentu saja apa yang saya paparkan adalah bentuk kegelisahan saya selaku perempuan, yang intinya saya mengharapkan siapa pun perempuan-perempuan yang terjun di dunia politik tak cukup hanya sekedar berpuas diri menerima hasil akhir dan hanya manut dengan menjalankan segala apa yang telah diatur dan diputuskan oleh laki-laki. Maksud saya adalah, bahwa perempuan juga harus mendapatkan pendidikan politik (cerdas secara politik), agar jangan menjadi boneka bagi pemangku kepentingan.

Jangan sampai ketika terpilih hanya sekadar menjadi manekin yang tidak peka terhadap permasalahan sosial, budaya, politik, dan juga hukum yang ada. Karena seperti kata Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul Wakil Rakyat, “Saudara dipilih bukan dilotre”. Setiap suara yang kami berikan, bahkan sampai ada yang berakibat korban nyawa itu ada harapan yang kami pertaruhkan. Jadi, saya harap siapa pun nanti saat pemilu juga pilkada tiba terutama untuk wilayah Banten, dan jika perempuan yang terpilih, maka jadilah pemimpin pemikir, bukan hanya pelaksana.

Walalhu’alam Bishowab

Anggota PMII Kota Serang, Banten.