Social Media

Potret Toleransi Beragama di Indonesia Tahun 2022

Pengantar

Sejak tahun 2021 Jaringan GUSDURian Indonesia telah membuat laporan tahunan untuk memotret perkembangan kondisi Indonesia menggunakan parameter isu prioritas Jaringan GUSDURian. Isu prioritas ini meliputi: 1) Demokrasi dan Kewargaan, 2) Toleransi,  3) Kesetaraan Gender, 4) Pribumisasi Islam, 5) Kerusakan Lingkungan, dan 6) Ekonomi Kerakyatan. Isu prioritas ini didasarkan pada panel pakar pada Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian Indonesia setiap dua tahun sekali dengan mempertimbangkan aspek-aspek penting isu terkini menggunakan kaca mata dan perspektif nilai-nilai Gus Dur.

Pada tahun 2021 yang lalu, riset Jaringan GUSDURian fokus kepada isu kesetaraan gender dengan mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan seksual sepanjang Januari-Desember 2021. Pada tahun ini, Jaringan GUSDURian fokus untuk mencatat dokumentasi kasus-kasus toleransi beragama dan demokrasi. Laporan yang sedang Anda baca ini merupakan laporan perihal pantauan toleransi beragama dari bulan Januari-Desember 2022. Sedangkan untuk laporan terkait kondisi demokrasi terkini akan dipersiapkan dalam dokumen berbeda.

Penelitian tentang toleransi beragama ini membatasi diri hanya mencatat kasus intoleransi yang dipublikasikan oleh media massa daring (online). Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan memahami gambaran kondisi terkini toleransi beragama di Indonesia yang berlangsung selama tahun 2022. Berdasarkan penelitian yang telah kami lakukan, kami menemukan data-data menarik yang sangat penting untuk dicermati perihal kondisi intoleransi di tanah air. Kasus intoleransi dengan model pelarangan dan perusakan rumah ibadah masih mendominasi kasus intoleransi di tanah air. Kasus lain yang sangat signifikan adalah terkait dengan pemaksaan jilbab dan pelarangan pencalonan ketua OSIS kepada non-muslim. Kasus intoleransi lain adalah pelarangan ibadah Natal. Selain itu, peta persebaran kasus intoleransi di Indonesia sangat patut mendapat perhatian. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten menduduki tiga peringkat tertinggi kasus intoleransi di Indonesia. Adapun laporan lengkapnya dapat Anda baca di bagian temuan-temuan dan analisis.

Tujuan Laporan

  1. Memetakan peristiwa-peristiwa intoleransi di Indonesia pada tahun 2022.
  2. Memetakan tantangan-tantangan toleransi beragama di Indonesia pada tahun 2022.

Pendekatan dan Sumber Data

Laporan ini menggunakan pendekatan metode berbasis peristiwa. Pendekatan seperti ini kerap digunakan untuk melihat pemantauan situasi terkini dalam isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Sumber data di sini didapatkan dari pemantauan media massa daring, meliputi media massa daring nasional dan lokal seperti KompasBBCCNN IndonesiaMy SulutBengkulu TodayTribun Lampung, dan lainnya. Hal ini dipilih karena belakangan ini semakin besarnya arus internet dan digitalisasi di Indonesia. Penggunaan media daring lokal dalam penelitian ini mempertimbangkan aspek kedekatan jurnalisme dengan kasus-kasus lokal yang terjadi di sekitarnya, yang mana kadang tidak terliput oleh media nasional. Informasi dari media lokal tersebut masih kami gunakan selama media tersebut memiliki standar jurnalistik yang layak. Berbagai informasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kategorisasi yang didasarkan pada masing-masing isu prioritas Jaringan GUSDURian Indonesia. Kemudian dilakukan identifikasi dan pemetaan berdasarkan peristiwa, narasi, waktu, lokasi, aktor, dan korbannya. Selain analisis yang bersifat kuantitatif, laporan ini juga menggunakan analisis kualitatif dengan mendalami peristiwa-peristiwa yang menonjol.

Wilayah Pemantauan

Wilayah pemantauan penelitian ini meliputi seluruh bagian negara Indonesia yang terpublikasi melalui media massa daring lokal dan nasional.

Kerangka Konseptual

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa definisi konseptual yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi definisi, kerangka hukum, dan indikator. Hal ini sebagai sebuah pertanggungjawaban ilmiah kepada publik. Adapun konsep-konsep tersebut sebagai berikut:

Toleransi secara sederhana bisa dipahami sebagai sikap yang menghormati hak asasi manusia (HAM) setiap individu. Putnam dan Campbell (2012) mendefinisikan toleransi beragama sebagai seperangkat sikap dan perilaku yang melibatkan penghormatan terhadap hak individu lain untuk memegang keyakinan agama mereka sendiri dan menjalankan agama mereka sendiri tanpa hambatan. Menurut Neusner dan Chilton (2008) toleransi beragama adalah kemampuan untuk hidup berdampingan dengan tradisi agama yang berbeda dari tradisi sendiri.

Pelanggaran terhadap hak keyakinan agama orang lain disebut sebagai sikap intoleran dan diskriminatif. Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 1 ayat (3) menyebutkan diskriminasi sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pada pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Adapun sosok intelektual muslim yang sangat perhatian terhadap persoalan toleransi beragama adalah Gus Dur. Gus Dur termasuk salah satu intelektual muslim yang memiliki komitmen besar terhadap toleransi dan kemanusiaan. Gus Dur pernah menegaskan bahwa:

Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerja sama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerja sama itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan, apabila ada dialog antaragama…. Kerja sama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban.” (Wahid, 2006: 133-134).

Gus Dur memandang bahwa inti dari setiap agama adalah cinta kasih kepada sesama. Muara dari seluruh ajaran agama adalah cinta kasih kepada sesama manusia. Berangkat dari cara pandang inilah Gus Dur menolak ekstremisme dalam agama. Baginya, agama mengajarkan perdamaian, sedang ekstremisme mengajarkan permusuhan dan kekerasan. Ekstremisme dalam agama tidak memiliki hasil apa pun kecuali menebar teror dengan memanipulasi ajaran suci agama yang penuh damai.

Dalam Tolerance: The Threshold of Peace a Teaching/Learning Guide for Education for Peace, Human Rights and Democracy (1994) yang diterbitkan UNESCO menyebutkan bahwa intoleransi tidak hanya semata-mata “hasil” tapi juga sebuah gejala-gejala yang bisa dideteksi dalam bentuk tindakan tertentu. Intoleransi dinilai sebagai sesuatu yang membawa pada potensi lahirnya penyakit sosial yang mengancam kehidupan bernama kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan adalah sebagai berikut:

  1. Bahasa (language) yaitu bahasa eksklusif, merendahkan, dan fitnah yang mengurangi, merendahkan, dan mendehumanisasi kelompok-kelompok budaya, ras, nasional, atau jenis kelamin.
  2. Stereotip (stereotyping) yaitu penggambaran seluruh anggota atau kelompok yang digolongkan dengan penyematan yang negatif.
  3. Mengolok-olok (teasing) yakni panggilan perhatian terhadap tindakan, atribusi, dan karakteristik manusia tertentu yang cenderung mengejek atau menghina.
  4. Buruk sangka (prejudice) yaitu penilaian berdasarkan generalisasi negatif dan stereotip ketimbang berdasarkan fakta aktual dari kasus atau tindakan spesifik oleh individu atau kelompok.
  5. Pengambinghitaman (scapegoating) yaitu menyalahkan peristiwa-peristiwa traumatis atau masalah sosial pada kelompok tertentu.
  6. Diskriminasi (discrimination) yaitu pengecualian dari penikmatan atas manfaat atau aktivitas-aktivitas sosial, utamanya didasarkan pada buruk sangka.
  7. Pengabaian yakni berperilaku seolah-olah yang lain tidak hadir atau tidak ada. Penolakan untuk berbicara atau mengakui yang lain atau budaya mereka, termasuk ethnocide di dalamnya.
  8. Pelecehan (harassment) yaitu perilaku yang disengaja untuk mengintimidasi dan merendahkan orang lain dan sering dimaksudkan sebagai sarana memaksa mereka keluar dari organisasi, komunitas atau kelompok tertentu.
  9. Perundungan (bullying) yakni penggunaan superioritas kapasitas fisik atau angka yang lebih besar untuk mempermalukan orang lain atau menghalangi mereka dari properti atau status.
  10. Pengusiran (expulsion) yaitu pengusiran secara resmi atau dengan paksa, mengusir atau menolak hak masuk atau kehadiran di sebuah tempat, kelompok sosial, profesi atau tempat kegiatan kelompok tertentu terjadi, termasuk di mana kelangsungan hidup mereka tergantung seperti tempat kerja, tempat tinggal, dan lain-lain.
  11. Pengecualian (exclusion) yakni menyangkal kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan mendasar dan/atau berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat seperti dalam kegiatan komunal tertentu.
  12. Segregasi (segregation) yaitu pemisahan paksa orang dari ras, agama atau jenis kelamin yang berbeda dan biasanya untuk merugikan satu kelompok tertentu, termasuk apartheid.
  13. Penindasan (repression) yaitu pencegahan kuat dari penikmatan HAM.
  14. Penumpasan (destruction) yakni keterpencilan, kekerasan fisik, penghapusan dari daerah mata pencaharian, bersenjata penyerangan, dan pembunuhan. Termasuk di dalam penumpasan adalah genosida.

Intoleransi dapat juga dipahami sebagai bentuk pengabaian terhadap kebebasan dan kemerdekaan beragama setiap individu yang dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 29 ayat 2 yang mengatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan keyakinannya itu.”

Selain itu jaminan kebebasan beragama juga dilindungi oleh hak asasi manusia (HAM) yang tertuang dalam pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah “setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berpindah agama atau keyakinan; dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah, mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

Melalui dua dasar di atas, setiap warga negara memiliki hak kebebasan dalam beragamanya. Hak kebebasan beragama ini dijamin undang-undang dengan menugaskan negara untuk menjaga dan melindungi kebebasan tersebut.

Peristiwa dan Tindakan Pelanggaran

Pemantauan terhadap pemberitaan media daring dalam kurun waktu Januari-Desember 2022 ini menemukan 28 kasus intoleransi. Pada bulan Januari terjadi sebanyak 1 kasus intoleransi. Sedangkan pada bulan Februari mengalami peningkatan dengan terjadi 3 kasus. Kemudian pada bulan Maret terjadi 2 kasus dan pada bulan April terjadi 3 kasus intoleransi. Pada bulan Mei terjadi 5 kasus dan pada bulan Juni terjadi 2 kasus. Pada bulan Juli terjadi 3 kasus dan bulan Agustus 1 kasus. Pada bulan September terjadi 3 kasus dan bulan Oktober terjadi 1 kasus. Bulan November 1 kasus dan bulan Desember 2 kasus.

Tabel 1. Detail Peristiwa Intoleransi di Indonesia

NoTgl/Bln/ThnPeristiwaAktorSumber
12 Januari 2022Perusakan Pondok Pesantren Assunah di Lombok TimurTidak diketahuiTempo.co
26 Februari 2022Pelarangan Pendirian Gereja di Balai Karimun, Tanjung BalaiForum Umat Islam Bersatu (FUIB)BBC
312 Februari 2022Pelarangan Ibadah di Masjid Jabir di Aceh BaratSatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Pemda Aceh BaratAJNN.net
417 Februari 2022Perusakan Patung Amijoyo di KediriTidak diketahuiNgopibareng.id
523 Maret 2022Penolakan Pendirian Gereja HKBP di BandungWargaLiputan 4
618 April 2022Penolakan Pembangunan Gereja di CilegonWargaFakta IDN
724 April 2022Perusakan Pura Dipa Giri Sakti di KediriSG (Inisial pelaku)Polres Kediri Kota
84 Mei 2022Perusakan Masjid di Kulon Progo DIYTidak diketahuiBaca Jogja
913 Mei 2022MUI Larang Promosi LGBT di MediaMajelis Ulama Indonesia (MUI)Inews Jateng
1015 Mei 2022Pelarangan Pendirian Masjid Muhammadiyah di AcehSatpol PPRepublika
1115 Mei 2022Larangan Ibadah Gereja di Lanud AmbonPetugas LanudTribun Ambon
1225 Mei 2022Perusakan Gereja di Waway Karya, Lampung TimurTidak diketahuiRepublika
1322 Juni 2022Perusakan Rumah Penghayat Laroma di MinahasaRohaniawanVOA Indonesia
147 Juli 2022Pemaksaan Jilbab SDN Tambora di JakartaSekolahKompas
157 Juli 2022Pemaksaan Jilbab SMP N Kebon Jeruk  di JakartaSekolahKompas
1612 Juli 2022Perusakan Makam Tionghoa di Tobali BangkaTidak diketahuiBabel Insight
1715 Juli 2022Pemaksaan Jilbab pada Siswi di SMPN PandakSekolahHarian Jogja
185 Agustus 2022Pemaksaan Jilbab di SMAN BantulKepala SekolahCNN Indonesia
199 Agustus 2022Pelarangan Ibadah Jemaat Kristen Giri Kencana di BengkuluWargaBengkulu Today
201 September 2022Pelarangan Pendirian Gereja di CilegonWalikotaAkurat.co
2111 September 2022Penyegelan Masjid Nur Hidayah SlemanKetua RTBernas
2222 September 2022Gangguan Vihara Vien En Tang di JakartaAhli Waris Pemberi HibahPilar.id
237 Oktober 2022Perusakan Gereja Gembala Yesus di KendariTidak diketahuiKendari Info
2416 Oktober 2022Perusakan Gereja HKBP CibinongOknum salah satu kubu perselisihan jemaatVOI.id
2521 Oktober 2022Pelarangan Siswa Non-Muslim Mencalonkan Jadi Ketua OSIS di SMAN 52 JakartaGuruTempo
2627 November 2022Pencopotan Logo Gereja di Bantuan untuk Gempa CianjurAnggota OrmasTirto
2725 Desember 2022Pelarangan Ibadah Natal di Cibelut BogorWargaDetik
2825 Desember 2022Pelarangan Ibadah Natal di Maja Lebak BantenBupatiBBC

Tabel 2. Peristiwa Intoleransi di Indonesia Tahun 2022

Aktor Tindakan Intoleransi

Adapun aktor tindakan intoleransi di Indonesia sejak Januari-Desember 2022 dibagi menjadi dua kategori: 1) Aktor Negara, dan 2) Aktor Non-Negara.

Tabel 3. Pemetaan Aktor

1) Aktor Negara

Berdasarkan pemantauan tahun 2022 ini kami menemukan aktor tindakan intoleransi yang dilakukan oleh aktor negara sebanyak 11 kasus. Adapun pelaku dari aktor negara ini meliputi: Satuan Polisi Pamong Praja, Kepala Daerah, Oknum TNI, dan Ketua RT.

Tabel 4. Pemetaan Aktor Negara

2) Aktor Non-Negara

Adapun aktor non-negara pada kasus intoleransi di tahun 2022 ini terjadi sebanyak 17 kasus. Pelaku dari aktor non-negara tersebut adalah ormas Islam, tokoh agama, warga setempat, dan lainnya.

Tabel 5. Pemetaan Aktor NonNegara

Kasus Intoleransi Berdasarkan Wilayah

Peta persebaran wilayah kasus intoleransi di Indonesia sejak Januari-Desember 2022 dapat dijelaskan secara lengkap dalam tabel 6. Kasus terbanyak terjadi di DKI Jakarta dan Jawa Barat dengan 5 kasus. Kasus terbanyak selanjutnya terjadi di Provinsi D.I. Yogyakarta dengan 4 kasus. Kasus terbanyak selanjutnya Provinsi Banten dengan 3 kasus.

Tabel 6. Persebaran Wilayah Kasus Intoleransi tahun 2022

Analisis Kasus Intoleransi di Indonesia Tahun 2022

Berdasarkan pemantauan sejak Januari-Desember 2022 terjadi 28 kasus intoleransi. Kasus tersebut dapat dikategorisasikan melalui beberapa kelompok. Pertama, kasus intoleransi dapat dipetakan berdasarkan jenis kasus intoleransi. Misalnya, kasus intoleransi dengan model: a) Pelarangan dan perusakan rumah ibadah, b) Pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah negeri, dan c) Pelarangan ibadah Natal. Kedua, kasus intoleransi dapat dikelompokkan berdasarkan aktor atau pelakunya. Hal ini dapat dibedakan berdasarkan: a) Aktor negara, b) Aktor non-negara. Ketiga, kasus intoleransi dapat dikategorisasi berdasarkan persebaran wilayahnya.

Peta Kasus Intoleransi Berdasarkan Jenis Kasus

1) Kasus Pelarangan dan Perusakan Rumah Ibadah

Adapun kasus intoleransi dengan model kasus seperti ini terjadi sebanyak 18 kali. Kasus intoleransi dengan model pelarangan dan perusakan rumah ibadah ini menempati posisi pertama kasus intoleransi terbanyak pada tahun 2022. Kasus dengan jenis ini misalnya terjadi pada kasus pelarangan pendirian gereja di Balai Karimun, Tanjung Balai, Provinsi Kepulauan Riau pada 6 Februari 2022. Sekelompok warga yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menolak pembangunan Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun. Perwakilan ormas FUIB menolak pembangunan gereja tersebut dengan alasan Karimun mayoritas penduduknya beragama Islam (BBC, 12/02/2022).

Kasus penolakan pembangunan Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai ini perlu mendapat catatan. Pembangunan gereja ini meskipun sudah mengantongi izin, namun proses pembangunannya masih mengalami hambatan yang datang dari sekelompok warga yang mengatasnamakan ormas FUIB.

Kasus pelarangan pendirian ibadah lain terjadi di Cilegon Banten. Kasus pelarangan pendirian ibadah ini terjadi pada 1 September 2022. Adapun kasus intoleransi ini dilakukan oleh Walikota Cilegon, Provinsi Banten dengan menandatangani kain putih sebagai bentuk persetujuan melarang pendirian gereja di Cilegon. Adapun video penandatanganan penolakan pendirian gereja tersebut viral di media sosial.

Kasus pelarangan pendirian rumah ibadah ini tak hanya terjadi pada pendirian gereja. Pada kasus lain juga terjadi pada pendirian masjid seperti yang terjadi pada pendirian masjid Muhammadiyah di Aceh. Proses pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Biruen, Aceh harus dihentikan setelah mendapatkan pelarangan dari sekelompok warga yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok mayoritas di wilayah tersebut. Penolakan tersebut berlanjut hingga merusak tiang-tiang bangunan masjid yang sudah berdiri (Republika, 1/11/2022).

Kasus pelarangan dan perusakan masjid terjadi juga di Aceh Barat, Kulon Progo, dan Sleman. Pada 12 Februari 2022 terjadi pelarangan ibadah di Masjid Jabir di Aceh Barat. Pelarangan tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah Aceh Barat melalui tenaga Satpol PP. Kasus serupa juga terjadi di Masjid Nurul Hidayah di Sleman pada 11 September 2022. Kasus pelarangan ibadah ini dilakukan oleh sekelompok warga setempat. Adapun tren kasus pelarangan ibadah terhadap rumah ibadah kaum muslim ini terjadi pada masjid milik kelompok minoritas muslim di wilayah tersebut. Pada konteks kasus Aceh, kelompok minoritas yang mengalami korban pelarangan ibadah ini adalah kelompok Muhammadiyah dan Salafi. Kedua kelompok ini berstatus minoritas dalam konteks wilayah Aceh. Demikian juga yang terjadi pada kasus pelarangan ibadah di Masjid Nur Hidayah di Sleman juga merupakan kelompok minoritas di wilayah tersebut. Kasus pelarangan ibadah di masjid ini sebelumnya pernah terjadi kepada kelompok minoritas Ahmadiyah di Jawa Barat. Pada tahun 2022 ini kasus pelarangan ibadah di masjid tersebut terjadi pada kelompok Salafi, LDII, dan Muhammadiyah. Pada kasus ini yang terjadi adalah pergeseran identitas korban. Misal, pada tahun-tahun sebelumnya yang menjadi korban adalah kelompok Ahmadiyah, sedangkan saat ini yang menjadi korban adalah kelompok Muhammadiyah, LDII, dan Salafi.

2) Pemaksaan Jilbab di Sekolah Negeri

Adapun kasus intoleransi terbanyak selanjutnya adalah kasus pemaksaan jilbab di sekolah negeri. Berdasarkan pantauan pemberitaan media, kasus pemaksaan jilbab ini terjadi di dua wilayah, yakni DKI Jakarta dan Yogyakarta.

Pada tanggal 15 Juli 2022 terjadi kasus pemaksaan pemakaian jilbab di SMPN Pandak kepada siswi non-muslim. Kasus pemaksaan penggunaan jilbab ini dilakukan oleh pihak sekolah kepada seluruh siswinya tanpa terkecuali, termasuk kepada siswi yang beragama di luar Islam. Kasus serupa juga terjadi di SMAN Banguntapan, Bantul pada 5 Agustus 2022. Pihak sekolah mewajibkan kepada siswinya yang beragama di luar Islam untuk tetap memakai jilbab. Kasus serupa juga terjadi di DKI Jakarta. Pada 7 Juli 2022 terjadi pemaksaan jilbab kepada non-muslim di SDN Tambora dan SMPN Kebon Jeruk di Jakarta. Pihak sekolah memaksa siswinya non-muslim untuk tetap memakai jilbab (Kompas.com, 8/7/2022).

Kasus lain yang masih serupa terjadi di SMAN 52 Jakarta pada tanggal 21 Oktober 2022. Oknum guru di sekolah tersebut melarang siswa non-muslim untuk mencalonkan diri sebagai calon ketua OSIS di sekolah tersebut (Tempo.co, 18/10/2022).

3) Pelarangan Ibadah Natal

Kasus intoleransi yang cukup banyak terjadi lainnya adalah pelarangan ibadah Natal. Seperti yang terjadi di Cibelut Kabupaten Bogor pada 25 Desember 2022. Warga di sekitar tempat ibadah menghentikan ibadah Natal dengan alasan jemaat Natalnya bukan hanya dari desa tersebut, namun dari berbagai wilayah (Detik, 25/12/2022).

Kasus serupa terjadi di Maja, Lebak, Banten. Bupati Lebak menerbitkan peraturan kepada jemaat gereja di Maja untuk tidak boleh merayakan Natal di gereja tersebut. Bupati tersebut menginstruksikan agar ibadah gereja ikut dengan Natal di wilayah lain (Tempo, 25/12/2022)

Peta Kasus Intoleransi Berdasarkan Aktor

1) Intoleransi dengan Aktor Negara

Adapun kasus intoleransi dengan aktor negara terjadi sebanyak 11 kasus. Aktor negara dalam kasus intoleransi ini meliputi: Walikota, Satpol PP, Kepala Sekolah, dan Guru. Kasus intoleransi dengan aktor negara ini berkebalikan dengan tugas ideal negara yang seharusnya bertugas menjaga dan melindungi hak kebebasan beragama warga negara.

Pada 11 Februari 2022, aparat gabungan yang terdiri TNI-Polri, Satpol PP, dan Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) melarang pelaksanaan ibadah salat Jum’at di Masjid Jabir al-Ka’by Aceh Barat. Aparat gabungan tersebut melarang ibadah salat Jum’at dengan alasan masjid tersebut tidak mengantongi izin sebagai masjid. Adapun perintah pelarangan ibadah salat Jum’at tersebut datang dari Bupati Aceh Barat (AJJN.net, 11/2/2022).

Kasus lain terjadi di Cilegon, Banten. Kasus pelarangan pendirian ibadah ini terjadi pada 1 September 2022. Adapun kasus intoleransi ini dilakukan oleh Walikota Cilegon yang menandatangai kain putih sebagai bentuk persetujuan menolak pendirian gereja di Cilegon. Adapun video penandatanganan penolakan pendirian gereja tersebut viral di media sosial. Kasus pelarangan pendirian gereja ini merupakan masalah laten di Cilegon, Banten. Menurut data dari Tirto.id bahwa tidak ada gereja, vihara, dan pura di Cilegon Banten. Hal ini kontras dengan adanya 382 masjid dan 287 mushola di Cilegon, Banten (Tirto.id, 18/6/2022).

Kasus intoleransi dengan aktor negara juga terjadi di lembaga pendidikan. Pada kasus ini, kepala sekolah dan guru membuat aturan yang memaksa setiap siswi wajib memakai jilbab, meskipun siswi tersebut beragama di luar Islam.

Pada tanggal 15 Juli 2022 terjadi kasus pemaksaan pemakaian jilbab di SMPN Pandak kepada siswi non-muslim. Kasus pemaksaan penggunaan jilbab ini dilakukan oleh pihak sekolah kepada seluruh siswinya tanpa terkecuali, termasuk siswi yang beragama di luar Islam. Kasus serupa juga terjadi di SMAN Banguntapan, Bantul pada 5 Agustus 2022. Pihak sekolah mewajibkan kepada siswinya yang beragama di luar Islam untuk tetap memakai jilbab. Kasus serupa juga terjadi di DKI Jakarta. Pada 7 Juli 2022 terjadi pemaksaan jilbab kepada non-muslim di SDN Tambora dan SMPN Kebon Jeruk di Jakarta. Pihak sekolah memaksa siswinya non-muslim untuk tetap memakai jilbab (Kompas.com, 8/7/2022).

Kasus lain yang masih serupa terjadi di SMAN 52 Jakarta pada tanggal 21 Oktober 2022. Oknum guru di sekolah tersebut melarang siswa non-muslim untuk mencalonkan diri sebagai calon ketua OSIS di sekolah tersebut (Tempo.co, 18/10/2022).

2) Aktor Intoleransi NonNegara

Kasus intoleransi sepanjang Januari-Desember 2022 ini banyak dilakukan oleh aktor non-negara. Aktor non-negara yang melakukan aksi intoleransi adalah warga sekitar, ormas, tokoh agama, dan lainnya.

Pada 6 Februari 2022 sekelompok warga yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menolak pembangunan Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun. Perwakilan ormas FUIB menolak pembangunan gereja tersebut dengan alasan Karimun mayoritas penduduknya beragama Islam. Pembangunan gereja ini meskipun izin, namun proses pembangunannya masih mengalami hambatan. Hambatan tersebut datang dari sekelompok warga yang mengatasnamakan ormas FUIB. (BBC, 12/2/2022).

Selain itu, kasus penyegelan rumah ibadah terjadi di Masjid Nurul Hidayah Sleman pada 11 September 2022. Penyegelan tersebut dilakukan oleh warga sekitar yang mengatakan tidak nyaman dengan hadirnya masjid dengan latar organisasi LDII tersebut. Meskipun pada akhirnya segel tersebut sudah dibuka, namun jama’ah masjid tersebut tetap dilarang untuk melakukan aktivitas ibadah salat jum’at (Bernas, 12/9/2022).

Pada 22 Juni 2022 terjadi aksi pembakaran rumah tinggal para penghayat Malesung di Laroma, Minahasa. Sekelompok warga yang diprovokasi oleh seorang pendeta yang menstigma penghayat sebagai aliran sesat akhirnya membakar rumah mereka. Kasus ini menambah catatan banyak kasus intoleransi yang terjadi kepada para penghayat minoritas (VOA Indonesia, 25/6/2022).

Peta Kasus Intoleransi Berdasarkan Wilayah

Peta persebaran wilayah kasus intoleransi di Indonesia sejak Januari-Desember 2022 dapat dijelaskan secara lengkap dalam tabel 6. Kasus terbanyak terjadi di DKI Jakarta dan Jawa Barat dengan 5 kasus. Kasus terbanyak selanjutnya terjadi di Provinsi D.I. Yogyakarta dengan 4 kasus. Kasus terbanyak selanjutnya terjadi di Provinsi Banten dengan 3 kasus.

Menurut catatan kebebasan beragama yang dirilis Wahid Foundation pada tahun 2019, provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Yogyakarta masuk ke dalam lima besar provinsi dengan kasus intoleransi tertinggi. Pada tahun tersebut, berdasarkan laporan tersebut Jawa Barat terjadi 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama, DKI Jakarta dengan 20 kasus, dan D.I. Yogyakarta terjadi 8 kasus (Wahid Foundation, 2019).

Melihat catatan dari Wahid Foundation tersebut, munculnya DKI Jakarta, Jawa Barat, dan D.I. Yogyakarta sebagai provinsi dengan kasus intoleransi tertinggi tahun 2022 ini bukanlah hal yang baru. Hal ini juga menggambarkan bahwa di tiga wilayah tersebut tampaknya belum ada upaya yang efektif dalam mencegah munculnya kasus intoleransi.

Penutup

Berdasarkan pantauan media daring nasional dan lokal sejak Januari-Desember 2022, kami menemukan 28 kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Adapun kasus tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua jenis kasus intoleransi: a) Pelarangan dan perusakan rumah ibadah,  b) Pemaksaan jilbab kepada siswi non-muslim di sekolah negeri, dan c) Pelarangan ibadah Natal. Kemudian, kasus intoleransi tersebut dilakukan oleh aktor negara dan non-negara. Aktor negara meliputi: Satpol PP, TNI, Polri, Kepala Sekolah, dan Guru. Sedangkan aktor non-negara adalah tokoh agama, ormas Islam, warga sekitar dan lainnya. Adapun peta persebaran kasus intoleransi ini meliputi 1) DKI Jakarta: 5 kasus, 2) Jawa Barat: 5, 3) D.I. Yogyakarta: 4 kasus, 4) Banten: 3 kasus, dan 4) Aceh dan Jawa Timur: masing-masing 2 kasus.

Daftar Pustaka

Putnam, R. D. & Campbell, D. E. (2012). American Grace: How Religion Divides Us and Unites Us. New york: Simon & Schuster.

Neusner, J. & Chilton, B. (2008). Religious Tolerance in World Religions. West Conshohocken: Templeton Press

UNESCO. (1994). Tolerance: The Treshold of Peace, A Teaching/Learning Guide for Education for Peace, Human Right and Democracy. Pre-eliminary version. Paris: UNESCO. Wahid, A. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *