Social Media

Mengenang Gus Dur, Kiai dan Pemimpin yang Peduli Kaum Minoritas

Gus Dur adalah sosok kiai kampung yang lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan KH. Abdul Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Sholehah. Ayah Gus Dur, KH. Abdul Wahid Hasyim adalah anak dari Hadratusyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, kiai yang mempunyai andil besar dari Jawa Timur sekaligus pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Wahid juga merupakan menteri agama pertama yang menjabat saat era Orde Lama.

Begitulah sekilas informasi tentang Gus Dur. Namun, di sini penulis ingin membahas kisah Gus Dur dalam memberikan perhatian khusus kepada kaum minoritas yang berhak dibantu dan diberikan kenyamanan agar tidak merasa dikucilkan. Penulis coba menghimpun berbagai interaksi yang telah Gus Dur torehkan dalam rangka membela hak-hak kaum minoritas. Tentu upaya Gus Dur ini patut kita contoh dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Gus Dur tidak pernah memiliki tendensi dalam memberikan perhatian khusus kepada kaum minoritas. Semuanya murni dilakukan dengan kebesaran hatinya, karena beliau memandang hak manusia yang hidup semata-mata sama. Meski sering kali berbeda keyakinan, namun itu tidak menyurutkan semangat dan langkah yang dilakukan oleh Gus Dur dengan terus berinteraksi membangun harmonisasi hubungan dengan kaum minoritas. Upaya-upaya ini setidaknya Gus Dur lakukan dalam tiga hal:

Pertama, ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Seperti diketahui, Inpres tersebut adalah buatan Presiden Soeharto yang isinya mengekang kebebasan beribadah dan tradisi masyarakat Tionghoa.

Pada saat itu masyarakat keturunan Tionghoa hampir selama 30 tahun hidup di bawah bayang-bayang ancaman dan berbagai tindakan diskriminasi, serta dibatasi kebebasannya oleh pemerintah Orde Lama. Melihat hal itu Gus Dur langsung bertindak dan mengeluarkan Keppres tersebut pada 17 Januari 2000, termasuk di dalamnya berisi diperbolehkannya kembali perayaan Imlek. Di sini Gus Dur berjasa besar dalam menghapus adanya diskriminasi. Karena andilnya dalam membuat etnis Tionghoa dapat merayakan Tahun Baru Imlek di setiap tahunnya.

Begitulah Gus Dur. Beliau tidak memandang etnis, agama, dan preferensi politiknya. Baginya, semua masyarakat Indonesia memiliki hak dan kedudukan yang sama di depan hukum. Gus Dur juga mengatakan bahwa ini merupakan esensi dari ajaran Islam yang tidak membedakan siapa pun.

Melalui Keppres itu akhirnya masyarakat Tionghoa bisa bernapas lega. Dengan rasa haru, mereka menyambut baik langkah yang dilakukan oleh Gus Dur. Bahkan, salah satu pertunjukan yang identik dengan Masyarakat Cina yakni Barongsai, yang semula hanya bisa dinikmati dalam film-film aksi atau silat Tiongkok, mulai saat itu atraksinya bisa ditonton secara langsung oleh masyarakat Indonesia.

Kedua, Gus Dur sangat peduli dan memberikan dukungan untuk kelompok Ahmadiyah. Meski dirinya mengaku tidak sepakat dengan isi ajarannya, Gus Dur lantas dengan suara lantang menegaskan siap memberikan pembelaan terhadap polemik yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah.

Pada waktu itu, menurut data yang dihimpun penulis, Gus Dur yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bahkan menyatakan siap bersedia menjadi saksi untuk membela Ahmadiyah jika perkaranya dibawa ke ranah pengadilan. Hal tersebut tentu menjadi polemik dan berbuntut dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang memberikan peringatan agar kelompok Ahmadiyah menghentikan kegiatannya.

Ketiga, Gus Dur memberikan ruang terbuka dan mendengarkan aspirasi serta melakukan diskusi secara langsung bersama masyarakat Papua.

Sejarah mencatat, dalam kunjungannya pada 30 Desember 1999, Gus Dur menyempatkan diri berdialog dengan tokoh masyarakat Papua. Dengan tanpa adanya sekat beliau mendengarkan semua pendapat, bahkan dari mereka yang menuntut kemerdekaan. Gus Dur pun saat itu mengizinkan bendera Bintang Kejora berkibar di bawah bendera merah putih dan meminta Jenderal Wiranto, yang saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam, untuk menganggapnya bendera itu sebagai umbul-umbul belaka.

Sebenarnya masih banyak sekali pembelaan-pembelaan yang dilakukan oleh Gus Dur pada kaum minoritas, yang tentunya perlu banyak kita kaji dan pelajari bersama secara mendalam. Apalagi jika kita sebagai generasi muda penerus bangsa Indonesia dan para penggerak GUSDURian yang tentunya perlu banyak belajar dari sosok Gus Dur sebagai seorang pemimpin dan kiai yang dekat dengan kaum minoritas.

Wallahu A’lam Bis Showwab.

Penggerak Komunitas GUSDURian Brebes. Kontributor NU Online Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *