Social Media

Jihad Julia: Membungkam Stigma Gender ala Julia Suryakusuma

Bagi siapa saja yang menyukai bacaan tentang tema kegenderan atau isu-isu keperempuanan, pasti sudah tak asing dengan sosok Julia Suryakusuma. Dia adalah aktivis perempuan pertama Indonesia. Julia produktif menulis kolom dan esai di media seperti The Jakarta Post, koran Indonesia berbahasa Inggris dan di Majalah Tempo Edisi Bahasa Inggris (TEBI). Kemudian tulisan-tulisannya itu dimuat dalam sebuah buku berjudul Jihad Julia. Bahkan dalam pengantar penerbitnya, dikatakan bahwa tulisan-tulisan Julia Suryakusuma banyak dijadikan rujukan internasional, dan bahkan di beberapa universitas menjadi bacaan wajib.

Lalu, apa yang terpikirkan ketika kita mendengar kata jihad? Pasti yang pertama terlintas adalah sebuah bentuk perjuangan dengan cara kekerasan, karena begitulah fenomena yang marak terjadi hari ini. Seringnya jihad dikorelasikan dengan kelompok radikalis dan ekstremis. Tapi jihad dalam judul buku ini adalah sebuah usaha atau perjuangan seorang Julia Suryakusuma dalam melawan apa yang dilihatnya sebagai kesempitan dalam ruang aturan keislaman, sosial politik, budaya, keadilan gender, dan lain sebagainya.

Julia melakukan perjuangannya melalui jihad pena. Tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku ini merupakan bentuk kegundahan, kekesalan, dan sesekali mungkin muak dengan kondisi bangsa ini, hal ini tercermin dalam salah satu esainya yang berjudul “Rela Kelilipan Asap dan Pasir, demi Segenggam Dollar”.

Sebuah kritiknya terhadap pemerintahan Orde Baru yang menekankan pada pembangunan fisik tapi mengabaikan kelestarian lingkungan, juga para eliet korporasi yang sering menjadi pelaku utama pengeksploitasian terhadap sumber daya alam. Di sinilah bobroknya pemerintah dan korporasi yang saling berkolusi.

Namun saat berbicara tentang keperempuanan, Julia bisa sangat jenaka karena mampu membungkus topik yang sangat sensitif bahkan tabu dengan ringan dan cair. Hal ini bisa dilihat dalam esainya yang berjudul “Celana Seksi dan Jilbab” yang menggambarkan sosok Julia sebagai perempuan muslim Indonesia yang berpenampilan agak “seksi” dan nyentrik.

Dalam tulisannya ini Julia menekankan tentang pentingnya spiritualitas bukan hanya religiusitas, yaitu mereka yang kerap terpaku pada formalisme agama saja sehingga sering mengungguli akal sehat, empati, rasa iba, toleransi, saling menghargai, kebenaran, keimanan, dan rasa menyatu dengan Tuhan. Padahal itu semua yang menurut Julia merupakan hakikat agama pada akhirnya.

Hal ini sering membuat Julia kesal. Dalam esainya yang berjudul “Apa yang Membuat Ayam Halal?”, Julia bercerita ketika ibunya (atas pengaruh tetangga) mempertanyakan kehalalan ayam yang dikirim oleh suami bule Julia, yaitu Prof. Timothy Lindsey. Suami Julia adalah Ahli Hukum Islam dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne, sekaligus pernah menjabat sebagai Ketua Australia Indonesia Institute pada tahun 2016. Lumrah sebenarnya bagi kebanyakan masyarakat Muslim Indonesia terutama yang cukup konservatif sering menaruh rasa curiga jika itu perihal kehigienisan (baca: halal) jika menyangkut hal-hal dari luar negara Muslim.

Julia juga mampu menyajikan tulisan yang membuat kita tergelitik tatkala berbicara tentang hal tabu, seperti dalam tulisannya yang berjudul “Perempuan di Atas… Enak!!!”. Dari judulnya saja sudah membuat kita curiga. Judul yang ambigu dan bisa disalahmaknai sebagai sesuatu yang vulgar dan erotis. Padahal, esai ini merupakan pandangan Julia terkait dengan fenomena perempuan yang lebih tua menikahi laki-laki yang lebih muda yang menimbulkan stigma negatif.

Bahkan tak jarang dicap sebagai “pecinta berondong” bagi si perempuan dan “Boy Toy” bagi si laki-laki. Suami Julia sendiri yaitu Tim Lindsey berusia 8 tahun lebih muda daripada Julia. Kredo yang berkembang saat ini adalah laki-laki pasti mencari pasangan (pacar/istri) yang lebih muda karena perempuan lebih cepat tua apalagi setelah menikah.

Menurut Julia, faktanya banyak pula perempuan lebih tua namun tetap terlihat cantik dan menarik (ini tidak berkaitan dengan perawatan kecantikan). Perempuan yang lebih tua juga memiliki lebih banyak pengalaman, kedewasaan, humor, keterbukaan, spirit, dan karena mereka sudah menjadi perempuan seutuhnya. Selain itu mereka yakin dan mapan secara finansial, emosional, maupun di dalam berbagai aspek lain kehidupan mereka.

Mereka tidak mencari pasangan yang diharapkan bisa “melengkapi” mereka. Mereka sekedar mencari partner pria dengan siapa mereka bisa berbagi minat, melakukan pertukaran intelektual, dan gairah, baik yang bersifat badani maupun yang lainnya. Perubahan ini menunjukan adanya pergeseran tata nilai: laki-laki harus lebih tua, lebih besar, lebih jangkung, lebih pandai, lebih kaya atau status sosial yang tinggi.

Jadi, bagi para perempuan yang sudah memasuki usia menikah namun tak kunjung menikah sementara tetangga, kawan, dan kerabat-keluarga sudah terlalu sering nyinyir tak usah khawatir, masih banyak laki-laki yang sudah tercerahkan bahwa usia hanyalah angka. Bahkan sudah sejak zaman dulu ada yurisprudensinya melalui percontohan kisah Kanjeng Nabi Muhammad dan Khadijah, bahkan perbedaan usia mereka konon 15 tahun.

Masih banyak berbagai esai yang dimuat di buku Jihad Julia ini yang tentunya tak cukup saya ulas. Sebagai bahan bacaan yang ringan tapi ngena, mencerahkan, dan relevan dengan permasalahan keseharian yang sering kita temui, buku ini sangat layak untuk masuk dalam list bacaan kalian semua.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *