GUSDURian dan Krisis Iklim

Kondisi ibu kota yang berkabut asap belakangan hari menyita perhatian publik dan media massa. Di media sosial saja, perbincangan soal polusi dan udara yang kotor di Jakarta sempat ramai. Tebalnya kabut di ibu kota pertanda banyaknya karbon yang lepas ke atmosfer planet ini dan berdampak pada peningkatan suhu udara. Suhu yang panas tentu dirasakan oleh manusia dan lingkungan. Sedikit banyak turut memengaruhi evaporasi air untuk menjadi hujan, inilah yang disebut dampak krisis iklim.

Di kasus lain, kita dipertontonkan aksi tak bertanggung jawab oleh pasangan yang melakukan foto pra-nikah di Gunung Bromo. Nyala suar yang merupakan properti konsep foto itu telah membakar kawasan taman nasional tersebut. Vegetasi hijau yang harusnya jadi penyerap karbon, hilang menjadi abu. Api yang membakar kawasan gunung akan berdampak pada suhu udara sekitarnya, yang mana saat ini tengah mengalami kemarau berkepanjangan dan tengah panas-panasnya.

Kedua situasi tersebut banyak mendapatkan perhatian besar di media. Mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat dan politisi beramai-ramai berkomentar. Apakah ini menandakan isu krisis iklim mulai menjadi perhatian masyarakat kita? Berdasarkan data yang dihimpun Westminster Foundation for Democracy (2022) untuk Parliamentary Climate Action, ternyata masyarakat kita mayoritas punya perhatian lebih soal krisis iklim ini. Sebanyak 73% masyarakat setuju Indonesia tengah mengalami krisis iklim, namun 68% responden mengaku memang tidak mengetahui cukup informasi soal isu ini.

Apakah jika tidak viral, maka isu ini tidak akan diarusutamakan baik bagi media maupun pembuat kebijakan? Sebab tugas penyebarluasan informasi dampak krisis iklim sebenarnya meliputi banyak pihak. Sayangnya saya melihat isu ini kalah populer dengan hal lainnya, pun tidak jadi sorotan utama dan informasinya cenderung hanya simplifikasi saja.

Sepak Terjang Gus Dur

Lantas bagaimana GUSDURian dapat meneladani Gus Dur dalam memahami isu krisis iklim? Hal itu dapat kita pelajari pada sepak terjang Gus Dur dalam memperjuangkan isu seputar lingkungan dan konflik di dalamnya pada masa Orde Baru (orba). Patut diketahui, dahulu isu krisis iklim hembusannya belum sekencang saat ini, namun isu ini erat kaitannya dengan isu lingkungan hidup. Sebab semakin eksploitatif manusia terhadap alam, akan berdampak pada meningkatnya jejak karbon, yang mengakibatkan percepatan kenaikan suhu di bumi. Eksploitasi yang berlebihan tidak hanya merugikan alam saja, namun juga manusia yang tinggal di dalamnya.

Saat Orde Baru itu, pemerintah punya cita-cita pembangunan yang sangat masif, sehingga persinggungan dengan masyarakat lokal tak terelakkan. Akibatnya konflik antarwarga dengan aparat tak terhindarkan. Salah satunya pada saat rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Muria, Jepara, Jawa Tengah di medio tahun 1990-an yang mendapatkan tentangan dari penduduk di sekitarnya. Di tengah konflik tersebut, para aktivis yang mengadvokasi warga berlindung kepada Gus Dur yang juga menaruh perhatian pada pembelaan terhadap kaum yang lemah.

Tak satu dua kali Gus Dur bertindak seperti ini. Bahkan pada zaman Orba itu, melalui ceramah-ceramahnya, Gus Dur sangat lantang mengkritik soal perampasan tanah rakyat oleh negara. Menurut Gus Dur saat itu, sebanyak 40 persen tanah PT Perkebunan Nusantara merupakan tanah yang dirampas dari rakyat. Gus Dur tampaknya tak mementingkan popularitas suatu isu untuk memperjuangkannya. Sebab lewat kacamata kemanusiaannya, ia menganggap hak-hak masyarakat yang lemah dan terpinggirkan penting untuk diperjuangkan. Perspektif itu pulalah yang membuat tindak-tanduk Gus Dur terus berusaha menjadi bandul penyeimbang, jika ada pihak yang terlalu dominan, maka Gus Dur perlu mengambil sikap dengan membantu pihak yang dilemahkan.

Pada dasarnya perjuangan Gus Dur itu tetap bertolak pada nilai-nilai kemanusiaan yang ia percayai. Bahwa meskipun pemerintah bercita-cita mewujudkan pembangunan ekonomi, tapi pendekatannya haruslah humanis dan tidak mencederai alam. Cinta Gus Dur sendiri sangatlah besar kepada masyarakat, agar seluruh elemen dapat menikmati haknya untuk hidup sejahtera bersama-sama dengan menikmati kekayaan alam yang tersedia. Maka dari itu, Gus Dur semasa menjabat presiden menjadi penganjur reforma agraria, dengan mendorong TAP MPR soal itu, yang sayangnya tak terealisasi pada masa pemerintahannya.

Selain soal tanah dan alam di darat, Gus Dur juga memperhatikan isu kemaritiman yang belum mendapatkan perhatian lebih. Oleh karenanya, Gus Dur memutuskan pendirian departemen khusus kelautan dan perikanan. Hal ini bertolak dari pemikiran bahwa bangsa kita punya wilayah laut yang besar dengan segala kekompleksitasannya. Laut dari sudut pandang krisis iklim punya arti penting, di mana biota laut adalah salah satu elemen yang akan merasakan dampak kenaikan suhu bumi. Kondisi krisis iklim akan memengaruhi produksi ikan di lautan yang akan berdampak pada hasil tangkapan nelayan dan ketahanan pangan negara ini. Sementara es kutub utara dan selatan yang mencair memicu kenaikan permukaan air laut. Hal itu sudah mulai dirasakan oleh banyak masyarakat pesisir dan menjadi berpotensi menimbulkan bencana ekologi di masa depan.

Kearifan Tradisi

Krisis iklim bersifat universal karena dampaknya dirasakan oleh seluruh makhluk hidup di planet ini. Lewat kacamata kemanusiaan, kita dapat lebih sensitif dan berempati terhadap isu ini. Sebagai GUSDURian, yang menarik nilai kemanusiaan sebagai dasar perjuangan gerakan masyarakat sipil, kita perlu menggaungkan semangat untuk menangkal bahaya krisis iklim tersebut. Bagaimana caranya?

Kita dapat menarik salah satu dari 9 nilai utama Gus Dur yakni, nilai kearifan tradisi, dalam membangun kunci-kunci penanggulangan bahaya krisis iklim. Meski krisis iklim berdampak global dan bersifat universal, namun dikarenakan ekosistem planet ini yang kompleks dan berbeda-beda, maka jenis bencana yang timbul pun bermacam-macam. Seperti, jika kenaikan suhu akibat krisis iklim mengancam kehidupan nelayan karena rentan terkena erosi akibat kenaikan permukaan air laut, maka bagi petani kopi di lembah-lembah gunung harus berhadapan dengan resiko menurunnya kualitas panen karena suhu udara tidak mendukung.

Untuk itu perlu pendekatan lokal dalam menangkal bencana akibat krisis iklim. Pendekatan lokal itu tentu saja bukan hanya aksi sekelompok orang saja. Namun suatu aksi kolektif bersama yang menyadari bahwa kearifan tradisi lokal jadi kunci kita bersahabat dengan alam. Sebab siapa yang lebih tahu soal alam itu selain masyarakat itu sendiri yang mengembangkan kearifan budaya dan sosialnya.

Berkaca pada Gus Dur, sebagai seorang yang tumbuh dari latar belakang pesantren, ia punya cita-cita membangun kurikulum pendidikan Islam berbasis lingkungan. Hal ini menurut saya merupakan bentuk kearifan tradisi dengan menggunakan perspektif religius dan kekayaan kultural pesantren dalam membangun kepedulian umat terhadap lingkungan. Selain itu, pendekatan ini merupakan salah satu kritik Gus Dur terhadap paradigma sebagian besar gerakan Islam dan pemikir-pemikir Islam yang sangat bercorak pembangunan alias developmentalisme. Paradigma seperti itu tidak memberikan ruang untuk penguatan pendidikan agama yang sensitif terhadap isu lingkungan hidup.

Nilai kearifan tradisi dapat menjadi basis bagi GUSDURian di seluruh daerah untuk menggaungkan isu krisis iklim. Sebagai komunitas yang berakar dari entitas lokal, GUSDURian di tiap-tiap jengkal Nusantara ialah bagian dari masyarakat itu sendiri yang merasakan krisis iklim. Sebagai komunitas lokal yang berorganisasi, GUSDURian dapat lebih mudah bergerak bersama-sama. Sebab GUSDURian bagian dari masyarakat, tentulah yang paling memahami kebutuhan masyarakat itu sendiri dan mampu membahasakannya ke dalam ruang pembicaraan publik. Diharapkan ada pemecahannya dengan perspektif lokal. Jika hal ini terus dikembangkan, bukan tidak mungkin isu perubahan lingkungan mendapatkan atensi lebih serta mendorong pengambilan kebijakan dari negara untuk mengatasi dampaknya.

GUSDURian Jakarta. Saat ini bekerja sebagai pegawai pemerintah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *