Ketika Perempuan menjadi Korban Patriarki, Laki-Laki Bukanlah Musuh

Bicara tentang perempuan memang tak akan cukup kata untuk menggambarkannya, makhluk yang tangguh nan unik ini sering menjadi obyek ketidakadilan struktur sosial-budaya. Mengapa demikian? Karena perempuan hidup dalam peradaban laki-laki (patriarki) sehingga kebijakan dan cara pandangnya pun berdasarkan sudut pandang dan kepentingan laki-laki. Seperti yang secara ironis digambarkan dalam buku Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan karya Ihsan Abdel Quddous.

Melalui novel tersebut Ihsan Abdel Quddous yang merupakan seorang penulis laki-laki yang tentunya menggunakan sudut pandang laki-laki, seakan-akan ingin menunjukkan bahwa muskil bagi perempuan untuk menjalani peran domestik dan publik sekaligus tanpa mengabaikan salah satunya dan juga gagal di peran lainnya, seperti yang dialami oleh karakter Suad Ridla dalam novel tersebut.

Saya tidak bermaksud untuk menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kondisi vis a vis. Tidak. Karena konsep keadilan gender sesungguhnya tidak hanya tentang keadilan bagi perempuan tapi juga laki-laki. Laki-laki pun menjadi korban dari budaya patriarki itu sendiri, yaitu adanya konsep maskulinitas sebagai kualifikasi untuk mengatur bagaimana seharusnya laki-laki itu.

Konsekuensi dari konsep maskulinitas akibat budaya patriarki terhadap laki-laki menjadikan beban bagi mereka karena senantiasa dituntut untuk menjadi pihak yang paling kuat, senantiasa menjadi pemimpin, dapat diandalkan dalam segala situasi, sehingga tidak boleh tampil lemah. Bahkan mungkin di titik mereka (laki-laki) pantang untuk menangis, karena menangis dianggap sebagai kelemahan dan sifat feminin yang hanya dilakukan dan dimiliki perempuan.

Dalam tulisan ini, saya hendak memfokuskan dampak budaya patriarki pada perempuan. Tentu sudah banyak tulisan yang membahas ini, tapi izinkan saya berbagi uneg-uneg. Saya merasa tergelitik ketika melihat video lama Rocky Gerung dalam salah satu materi Etika Kepedulian (Ethics of Care) yang beliau sampaikan di Kaffe Jurnal Perempuan. Ia mengatakan bahwa tubuh perempuan menjadi sumber ketidakadilan bagi perempuan, baik itu ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Faktanya memang tubuh perempuan telah diatur sedemikian rupa, bahkan yang paling privat sekalipun. Seperti adanya kebijakan berupa anjuran untuk mempunyai dua anak lebih baik. Itu adalah ranah privat yang kemudian diambilalih dan diatur oleh negara berupa penerapan program KB (keluarga berencana). Selain itu, pihak yang mengalami beban kerja lebih banyak juga perempuan. Sebagai contoh ketika seorang istri (perempuan) bangun di pagi hari maka yang langsung bekerja di dapur, membangunkan anak, menyiapkan keperluan anak dan suami sering kali adalah istri, apalagi jika si istri adalah perempuan karier. Artinya dia tidak hanya bekerja pada ranah domestik, tapi juga ranah publik, sehingga dia mengalami beban ganda, bahkan multibeban.

Meski seandainya menggunakan tenaga perbantuan berupa PRT (pekerja rumah tangga) tetap saja sampai saat ini profesi PRT dan pengasuh adalah perempuan. Setidaknya saya belum pernah mendengar pengasuh anak adalah laki-laki. Menurut Dr. Gadis Arivia, karena pengibuan (motherhood) tidaklah sama dengan praktik menjadi ibu (mothering). Pengibuan adalah penemuan dari masyarakat patriarki untuk memberikan stereotipe kepada perempuan.

Apalagi jika yang bekerja, bertugas mencari nafkah adalah pihak perempuan, dan laki-laki (suami) mengurus rumah dan menjaga anak seperti yang tergambar dalam sinetron Dunia Terbalik. Hal ini dianggap kondisi dengan peran (posisi) yang tidak pantas, menyimpang dari budaya, bahkan mungkin dianggap melawan kodrat. Karena dalam budaya patriarki yang bertugas bekerja di luar rumah adalah suami (laki-laki), bukan istri (perempuan).

Bahkan entah bagaimana, nenek moyang perempuan pertama Hawa pun dinarasikan diciptakan Tuhan karena untuk “melengkapi” Adam (laki-laki) yang kesepian. Sehingga perempuan kerap disubordinasikan. Bahkan anekdot-anekdot semacam: gak usah debat sama cewek percuma, mereka selalu benar, atau perempuan yang sering pulang malam atau pagi kerap dianggap perempuan tidak benar. Jika perempuan mengalami pelecehan seksual, maka perempuan tak lepas dari dipersalahkan.

Selain itu, meski saat ini perempuan bebas untuk menjalani profesi apa pun, bahkan yang mayoritasnya dikuasai laki-laki, tapi tetap saja perempuan selalu mengalami standar ganda. Seperti meski perempuan berpendidikan tinggi, punya karya tapi kalau tidak mempunyai kualifikasi istriable (kecakapan domestik) tetap saja dianggap gagal sebagai perempuan (istri). Coba saja kalau laki-laki tidak bisa ikut mengurus rumah, pasti dianggap wajar, bahkan memang seharusnya laki-laki dilayani.

Lebih jauh, adanya stereotipe perempuan yang tidak lagi virgin (perawan) sebagai perempuan amoral. Entah bagaimana selaput dara menjadi tolak ukur moral seorang perempuan. Bahkan dalam kisah epik Mahabrata pun, Sinta harus membakar dirinya dalam api hanya untuk membuktikan dirinya masih perawan karena Rama meragukan kesetiaan Sinta. Kenapa harus selalu perempuan yang membuktikan integritasnya di hadapan laki-laki?

Pada akhirnya, sulit untuk mewujudkan kondisi adil gender jika baik pihak perempuan maupun laki-laki nyaman dengan kondisi status quo, menganggap bahwa tidak ada masalah. Apalagi jika perempuan sendiri tidak berani mempertanyakan pada dirinya sendiri dan mengejar jawaban sehingga mengalami krisis identitas diri, sebagaimana yang diungkap oleh Betty Friedan dalam buku The Feminine Mystique.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *