Saya mengenal Gus Dur sejak tahun 1980-an ketika saya menjadi aktivis pergerakan di Jogjakarta dalam berbagai event seminar dan diskusi. Bahkan saya dan teman-teman yang tergabung dalam kelompok SGPC (Study Group for Peace and Culture) saat itu, mengikuti perkembangan politik Orde Baru dan Islam Indonesia dari para tokoh NGO yang dimotori oleh Gus Dur ini. Misalnya ada almaghfurlahum Dawam Rahardjo, Nurcholis Madjid, Muslim Abdurrahman, Jalaluddin Rakhmat, Romo Mangunwijaya, Arief Budiman, dan seterusnya. Beberapa pemikiran mereka kami ikuti juga dalam harian KOMPAS, majalah PRISMA dan TEMPO.
Saat itu saya juga pernah mengikuti pertemuan eksklusif (terbatas) dengan Gus Dur di rumah Pak Saiful Mudjab –seorang tokoh NU di Jogjakarta– di saat tekanan politik Orde Baru sangat keras. Gus Dur bicara strategi politik menghadapi tekanan politik Orde Baru dan peta politik Islam Indonesia yang sangat menarik dan sekaligus merinding didengar, ngeri-ngeri sedap istilah anak muda sekarang. Bagaimana tidak, era itu adalah era di mana banyak para tokoh pergerakan dan aktivis yang ditangkap oleh rezim.
Tren Politik Gus Dur
Tren politik Gus Dur adalah cinta damai, anti-kekerasan, dan humanistik. Beliau berani melawan mainstream. Misalnya, di saat hampir semua orang mengutuk tindakan Arswendo Atmowiloto yang dianggap melakukan pelecehan agama dan Inul Daratista dengan goyang ngebornya dianggap melakukan pornoaksi, maka Gus Dur justru “membelanya”. Dan beberapa kasus lain yang orang dibikin tidak mengerti tindakan-tindakannya. Hingga sampai sudah menjadi presiden pun kebijakannya juga kontroversial.
Dalam konteks politik Islam, Gus Dur menegaskan bahwa Islam akan menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentingan pribadi. Inilah yang selalu ditegaskan Gus Dur. Maka menurut saya bahwa strategi politik Gus Dur adalah strategi komunikatif-akomodatif (politik silaturahmi). Beberapa kasus bisa kita lihat misalnya: kasus safari politik, ziarah para wali dan kiai, hingga ziarah ke elite politik dan lawan politik. Pak Harto dan Ibu Megawati sebesar apa pun “dosanya” kepada Gus Dur, tetap beliau kunjungi.
Belum lama ini saya ziarah ke makam salah seorang wali di Purwokerto, yaitu makam Wali Makhdum namanya. Saat saya berbincang-bincang dengan juru kuncinya, dia bercerita bahwa makam itu menjadi ramai dikunjungi peziarah setelah kunjungan Gus Dur ke sana. Gus Dur dua kali berziarah ke makam ini sebelum dan sesudah menjadi presiden. Informasinya sebelum Gus Dur ziarah ke makam ini, masih sepi pengunjungnya. Namun setelah kunjungan Gus Dur, makam ini menjadi destinasi wisata religi. Bahkan informasinya, makam ini menjadi miqat-nya para peziarah ke makam sembilan wali di Jawa.
Silaturahmi ke berbagai tokoh yang dilakukan Gus Dur tersebut __ terutama setelah beberapa hari diangkat menjadi presiden__ merupakan kebiasaan beliau. Bahkan menjelang wafatnya pun beliau masih menyempatkan diri berziarah ke makam-makam kerabatnya. Kita tahu betapa jaringan politik Gus Dur begitu luas, mulai dari tokoh-tokoh sipil, ormas, LSM, para tokoh berbagai agama, bahkan dengan para pendukung Orde Baru sekalipun. Relasi Gus Dur yang begitu luas melampaui batas lintas agama dan golongan inilah yang membuat Gus Dur semakin populer. Kepiawaian Gus Dur ini ternyata juga diakui oleh banyak “lawan” politiknya.
Reputasi Gus Dur sebagai tokoh demokrat juga diakui dunia. Hal ini terbukti dengan pesan Bill Clinton kepada Gus Dur tentang Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (mantan Dubes RI untuk Amerika dan Menko Perekonomian era Orde Baru), bahwa Presiden Bill Clinton pernah berpesan kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai berikut:
“Mr. President, I wish Indonesia a great success. A successful Indonesia will help characterize the 21st century. Indonesia is now the world’s third target democracy. Indonesia is the fourth largest population. Indonesia has the largest Muslim population in the world. Mr. President, if Indonesia can show the world that Islam and democracy are compatible, you show the way.“
Gus Dur adalah politisi jenaka. Joke-joke-nya mengena dan populer, menganggap enteng semua masalah. “Begitu saja kok repot” juga telah menjadi wacana yang populer. Beliau menghadapi siapa pun dengan gaya humor, termasuk kepada penguasa yang galak sekalipun. Semua orang tahu bagaimana humor-humor Gus Dur ditulis dan di-publish. Beliau mewarisi ilmu sastrawan era Abbasiyah, yaitu Abu Nuwas, yang cerdik dan penuh kearifan. Saya kira di sinilah dibutuhkan pemimpin yang dapat meneruskan perjuangan Gus Dur ini. Seorang pejuang demokrasi, pejuang kemanusiaan, dan pembela kaum populis. Dalam perspektif sosio-religius, Gus Dur termasuk tokoh moderat-inklusif yang sejajar dengan Thabathabai, Said Nursi, Karl Rahner, Panikkar, dan Hans Kung. Dalam konteks pejuang kemanusiaan sejajar dengan Mahatma Gandhi, pejuang kemerdekaan dan kemanusiaan yang anti-kekerasan.
Sebetulnya, membaca Gus Dur tidak pernah ada habisnya karena pemikiran, peran, dan kontribusinya yang sangat besar terhadap negeri ini. Maka meminjam lirik lagu yang dilantunkan oleh Umi Kulsum, bahwa: “Dunia ini adalah buku dan Gus Dur adalah catatan dan idenya. Dunia ini adalah langit dan Gus Dur adalah bulannya”.