Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian. (Abdurrahman Wahid)
Pernyataan dari Presiden ke-4 RI yang akrab disapa Gus Dur lebih dari dua dekade lalu itu sepertinya masih relevan hingga sekarang. Di tengah tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, banyak politikus bersaing untuk merebut dan mempertahankan jabatan. Tak sedikit dari mereka yang bertarung mati-matian untuk berebut empuknya kursi kekuasaan.
Gus Dur, pria yang memiliki nama asli Abdurrahman Ad-Dhakhil ini, justru tidak terlalu ambisius untuk mempertahankan jabatan presiden yang diperolehnya setelah memenangi Pemilihan Presiden 1999. Dalam pemilihan yang dilakukan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Gus Dur mendapatkan 373 suara, unggul atas Megawati Soekarnoputri yang mendapatkan 313 suara. Ia pun dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 1999, dan Megawati menjadi wakil presiden.
Namun, belum tuntas menjalani tugasnya sebagai kepala negara selama satu periode, Gus Dur harus meletakkan jabatan sebagai Presiden RI di hadapan Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Gus Dur dilengserkan oleh MPR, dan kursi presiden diduduki Megawati.
Gus Dur kemudian wafat pada 30 Desember 2009 dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Untuk mengenang pemikiran dan kebijakannya, kepergian Gus Dur setiap tahun diperingati dalam acara Haul Gus Dur, seperti tahun ini digelar Sabtu (16/12/2023), di Ciganjur, Jakarta.
Toleransi dan keberagaman
Pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, mengatakan, usaha untuk mendongkel Gus Dur dari jabatan presiden memunculkan perlawanan dari para pendukungnya. Namun, Gus Dur justru melarang aksi para pendukungnya dengan kalimat ”Tidak ada kekuasaan yang harus dipertahankan mati-matian”.
”Gus Dur ingin menyampaikan bahwa jabatan tidak perlu dipertahankan mati-matian hingga harus mengorbankan darah, karena yang utama dari politik adalah kemanusiaan,” ujarnya, Sabtu (16/12/2023).
Gaffar mengungkapkan, selama 643 hari masa kepresidenan Gus Dur, ada beberapa wujud penerapan prinsip etika kemanusiaan itu yang menandai watak demokratisasi di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah toleransi dan keberagaman serta kebebasan berpendapat dan beragama.
Dalam penerapan prinsip toleransi dan keberagaman, Gus Dur secara konsisten mempromosikan toleransi dan menghormati perbedaan dalam masyarakat. Cucu dari KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu membela hak-hak kelompok agama minoritas serta mendukung keberagaman dalam budaya dan tradisi Indonesia.
Gus Dur juga mengedepankan dialog antarkelompok agama. Beberapa kebijakan konkretnya adalah diberikannya ruang bagi perayaan hari raya Imlek dan pertunjukan barongsai.
Dalam menegakkan prinsip kebebasan berpendapat dan beragama, Gus Dur menghapuskan larangan terhadap berbagai organisasi dan kelompok masyarakat sipil yang sebelumnya dianggap subversif. Kebijakan itu akhirnya memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi kebebasan berekspresi.
”Menurut saya, prinsip penerapan demokrasi berbasis kemanusiaan atau humanisme ala Gus Dur ini sekarang justru sangat relevan dan dibutuhkan. Sebab demokrasi kita sekarang merosot menjadi permainan kepentingan elite ketimbang sarana perwujudan kedaulatan rakyat,” tutur Gaffar.
Apa yang telah dilakukan Gus Dur, menurut Gaffar, tak lagi dijumpai pada sebagian besar politikus saat ini, yang lebih fokus pada perolehan suara dengan satu tujuan memenangi pemilu secara instan dan mudah.
Apa yang telah dilakukan Gus Dur, menurut Gaffar, tak lagi dijumpai pada sebagian besar politikus saat ini, yang lebih fokus pada perolehan suara dengan satu tujuan memenangi pemilu secara instan dan mudah. Jika hal itu diteruskan, demokrasi bisa mengalami erosi sehingga politik elektoral tidak bisa lagi menjadi sarana bagi rakyat untuk membuktikan kedaulatannya.
”Pemilu cuma menjadi fasad demokrasi, bukan perabotan utama demokrasi. Rakyat cenderung menjadi statistik pemilih ketimbang demos yang mampu mengawasi kekuasaan,” kata Gaffar.
Menegakkan demokrasi
Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Ahmad Suaedy, pun menyatakan bahwa saat ini demokrasi secara prosedural terus menguat, tetapi dari sisi substansi cenderung melemah. Hal ini yang sangat berbeda di era kepemimpinan Gus Dur, karena nilai-nilai demokrasi terus diperkuat oleh Presiden.
Ia mencontohkan, Gus Dur selalu memperkuat komitmen antikorupsi meski hal itu memperoleh perlawanan. Salah satunya ketika Gus Dur ingin mengimplementasikan kebijakan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara lewat penerbitan ketetapan presiden, hal itu ditolak DPR. Hal itu akhirnya urung dilakukan.
Dalam menegakkan supremasi sipil atas militer, menurut penulis biografi Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif, Syaiful Arif, Gus Dur secara tegas menunjukkannya dengan mengangkat Mahfud MD sebagai Menteri Pertahanan yang membawahkan TNI-Polri. Gus Dur juga menegakkan prinsip kebebasan pers yang ditunjukkan melalui pembubaran Departemen Penerangan.
Namun, karena sikapnya yang tak mau kompromi, kata Syaiful, itu pula yang menyebabkan Gus Dur dilengserkan dari kekuasaannya sebagai presiden. Padahal, sebagai presiden, mau tidak mau ia harus berkompromi dengan legislatif.
”Dalam konteks sekarang, nilai-nilai demokrasi itu harus ditegakkan oleh para pemimpin politik, bukan sebaliknya,” katanya.
Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan, Gus Dur tidak memiliki beban politik sehingga ia sering mengungkapkan, ”Gitu aja kok repot”. ”Ini karena Gus Dur tidak punya target-target personal, tidak punya kepentingan pribadi, Gus Dur sudah selesai dengan dirinya sendiri,” ucapnya.
Mengandung nilai
Putri bungsu Gus Dur, Inayah Wulandari Wahid, mengungkapkan, ayahnya merupakan sosok yang berani mengungkapkan situasi demokrasi yang tengah berjalan. Di era Orde Baru, saat sebagian pihak menyebut demokrasi berjalan baik karena adanya pemilu, Gus Dur menyatakan bahwa demokrasi tidak ada.
”Gus Dur ditanya oleh wartawan: Gus Dur katanya semuanya sudah ada, jadi apa dong yang enggak ada? Kata Gus Dur, yang enggak ada demokrasinya. Saya rasa itu cukup relevan jika melihat situasi hari ini,” tuturnya.
Bagi Gus Dur, demokrasi dan pemilu bukan sesuatu hal yang prosedural dan angka-angka elektoral, melainkan memiliki nilai perjuangan harkat martabat manusia dan kesejahteraan.
___________________
Tulisan ini pertama kali dimuat di kompas.id