Kala itu suatu sore, depan sebuah biara Katolik tempat tinggal para biarawan dan calon imam, aku merenung dan mengingat kembali masa kecilku yang bercita-cita ingin menjadi pastor/imam. Mungkin karena nilai agamaku yang rata-rata 9, bahkan tak jarang aku mendapat nilai 10, namun ada alasan lain yang membuatku selalu bermimpi untuk menjadi seorang biarawan Katolik.
Samar-samar mulai terlintas di benakku kalimat yang masih sempat terngiang saat guru agamaku menjelaskan bahwa di dalam biara itu semua penghuninya adalah laki-laki yang memilih untuk hidup selibat/tidak menikah, mereka fokus berdoa melayani Tuhan dan menjadi gembala umat. Dan ini adalah alasan yang kuat untukku menjadi lebih yakin dengan cita-citaku karena aku akan menemukan kedamaian dan hidup tanpa bully-an.
Aku dilahirkan di sebuah kampung kecil di sebelah timur Kota Maumere. Lahir sebagai anak bungsu dari enam bersaudara dengan jarak lahir yang cukup dekat. Di usia yang sudah mulai renta, ibuku jatuh sakit setelah melahirkan aku. Ibu harus menjalani perawatan dan pengobatan. Agar tumbuh kembangku tidak terganggu, aku diasuh dan dirawat oleh kakak sepupuku yang sampai sekarang kupanggil mama. Aku pun dibesarkan dengan penuh kasih sayang.
Di sekolah, aku selalu unggul dalam setiap mata pelajaran dan mendapat juara kelas, bahkan juara umum, sehingga semua orang terlihat sangat antusias ingin mendukungku ketika aku mengutarakan cita-citaku ingin menjadi seorang imam. Namun setiap prestasi yang aku dapatkan hanya sebagai kesenangan sesaat. Selebihnya aku sering di-bully, bahkan sering mendapatkan tindakan kekerasan dari teman-teman sekolahku karena gerak tubuhku yang kemayu dan ekspresiku yang feminin. Tak jarang perlakuan kasar itu aku dapatkan juga dari keluarga dan lingkungan sekitarku.
Konstruksi sosial dan budaya yang sangat patriarkis melegalkan segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadapku sebagai salah satu upaya atau cara didik untuk mengubah ekspresiku menjadi lebih maskulin. Mereka bahkan melarangku untuk bergaul dengan teman-teman perempuan, memaksaku yang masih usia anak-anak untuk belajar merokok dan minum minuman beralkohol.
Pengumuman kelulusan telah usai dan lagi-lagi aku meraih juara umum dan lulusan terbaik angkatan kami. Saatnya melangkah ke jenjang SMP. Aku akan meninggalkan bangku SD yang menorehkan banyak kisah dan prestasi.
Bayang-bayang semu kembali menghampiri saat aku mengajukan niat untuk mendaftar di seminari tingkat pertama (sekolah calon imam tingkat pertama yang setara dengan SMP). Orang tuaku tidak bisa mengabulkan permintaanku karena kendala biaya. Dengan penghasilan yang sangat minimal dari hasil menjual sarung dan tembakau, ayahku tidak sanggup menyekolahkanku di seminari karena biaya SPP dan biaya asramanya yang sangat mahal. Ini adalah awal mula aku mengalami depresi dan merasa diperlakukan tidak adil. Aku yang dari kecil tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orangtua kandung kini harus menerima kenyataan lagi kalau cita-citaku hanya sebatas mimpi yang tidak akan menjadi kenyataan.
Waktu terus beranjak dan aku terpaksa bersekolah di sebuah sekolah swasta dekat rumah. Perlakuan yang sama aku alami di sekolah ini. Keseharianku yang lebih nyaman bermain dan bergaul dengan teman-teman perempuan, menjadikan diriku sebagai objek sasaran untuk di-bully dan mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari teman-teman bahkan guru-guru. Hal ini membuatku semakin tertekan dan tidak nyaman berada di tempat ini.
Masa pra-remaja yang penuh dengan dilema dan beban batin seakan mendorongku untuk menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Aku sempat bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku berbeda dari yang lain?
Aku merasa bahwa diriku adalah seorang perempuan, aku tertarik secara romantis dan seksual terhadap teman laki-lakiku. Hal yang aku rasa aneh dan di luar nalar adalah ketika aku mengalami mimpi basah pertama juga dengan teman laki-lakiku.
Pendidikan agamaku yang dikatakan sangat baik, menjadikanku sebagai salah satu siswa yang sangat taat dan konservatif terhadap ajaran agama. Pengalaman mimpi basah pertamaku ini membuatku menjadi jijik atas tubuhku sendiri dan menganggap ini sebagai dosa yang tak bisa diampuni. Namun seiring berjalannya waktu, perasaan ini sering datang dan semakin membuatku nyaman. Bahwasannya aku lebih tertarik kepada laki-laki dan merasa diriku adalah seorang perempuan.
Hari terus berganti senja dan esok pun datang lagi, hingga tibalah satu saat di mana aku bertemu dengan seorang teman baru, namanya Merry. Dia adalah seorang waria atau transpuan senior. Dia sering mengajakku untuk pergi ke kosnya dan menginap di sana. Setiap pulang sekolah aku selalu pergi ke tempatnya dan dia mengajakku untuk pergi melayani pelanggan yang ingin melakukan pelurusan rambut. Dia juga melatihku merias diri dan memakaikan pakaian perempuan dan aksesoris.
Hal ini membuatku semakin betah bergaul dengannya. Konsentrasi untuk belajar di sekolah menjadi terbagi, aku pun memilih untuk kabur dari rumah dan berhenti sekolah. Aku memutuskan tinggal bersama Kak Merry, di mana aku bisa bebas berekspresi dan bergaul dengan teman-teman sesama transpuan. Aku merasa menjadi diriku sendiri dan menemukan jati diriku yang selama ini kucari. Aku memilih Silvy Chipy sebagai nama transpuanku.
Semenjak keluar dari rumah dan tinggal menetap di kos bersama Kak Merry, dia mulai mengajariku cara untuk bertahan hidup di kota. Mulai dari mengajari salon jalan yaitu melayani jasa panggilan untuk perawatan rambut dari rumah ke rumah, jasa cuci-setrika keliling, jadi ART, dan bahkan mengajariku cara hidup sebagai pekerja seks di dunia malam.
Kehidupan yang aku jalani sebagai seorang waria tidak muluk-muluk saja. Tidak senikmat dan sebahagia yang aku bayangkan. Banyak rintangan dan ancaman yang sering aku alami. Keluarga dan saudara saudaraku selalu mencari dan mengejarku. Mereka berniat untuk membawaku pulang kembali ke rumah dan melanjutkan pendidikan. Rambutku sempat dicukur sampai botak sampai enam kali, alat make up dan pakaianku dibakar dan sebagian dibuang ke dalam lubang WC oleh saudara-saudaraku.
Sebagai pekerja seks aku juga sering mendapatkan kekerasan fisik dan pelecehan seksual. Tak jarang kami disiram dengan oli kotor, air kencing, dan dilempar batu. Sebagai waria junior dalam komunitas, aku juga sering dijadikan pembantu oleh kakak-kakak waria yang senior. Sistem senioritas ini berlaku untuk seluruh anggota komunitas.
Hampir semua waria tidak memiliki akses untuk bekerja di ruang publik. Kami hanya bisa bergelut di ruang domestik. Rata-rata semua adalah pekerja salon, namun ada juga yang bekerja sebagai ART, petani, nelayan, pengrajin tenun ikat, pekerja seks, dan lain-lain. Semua berlomba-lomba untuk belajar salon, dari menata rias wajah, menata gaya rambut seperti pelurusan, dan belajar cara memotong rambut. Para waria senior menjadi guru bagi para waria junior. Itu sudah menjadi tradisi dan sistem senioritas dalam komunitas. Jadi tidak heran kalau kebanyakan orang lebih mengenal waria itu karena punya salon atau terampil di salon. Salon menjadi sebuah identitas dan jembatan bagi teman-teman dalam komunitas untuk bisa menjalin relasi dan berkenalan dengan banyak orang.
Demi menekuni pekerjaanku di dunia salon, aku memilih untuk keluar dari Kota Maumere. Saat itu aku belum berani untuk pulang ke rumah karena ekspresiku yang sekarang sudah mulai berdandan tentu akan ditolak oleh keluargaku. Aku terpaksa ikut merantau bersama Kak Merry. Aku melamar kerja di sebuah salon di Kota Mbay dan digaji 20% per kepala. Semua uang gajiku mulai kutabung. Persahabatanku dengan Kak Merry memberikanku banyak pelajaran yang berharga, semata-mata karena aku dianggap sebagai anak angkatnya. Aku dibekali segala keterampilan yang dia miliki dan ketahui. Prinsipnya adalah ketika orang mengenalku dan memakai jasaku, orang juga akan mengenal dirinya karena keterampilan yang aku miliki adalah berasal darinya.
Pagi berganti senja, siang harus berganti malam, dan kebersamaan kami pun tak bisa berlangsung selamanya. Kak Merry mulai jatuh sakit dan akhirnya harus menghembuskan napas terakhir, pergi meninggalkan segala kenangan. Aku benar-benar merasa kehilangan seorang kakak yang menjadi keluargaku satu-satunya saat itu, dia adalah seorang guru dan sahabat yang baik. Aku begitu terpuruk karena harus kembali menjalani hari-hariku tanpa dia yang selalu menuntunku. Setelah setahun berlalu, akhirnya aku pun ikhlas melepas kepergiannya.
Tabunganku sudah lumayan banyak dan aku berniat untuk membuka usaha salon sendiri. Silvy Salon, begitulah nama tempat usahaku mulai beroperasi di tahun 2012. Aku membeli alat-alat salon seadanya karena aku juga harus membayar kontrakan tiap bulan. Dalam kesendirianku, aku mulai merindukan orang-orang rumah. Aku mulai mencari ide dan cara untuk bisa kembali berhubungan lagi dengan keluargaku. Hampir 5 tahun aku tidak pernah pulang ke rumah. Ada semacam kangen dengan mereka, rindu ibuku yang melahirkanku dan mamaku yang mengasuhku. Namun mereka sendiri seakan tidak peduli dengan keadaanku. Perasaan sedih, kecewa, bahkan marah berkecamuk dalam diriku karena diperlakukan seperti orang asing. Seolah-olah aku adalah aib bagi keluarga. Aku harus bisa membuktikan kepada mereka bahwa aku bisa menghasilkan sesuatu dan juga bisa membantu mereka. Tinggal menunggu momen yang tepat untuk menjalankan strategi pendekatan ini.
Hari Raya Natal sudah diambang pintu. Desember adalah musim ramai untuk aktivitas di salon. Banyak tamu salon yang melakukan perawatan dan pelurusan rambut jelang Natal. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengirimi mereka kado dan ucapan selamat Natal. Tidak lupa juga aku menyertakan amplop berisi sedikit uang hasil rejeki dan juga secarik kertas bertuliskan ucapan selamat Natal dan permintaan maaf. Aku menuangkan segala perasaan yang selama ini mengganjal dan tidak lupa melampirkan nomor HP agar mereka bisa menghubungiku jika sudah menerima paket yang aku kirimkan.
Usaha pertamaku ini berhasil. Selang dua hari, salah seorang dari saudara perempuanku menelpon, mengabari kalau kiriman sudah diterima. Kami bercerita panjang lebar melampiaskan segala perasaan kangen via telepon. Aku juga berbicara dengan ibuku, namun ayah dan saudara-saudaraku yang lain belum mau berbicara denganku. Aku tidak mempermasalahkan soal itu, mungkin mereka masih kecewa soal pilihanku untuk menjadi transpuan.
Setiap menjelang hari raya akan menjadi momen yang selalu aku nantikan. Rezeki dari hasil usahaku aku kirimkan sebagian lagi ke rumah, yaitu berupa parsel dan sedikit uang belanja untuk kebutuhan mereka. Kami juga mulai sering berkomunikasi lewat telepon. Aku sendiri belum berani untuk pulang ke rumah karena ayah dan dua orang saudaraku belum bisa menerimaku. Namun hal ini tidak membuatku menyurutkan niat untuk tetap berusaha mengambil hati mereka.
Suatu hari, aku mendengar kabar salah seorang saudaraku akan menikah. Aku memberanikan diri untuk pulang ke rumah dan mengutarakan niatku membantu mereka membelanjakan bumbu dapur untuk acara hajatannya. Dan usahaku ini berhasil karena ayahku merasa terbantu. Akhirnya aku berdamai dan berkomunikasi baik lagi dengan ayahku.
Waktu terus berlalu, hingga suatu hari kabar duka kembali menyapa. Dalam perjalanan pulang ke Mbay, gawaiku berdering, tertera nama saudariku di layar ponsel. Setelah kujawab teleponnya, terdengar isak tangis dari sebelah sambil berkata kalau ayah telah tiada. Tangisku seketika memecah di tengah deru bus yang aku tumpangi. Perasaan kalut, sedih, dan kecewa beradu seakan belum ikhlas untuk kehilangan sosok ayah yang baru saja berdamai denganku.
Tanggal 2 September 2015, di atas jenazah ayah, aku dan semua saudara-saudaraku berjabatan tangan dan berdamai. Sejak saat itu aku merasa menemukan kedamaian seutuhnya walau harus kehilangan sosok ayah.
Semenjak kepergian ayah, aku menjadikan rumah sebagai tempat ternyaman untuk pulang dan beristirahat dari segala penat. Selain untuk berlibur, aku juga bahagia karena sudah berdamai dengan seluruh anggota keluarga.
Usaha salonku berjalan dengan lancar. Aku juga mempekerjakan dan menampung teman-teman waria junior yang belum mempunyai pekerjaan. Aku mendidik dan melatih mereka agar bisa bekerja sesuai dengan apa yang pernah diajarkan almarhum Kak Merry kepadaku. Mereka dengan terpaksa harus lari dari rumah karena mengalami hal yang sama seperti yang aku alami dulu. Kami saling menguatkan satu sama lain dan aku meyakinkan mereka untuk terus berproses dan tetap yakin dengan pilihan hidup mereka sebagai waria jika itu membuat mereka nyaman.
Banyak yang berhasil dan membuka usaha salon sendiri sampai sekarang. Aku merasa bangga dengan segala pencapaian mereka karena bisa menjadikan pengalaman pribadiku sebagai contoh yang baik untuk memberdayakan teman-teman lain.
Awal 2018 aku memilih untuk kembali ke Maumere, meninggalkan Kota Mbay yang penuh dengan kenangan, namun aku bangga karena melihat anak-anakku yang aku didik sudah bisa mandiri. Kembali pulang dan menetap di rumah adalah suatu keharusan dan bukan sebuah pilihan, karena usia ibu yang sudah sangat tua dan renta. Ibu sering mengalami sakit dan juga sudah mulai sedikit pelupa. Semua saudaraku sudah berkeluarga dan bekerja, jadi tak ada lagi orang yang tinggal di rumah untuk menemani ibu.
Profesiku sebagai hair stylist tetap berjalan. Dengan bermodalkan media sosial, aku melakukan promosi menerima jasa panggilan untuk melayani perawatan dan pelurusan rambut dari rumah ke rumah. Selain bisa menghasilkan uang, aku juga bisa menjalin relasi dan berkenalan dengan banyak orang. Bagiku, salon merupakan sebuah jembatan yang mempertemukan aku dan jati diriku, mempererat hubunganku dengan keluargaku yang sempat renggang. Salon juga sebagai tempatku mendidik dan menyalurkan berkat serta memberdayakan teman-teman yang mengalami nasib sepertiku. Dan yang paling penting adalah salon tidak lagi sebagai bentuk pembuktian diri, tetapi kini salon adalah diriku sendiri. Aku menggapai cita, berbagi cinta, dan mengubah citra melalui usaha salonku.
Pengalamanku telah mencerminkan bahwa keadilan gender masih sangat kurang dirasakan oleh kelompok yang mengidentifikasikan diri sebagai perempuan. Penggolongan jenis pekerjaan yang masih dibagi sesuai peran gender laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh konstruksi budaya patriarki sangat erat kaitannya dengan kelompok ragam gender dan seksualitas.
Transpuan dianggap mengadopsi peran perempuan, sehingga setiap pekerjaan domestik bahkan segala stereotipe yang dilabelkan untuk perempuan dirasakan oleh transpuan juga. Dilema itu terjadi akibat ketidakadilan gender.
Di satu sisi, transpuan mendapat pengakuan sebagai perempuan, segala pekerjaan yang bersifat domestik dikerjakan oleh kelompok ini. Tapi di sisi lain, dalam aturan budaya dan adat istiadat, transpuan di Maumere harus tetap berperan sebagai laki-laki. Mereka harus tetap bertanggung jawab untuk segala urusan adat dalam rumah, baik acara pernikahan, kematian, atau acara apa pun. Akibatnya, transpuan mengalami beban ganda dan kerap mendapat diskriminasi, stigma, dan stereotipe.
Para transpuan juga banyak yang menjadi tulang punggung keluarga. Mereka harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan membantu perekonomian orang-orang terdekatnya. Sebagai transpuan, kami mencoba mendekonstruksi pengkotak-kotakan pekerjaan yang sudah diatur sejak lahir oleh lingkungan sesuai peran gender laki laki dan perempuan. Para transpuan banyak yang bekerja di ruang domestik, namun tidak sedikit pula yang bekerja sebagai nelayan, petani, buruh bangunan, dan lain-lain.
Sudah banyak cara yang dilakukan kelompok ini untuk melawan ketidakadilan gender, mulai dari melakukan sosialisasi tentang materi SOGIESC, membangun relasi dengan komunitas-komunitas anak muda, dan membuka ruang ruang diskusi dengan alice, serta membangun hubungan baik dengan media lokal dan lintas stakeholders.