Arah Indonesia di Tangan Prabowo: Dari Masalah Demokrasi hingga Geopolitik Internasional

Hari ini hasil sidang sengketa pilpres dibacakan, walaupun hasilnya sudah bisa kita duga bersama. Tak apa, setidaknya setiap pihak yang mengajukan gugatan sudah menempuh jalan yang legal, etis, dan kesatria. Masalah hasil, harus dihormati oleh semua pihak sebagai bentuk pengakuan akan kedaulatan hukum. Bukan masalah hasil semata, yang tak kalah penting juga adalah cara, bahwa pihak-pihak yang kalah ini telah melakukan langkah yang benar dengan menunjukkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama di mata hukum.

Setelah selesai sengketa Pilpres 2024 ini maka selanjutnya adalah fokus pembentukan komposisi kabinet. Yang saya khawatirkan sebagai masyarakat biasa adalah jika pihak-pihak yang kalah ini merapat ke sistem, masuk koalisi, sehingga tidak ada lagi yang namanya oposisi. Saya kagum dengan PKS yang selama dua periode pemerintahan Jokowi konsisten sebagai oposisi.

Terlebih, setelah adanya pertemuan antara Jokowi dengan Surya Paloh (Nasdem) pada tanggal 18 Februari 2024, meski Surya Paloh tidak memberitahukan hasil pertemuan tersebut namun dari pernyataan Jokowi yang mengatakan dirinya akan menjembatani untuk semuanya. Bergabungnya pihak lawan ke dalam koalisi bukan hal yang aneh mengingat pada tahun 2019, Prabowo sendiri menjadi Menteri Pertahanan di periode kedua Jokowi.

Salah besar jika masuk koalisi ditafsirkan sebagai “merangkul”. Narasi “merangkul” adalah bentuk pelemahan terhadap demokrasi. Coba bayangkan, jika oposisi lemah maka parlemen lemah, tidak ada kontrol terhadap pemerintah karena eksekutif menggelembung. Jika nanti pajak makin naik, anggaran untuk pendidikan berkurang, banyaknya perundang-undangan yang tidak pro-rakyat, BBM juga naik dan mungkin bisa saja pertalite dihilangkan, siapa yang akan mengerem?

Sebenarnya saya berharap jika PDIP nanti akan memilih untuk menjadi oposisi seperti ketika masa SBY selama dua periode. Apalagi PDIP terkenal lantang dan vokal ketika menjadi oposisi. Demokrasi yang sehat dan demokratis adalah ketika terjadinya check and balances antarlembaga. Sehingga tidak ada satu lembaga yang lebih dominan (kuasa) terhadap lembaga yang lainnya. Terlebih realitas demokrasi kita hari ini adalah demokrasi suara mayoritas, artinya nasib kita semua di tangan mayoritas, bayangkan jika tidak ada penyeimbang di parlemen dalam bentuk oposisi.

Dengan kondisi politik internasional yang saat ini tidak pasti, mengutip dari Kompas.com (22/4/2024) yang dilansir dari data Bloomberg, nilai tukar rupiah pukul 09.01 WIB, berada pada level 16.215 per Dollar AS. Keadaan ini salah satunya dipicu setelah terjadinya serangan balasan Iran terhadap Israel atas pengeboman Gedung Konsulat Iran di Suriah. Banyak pengamat politik internasional dan juga pengamat militer seperti Connie Rahakundini yang mengatakan bahwa terjadinya perang dunia ketiga sangatlah “mungkin”.

Ketidakpastian dunia hari ini juga memengaruhi ekonomi global dan berdampak pada nilai rupiah. Jika nilai rupiah makin anjlok bisa terjadi krisis moneter seperti tahun 1997-1998. Akibatnya banyak lapangan pekerjaan yang tutup, angka pengangguran tinggi, harga-harga bahan pokok naik. Siapa yang paling dirugikan? Kita masyarakat kecil.

Di sinilah pentingnya kepemimpinan di masa Prabowo nanti, akan dibawa ke mana arah negara ini? Meski Indonesia adalah negara berkembang tapi vital peranannya dalam percaturan politik dunia. Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton di pinggir lapangan, faktanya mata dunia juga tengah menyoroti Indonesia saat ini, tepatnya terhadap siapa presiden terpilih.

Saat ini Blok Barat yang diwakili Amerika (NATO dkk) dan Blok Timur (Rusia, Cina, Korea Utara, dan Iran) sebenarnya mungkin tidak tepat disebut Blok Timur, hanya saja saya belum tahu namanya apa. Meski Prabowo dalam forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara, dalam politik luar negeri tetap pada bebas-aktif (Non Blok), menghormati semua kepentingan negara dan tidak memihak.

Namun, naif rasanya jika secara realitas politik internasional Indonesia tidak memiliki kecenderungan kepada salah satu negara tertentu. Banyak yang mengatakan, jika pada era SBY arah politik Indonesia lebih condong pada Amerika dan pada masa Jokowi ini pada Cina. Lalu bagaimana dengan Prabowo nanti?

Jika dilihat dari keaktifan Indonesia di PBB dalam berperan serta sebagai anggota keamanan tidak tetap, dan vokalnya Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam menyuarakan pembebasan dan dukungan terhadap Palestina, jelas Indonesia berada di pihak yang berseberangan dengan Amerika.

Semoga saja Indonesia tetap menjadi pemain aktif dalam menjaga ketertiban dan perdamaian dunia sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945. Seperti ketika tahun 1961 di mana Indonesia yang diwakili oleh Sukarno bersama dengan Jawaharlal Nehru dari India, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, Kwame Nkrumah dari Ghana, dan Josip Broz Tito dari Yugoslavia yang menginisiasi berdirinya Gerakan Non Blok (GNB).

Gerakan Non Blok (GNB), sebagai respons terhadap perang dingin kala itu yang menempatkan dunia ini pada model unipolar (hanya satu negara atau area yang memiliki kekuatan), yang menempatkan Amerika dan sekutu sebagai pemenang perang dunia kedua. Sistem koloni yang dilakukan oleh negara-negara adikuasa adalah bentuk kolonialisme dan imperialisme, mental penjajah adalah menganggap negara lain sebagai kelas kedua. Dan di sinilah Indonesia harus memainkan perannya untuk tetap konsisten pada politik bebas-aktif.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *