Bayi-Bayi yang Lahir oleh Gerhana Bulan

Mendekati musim panen, hamparan sawah menguning tampak sendu di bawah sinar bulan. Sesekali angin bertiup menggoyangkan tangkai padi dengan bulir-bulir yang tampak seperti ronce mutiara. Aku menengadah ke langit, bulan bulat semu saga menyembul di antara awan yang berarak pelan. 

Pemandangan itu kudapati selepas isya ketika aku keluar rumah karena udara di dalam cukup panas. Berselonjor di atas balai-balai, menikmati angin ditimpa gemerisik daun padi. Dedaunan rimbun di depan rumah juga sesekali bergoyang. Perasaan nyaman seketika menyelinap di dadaku. Tapi pemandangan ini menyisakan perasaan ganjil. Mungkin karena bulan belum bulat sempurna. Apakah besok masih akan purnama?

* *

Bayi berselimut kafan itu terbujur kaku di pangkuan ayahnya. Angin musim kemarau yang berhembus di pagi hari tidak membuatnya gemetar. Kecuali dadanya penuh gemuruh. Tersirat dari kedua matanya, tatapan nanar yang kosong nelangsa. Kerumunan pelayat yang tengah bercakap sambil merangkai bunga-bunga. Sebagian orang-orang datang membawa ceting berisi beras. Tampak juga mas karyo muncul di antara rombongan pembawa sepikul kayu dan cangkul yang datang tergopoh. Kami bertemu mata. Tanpa isyarat apa pun, dia mendekat.

“Sudah kau temui ibu si bayi?” tanya Mas Karyo, aku mengangguk.

Kemudian aku menyelinap bersama Mas Karyo. Di antara orang-orang yang berkerumun di dekat pintu masuk. Kulihat wajah kuyu dan pucat duduk lesu di lantai dan menyandarkan kepalanya di kursi. Orang-orang mengelilinginya. Beberapa mengusap-usap lengannya, menghibur sambil menahan isak. Tepat di depannya Mas Karyo memberi isyarat agar mendekat. Bersamaan dengan langkah maju aku merogoh amplop di saku. Kusalami perempuan muda itu sambil memberikan ucapan bela sungkawa.

* *

Kamboja jatuh melayang di tanah kuburan. Hawa dingin perlahan menghampiri menusuk pori-pori. Angin kencang berhembus menerbangkan pakaian hitam yang dikenakan pelayat. Sebagian lain bergerombol agak menjauh. Sementara di sekitar liang lahat sang bayi yang terbungkus kain putih perlahan diturunkan, para pelayat yang hadir merapal doa-doa di sekeliling isak dan tangan yang menyeka air mata. Tidak sedikit yang menatap pilu.

“Jelas sekali, beberapa hari yang lalu gerhana bulan,” aku mendengar percakapan orang di sampingku. Aku tidak berani menoleh, tetapi kucoba pertajam pendengaranku.

“Padahal sudah dikasih tahu tetapi dia menolak,” celetuk lainnya.

Kabar tentang kematian bayi yang terlahir dalam keadaan tidak biasa itu menimbulkan desas-desus di seluruh kampung. Dalam setiap obrolan warga warga di poskamling, pasar, sawah hingga teras rumahku, hampir mengerucut pada satu kesimpulan bahwa kematian itu akibat gerhana bulan.

* *

Pagi yang menyesakkan dada itu bertahun lewat. Tapi pergunjingan semakin menjadi. Apalagi ketika tiga tahun berikutnya ada kematian yang bayi serupa. Pun, terjadi saat dalam kandungan gerhana bulan terjadi. Anak yang dilahirkan setelah gerhana bulan persis seperti sebelumnya, tanpa batok kepala. Tentunya nyawa bayi itu pun tidak dapat terselamatkan. Kondisi itu semakin menjadi buah bibir di kampungku. Yang naas, ada peristiwa yang juga menelan nyawa sang ibu bayi. Seminggu sebelum kejadian, gerhana bulan sempurna datang. Semakin menguat keyakinan orang-orang kampung tentang keganasan gerhana bulan untuk bayi dalam kandungan bukan sekadar mitos belaka.

Jelas dalam ingatanku, malam terang bulan yang ganjil itu dan mengerikan itu. Sampai tiga hari lalu aku membaca sebuah berita yang membuatku tercekat: “Blood Moon dalam seratus tahun terakhir”. Entah, jika benar, maka tiga malam lagi aku akan menemuinya. Bulir keringat menderas di kening dan punggung. Kuhela napas, kuusap perutku yang mulai membuncit, aku ingin teriak ini bukan kutukan!

“Nak, selamat ya,” doaku di dalam hati. Namun tak terasa getaran di sana tetap seperti sebelumnya. Sementara ini memasuki bulan kelima kata bidan desa yang memeriksa kandunganku. Meski katanya keadaanya sehat dan normal, kekhawatiran besar menghinggapi perasaanku. Apakah aku harus melakukan ritual itu, seperti yang aku dengar dari para tetangga dan orang tua? Menyelinap di kolong ranjang saat gerhana datang? Atau meminta air doa kepada orang pintar? Pikiranku semakin buyar.

* *

Mas Karyo datang tergopoh dengan cangkul di pundaknya. Kulihat matahari masih di atas kepala, jelas kedatangannya membuatku heran. Dengan napas yang masih naik turun ia bertanya.

“Ti, apa perlu kita ke Kiai Sujai?”, napasnya memburu.

“Kenapa, Mas?, Aku balik bertanya meskipun sebenarnya aku tidak heran atas pertanyaannya.

“Kamu ingat tiga tahun lalu? Bayi itu. Aku masih ingat ikut menggali kuburannya,” wajahnya tampak cemas.

“Mas!” dengan cepat aku memotong kalimatnya. Aku menatapnya tajam dan beringsut ke kamar. Kututup dan kukunci pintu. Kuabaikan Mas Karyo yang terus memanggil dari luar kamar. Mataku tiba-tiba menghangat, air mata meleleh perlahan. Aku takut.

* *

Aku paham Mas Karyo sangat khawatir. Bukan semata karena gerhana, ini adalah kehamilanku yang pertama sejak lima tahun usia pernikahan kami. Penantian yang cukup lama bagi kami untuk memiliki seorang anak. Akan tetapi yang kuharap darinya dalam situasi seperti ini adalah meyakinkanku, bukan ikut khawatir dan bicara yang tidak-tidak. Sebab, tanpa kuucapkan, ada jurang cemas yang begitu dalam di dadaku.

Waktu berlanjut, aku sudah berani keluar kamar. Aku pun sudah berbicara dengan Mas Karyo meskipun seadanya. Baik dia maupun aku tidak membahas lagi perbincangan siang tadi. Tetapi Suara gemeretak dahan yang tertiup angin semakin membuat ciut nyaliku untuk malam ini. Aku ingin pagi segera datang. Meskipun aku juga tidak yakin bagaimana menghadapi malam-malam setelah sampai malam itu tiba. Sebab, dadaku masih sesak.

Pada malam-malam berikutnya kau tidak mampu tertidur nyenyak. Tetapi Mas Karyo juga bersikap biasa saja. Perbincangan kami masih seperti sebelumnya. Saat hari gerhana tiba, pagi hari ia tetap berangkat ke sawah dengan langkah ringan. Meski sempat melemparkan senyum, aku tahu bahwa sebenarnya ia mencemaskanku. Aku bisa melihat dari sorot matanya. Sore hari menjelang senja aku baru tahu saat ia mengatakan.

“Aku tadi diminta mampir ke Kiai Sujai. Sekadar ikhtiar ya, Ti,” dadaku menghangat mendengar kalimatnya. Dengan mata berkaca, aku mengangguk.

* *

Suara kentongan berbunyi berkali-kali. Disusul bunyi shalawat dari pengeras suara.

Surau tidak berhenti sejak selepas senja tadi. Aku duduk berselonjor di ranjang. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, gemeretak dahan tidak terdengar sama sekali. Hampir tidak terdengar suara angin bertiup di luar sana. Aktivitas manusia juga tidak terdengar berarti. Malam hening ini seolah hanya mempersilakan muram yang akan segera datang menutup purnama penghujung musim kemarau.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Mas Karyo membawa segelas air putih. Wajahnya kulihat masih basah. Sembari tersenyum ia menyodorkan gelas kepadaku. Aku meminumnya setelah Mas Karyo menuntunku berdoa. Wajahnya berbeda dengan sore tadi. Kali ini tampak meyakinkan dan menebar senyum. Ia sangat luwes meladeni, memijat kakiku, mengipasiku, bahkan menanyakan apakah aku mengantuk atau lapar. Aku menggeleng, dan kubalas dengan senyum. Aku pun merasa sedikit lebih lega.

“Kita sudah sembahyang gerhana, Ti. kita juga sudah berdoa dan mengaji. Air dari kiai sudah kau minum dan diusapkan di perut. Pasti bayi kita selamat,” ucap Mas Karyo. Aku mengangguk.

Kutatap langit dari balik jendela, hanya menyisakan satu bintang. Masih terdengar zikir panjang dari surau ujung kampung. Sampai beberapa saat aku hanya mendengarkan Mas Karyo mengaji. Aku mencoba meyakini apa yang dikatakan Mas Karyo, meski sesungguhnya kekhawatiran masih sedikit bergelayut. Di depan mataku peristiwa-peristiwa kelahiran berakhir di tangan kekuatan yang tidak terpahami. Gerhana bulan menjelma Izrail, merenggut harapan dari sebuah kelahiran.

“Sudah berlalu, Ti. Kamu mau tidur?” Aku mengangguk. Mas Karyo membantuku berbaring. Malam sudah terasa tenang dan sunyi. Tiba-tiba Mas Karyo berkata.

“Apakah tadi kamu tidak masuk kolong ranjang? Semoga tidak terjadi apa-apa ya?” Sontak mataku terbuka, menatapnya tajam sambil menahan sesak yang kembali hadir. Mataku mengembang. Mas Karyo kaget dan merasa bersalah. Pundak dan dadaku berdetak, sekelibat emosi datang menghentak ulu hati. Kurapalkan nama Tuhan sambil terpejam, selamet, selamet, selamet.


_______________

Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum Radar Cirebon edisi Minggu, 18 November 2018

Telah diselaraskan kembali oleh penulis pada Mei, 2024

Koordinator Wilayah (Korwil) GUSDURian Jawa Bagian Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *