Dari tahun ke tahun kasus kekerasan seksual tak pernah usai, khususnya di wilayah Provinsi Gorontalo. Jika dihitung-hitung, pada pertengahan tahun 2024 ini di Gorontalo sudah tercatat 14 kasus kekerasan seksual. Tentu jumlah kasus ini sungguh sangat disayangkan.
Kejadian kekerasan seksual ini bisa saja terjadi di berbagai tempat, misalnya di sekolah atau perguruan tinggi. Tahun ini jumlah kasusnya mencapai 577 kasus, dengan jumlah 8.408 korban dan sebagian besar adalah perempuan. Usia paling dominan yang mengalami kekerasan seksual adalah usia 14-44 tahun. Hal ini diungkapkan langsung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Apakah kasus-kasus seperti ini bisa kita hindari? Oh tentu tidak. Apalagi saat ini kekerasan seksual di perguruan tinggi Gorontalo sedang hangat diperbincangkan. Tercatat ada beberapa kasus yang melibatkan rektor hingga dosen. Kekerasan ini harusnya disadari sebagai ancaman di dunia pendidikan dan masuk dalam kategori membahayakan. Kekerasan seksual dalam dunia pendidikan bagaikan gunung es, sedikit yang tampak padahal lebih banyak yang terjadi.
Pada beberapa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi Gorontalo sendiri lebih cenderung mendamaikan, melindungi nama baik, bukan menegakkan keadilan untuk si korban. Justru yang terjadi adalah memaksa korban untuk menutup mulut agar kasus bisa segera dihentikan.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi beragam, mulai dari pelecehan seksual verbal, pelecehan seksual non-fisik, hingga pemerkosaan.
Paling tidak ada beberapa faktor kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Gorontalo, salah satunya adalah jabatan sebagai tenaga pendidik (dosen) di kampus kerap dijadikan senjata untuk melakukan pelecehan seksual yang korbannya adalah mahasiswa/i itu sendiri. Pola pikir patriarki yang masih kental, merasa malu, bersalah, serta ancaman-ancaman membuat korban enggan untuk melaporkan kasusnya. Perilaku-perilaku seperti ini justru memberi ruang kepada pelaku untuk terus berbuat hal yang sama.
Aturan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi rasanya belumlah cukup menyelesaikan masalah kekerasan seksual di perguruan tinggi, khususnya di Gorontalo. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius dari berbagai pihak untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi. Tak hanya sampai di situ, harus ada juga hukuman bagi korban. Tentu upaya ini perlu melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, dan keluarga.
Di sisi lain GUSDURian Boalemo menilai adanya penanganan kasus di perguruan tinggi Gorontalo masih lemah dalam melakukan edukasi tentang kekerasan seksual. Sosialisasi-sosialisasi tentang kekerasan seksual di kampus masih terhitung minim. Dan minimnya peran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dalam mengkampanyekan bahaya pelecehan seksual telah menyebabkan ketidaktahuan para mahasiswa/inya akan bahaya pelecehan seksual. Jangan hanya sekedar menghabiskan waktu untuk membuat sosialisasi bahaya kekerasan seksual, tapi juga perlu pelatihan untuk bagaimana cara mendampingi si korban pelecehan tersebut.
Maka, untuk menjawab persoalan tersebut GUSDURian Boalemo meminta agar perguruan tinggi agar tidak mentolerir pelaku pelecehan seksual terlepas siapa pun orangnya. Perguruan tinggi Gorontalo perlu membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dengan memperhatikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Baik perguruan tinggi ataupun organisasi mahasiswa kampus perlu melakukan sinergitas dan bersama-sama mengkampanyekan terkait penanganan pelecehan seksual, pemberian kontak bantuan, dan zero tolerance untuk pelaku pelecehan seksual di kampus. Dengan kampanye bersama antara kampus dan organisasi kemahasiswaan dapat memantik para korban untuk melapor kasus kekerasan seksualnya dan akan mencegah terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi Gorontalo.