Waktu saya sowan ke seorang kiai kampung dua minggu lalu, saya melihat beliau menggunakan kaos oblong dengan celana panjang bahan kain sedang duduk di teras rumah sembari menikmati konten-konten di Facebook. Kebetulan beliau sedang menjaga tokonya sendirian. Lantas tiba-tiba beliau nyeteluk, “Aku ini ingin jadi orang biasa aja. Mau ngaji ke sana ke sini tapi bisa tetap biasa aja.”
Saya belum bisa memahami maksud perkataan beliau. Kemudian beliau melanjutkan, “Kalau aku ke mana-mana sarungan, memperlihatkan wibawa seperti kiai besar, nanti malah ngga bisa dekat dengan tetangga. Gini kan enak. Mau ada yang nyapa di jalan, nggak segan. Mau ada yang tanya banyak hal, nggak segan. Kalau aku ingin meminta bantuan ke tetangga, juga nggak segan.”
Saya pun menganggukkan kepala seakan paham ke mana arah pembicaraan beliau. Dalam benak saya rada bertabrakan. Bukankah biasa seorang kiai menjaga marwah-nya agar bisa terlihat wibawa, ketinggian ilmu, serta derajatnya?
Lantas di waktu yang berbeda, ada beberapa teman mengajak saya untuk bermalam Jumat di Kopi Saung, tempat yang katanya telah diabdikan menjadi semi-basecamp GUSDURian Mojokerto. Kebetulan saat itu kami tiba-tiba membahas keresahannya terkait banyaknya tokoh agama atau agamawan yang sekarang adu kekayaan, adu jabatan, dan adu-aduan lain masalah keduniaan.
Salah satu kawan kami, Cak Imam, mengatakan bahwa sekarang banyak pengasuh pondok, orang-orang yang disebut sebagai pak kiai, bu nyai, neng, atau gus menggunakan pakaian serba glamour, barang-barang branded, dan berkumpul hanya dengan sesamanya saja. Ia menyayangkan bagaimana beliau-beliau yang harusnya menjadi tokoh agama, bisa merangkul masyarakat sekitarnya, menjadi contoh dan disegani, malah menutup diri lantaran jauhnya perbedaan derajat duniawi.
Akhirnya, banyak orang-orang yang demikian menjadi bahan gunjingan masyarakat lantaran tidak bisa berbaur dan bergaul semestinya. Seakan Tuhan telah menempatkan mereka di tingkat yang jauh lebih tinggi ketimbang rakyat biasa.
Keresahan kawan kami tak cukup sampai situ saja. Kini tak kurang-kurang orang yang juga turut meninggikan derajatnya dengan sebutan “kiai” hanya karena telah naik haji. Padahal pintar ngaji pun tak mesti. Sebutan “Pak Haji” pun telah membuatnya berganti kostum dengan kopyah di kepala, sarung yang tak pernah lepas dari tubuhnya, hingga masyarakat pun bersepakat untuk menyebutnya menjadi “Pak Kiai”. Bahkan jika ada orang biasa yang menggunakan atribut selayaknya tokoh agama, dan selama seminggu ada satu orang saja yang terus menyebutnya “kiai”, maka orang lain pun akan turut tertular doktrin yang sama untuk percaya.
Hal-hal ini begitu disayangkan, bahwa orang sekarang lebih mementingkan derajat keduniaan yang malah membutakan mata dan hatinya. Mereka memilih menjadi orang yang glamour agar bisa melangitkan diri di depan pandangan masyarakat. Ia menjaga sikap dengan baik-baik, lantas tak bisa mengajak bicara masyarakat sekitar selayaknya tetangga biasa. Pandangan juga ia jaga baik-baik, sehingga tak bisa menyapa orang-orang untuk sekedar ramah tamah biasa.
Rasa “segan” pun akan tumbuh dari padanya. Segan dari orang-orang yang disebut “tokoh agama” untuk meminta bantuan orang sekitarnya saat sedang membutuhkan. Segan dari masyarakat, bahkan untuk sekedar menyapa, mengajak bicara, apalagi menawarkan bantuan atau makanan.
Cak Imam pun membandingkan orang-orang yang memilih melangit dengan bu nyainya yang sangat terlihat sederhana dan membumi di tengah kehidupannya sebagai seorang dzurriyah (keluarga) pondok pesantren. Di masa sehatnya, ketika Cak Imam masih menempuh kehidupannya di bilik pesantren, ia selalu melihat bagaimana bu nyainya ini tak pernah segan pergi ke tetangga sekitar untuk sekedar meminta bantuan. Meminta garam misalnya, atau mengajak ngobrol selayaknya orang biasa.
Begitupun Cak Imam juga menyebutkan kisahnya bersama Mbak Alissa Wahid. Yang mana beliau sendiri, sebagai seorang neng (sebutan untuk anak perempuan kiai), memiliki karakter yang sederhana dan tidak terkesan melangitkan diri kepada siapa pun. Cak Imam sendiri, yang kala itu berkeinginan untuk membawakan tas saat berjalan bersama beliau, mendapatkan penolakan halus. Beliau sendiri beralasan masih mampu membawanya sendiri.
Kisah-kisah yang Cak Imam bawakan, pandangan yang ia berikan, menuntun saya pada kisah yang pertama telah saya cantumkan dalam tulisan ini. Mengorek pemahaman saya lagi bahwa untuk menjadi tokoh agama tak harus memiliki barang-barang branded dan berpakaian glamour. Menghargai diri dan memperlihatkan tingginya derajat agama tak harus melalui kemewahan dan kemegahan. Untuk bisa menuntun masyarakat ke jalan agama tak harus menjadi seseorang yang disegani dan ditakuti. Sebaliknya, berdakwah dengan pakaian biasa saja, sikap yang merakyat, lebih bisa merangkul segala kalangan.
“Kalau sikapnya sok meninggi gitu kan malah sering jadi bahan obrolan masyarakat. Beda lagi kalau terbiasa srawung (Jw. interaksi aktif), bagaimana masyarakat akan ngomongin di belakang?” Tandas Cak Imam sambil terkekeh-kekeh. Kami pun manggut-manggut mengiyakan sambil melanjutkan sruputan kopi dingin.