PAGI di Karangsari, Temanggung, tak seperti biasanya. Sabtu, 6 Juli 2024, hawa dingin menusuk tulang menembus selimut tebal yang saya bawa dari Yogyakarta. Ubin lantai terasa membeku, dan dinding-dinding ruangan pun tak luput, mengembun seperti di dalam mesin pendingin raksasa.
Menurut penduduk setempat, pergantian musim didakwa sebagai pelakunya.
“Memang sedang dingin, mau musim tembakau.”
Kabut tebal menyelimuti pepohonan di luar jendela. Jalanan mulai ramai dengan lalu lalang warga yang lewat. Hawa sejuk tak menyurutkan semangat para penduduk. Suara kendaraan bermotor berpadu dengan desiran angin yang menerpa barisan pepohonan, membawa butiran embun yang dingin. Ketika embun itu menyentuh kulit saya, bulu kaki sontak berdiri.
Di sebelah barat daya, Gunung Sumbing menjulang tinggi, gagah, dan megah. Keberadaannya menjadi pelindung dan sumber kehidupan bagi kota kecil ini. Puncaknya yang tertutup kabut menyimpan kekayaan alam tak terhingga.
Bibir saya mulai terasa bengkak, pertanda sariawan akan menyerang. Ini biasa terjadi ketika saya beralih dari Yogyakarta yang panas menyengat ke tempat yang jauh lebih dingin, apalagi di kaki gunung seperti ini.
Untuk beradaptasi dengan udara yang menusuk, saya memutuskan untuk menyiram tubuh dengan pancuran. Bagaikan mandi es. Tubuh saya bergidik, namun perlahan rasa segar mulai menjalar.
***
LANGKAH pertama, kami menyusuri Jalan Pahlawan ke arah tenggara. Fikri sahabat saya, dengan penuh semangat, mengendarai Astrea Supra kesayangannya. Motor bebek legendaris ini – sang dedengkot motor bebek di Indonesia – masih menunjukkan ketangguhannya. Saat melewati jalan berundak dan berkelok-kelok, kuda besi ini melaju dengan lincah, tak terpengaruh oleh medan yang menantang.
Di sepanjang jalan, kami disuguhkan pemandangan yang memanjakan mata: hamparan sawah tegalan yang hijau membentang, dihiasi dengan pepohonan rindang dan rumah-rumah penduduk yang sederhana.
Keindahan Karangsari ini tak heran membuat kota ini diidamkan oleh banyak masyarakat urban, seperti saya.
Mesin Astrea Supra keluaran 2002 yang perkasa terus membawa kami dengan lincah, menembus kabut tipis yang menyelimuti pepohonan. Sesekali, suara klakson khas kota kecil memecah keheningan pagi. Namun, kesyahduan itu terganggu oleh banyaknya spanduk kampanye yang terpampang di beberapa titik sentral.
Spanduk-spanduk ini menjadi sampah visual yang mengganggu mata banyak muncul saat menjelang pilkada. Berbagai slogan politik semu begitu mencolok, tidak sedikit yang terlihat konyol. Ada pula yang sok akrab dengan menggunakan nama panggilan untuk ‘mendekatkan diri’ dengan masyarakat yang tidak dikenal dan disapanya.
Saya tak bisa memastikan berapa miliar rupiah yang dihabiskan untuk mencetak spanduk-spanduk tersebut. Yang jelas, jika biaya tersebut digunakan untuk membangun dan memajukan Temanggung, niscaya akan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Lamunan saya jadi terlempar pada perjalanan bersama teman saya Ebac dari Cambridge, Inggris, menuju air terjun Jumog sekitar Februari lalu. Ebac merasa heran dengan banyaknya spanduk dan poster politisi di sepanjang jalan. Sebagian besar hanya berfokus pada wajah dan nomor urut para politisi – mirip foto KTP yang ditambahkan nomor urut – tanpa menyebutkan visi dan misi mereka serta portofolio pengabdian mereka secara jelas.
Ebac lantas bertanya, “Apa yang telah mereka lakukan dan perlu dilanjutkan sehingga masyarakat harus memilihnya?” “Why were these posters devoid of any meaningful information?”
Pertanyaan Ebac membuat saya bergeming sejenak. Dalam hati, saya pun setuju dengannya. Selain itu, sebagian poster ditempel di pohon, yang tidak hanya merusak pemandangan sawah yang indah, tetapi juga menyiksa pohon itu sendiri.
Banyak masyarakat yang memilih pemimpin berdasarkan popularitas, kedekatan pribadi, atau faktor-faktor lainnya, bukan berdasarkan visi, misi, serta portofolio pengabdian yang sudah terbukti.
***
LAMUNAN saya terhenti ketika Fikri mengarahkan stang Astrea Supra memasuki gerbang Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung.
Tujuan kami hari ini adalah mengikuti Workshop Sinematografi Ritus dan Seni Tradisional yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Seni Jaran Kepang Temanggung yang bekerja sama dengan INISNU.
Meskipun jam di pamflet sudah menunjukkan waktu yang seharusnya lokakarya dimulai, namun tanda-tanda dimulainya kegiatan belum terlihat. “Datang ke acara NU kok tepat waktu,” kelakar Fikri, mencoba mencairkan suasana.
Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya suara merdu dua pewara terdengar dari dalam Aula Lantai 3 INISNU. Dengan khidmat, mereka serentak mengangkat mikrofon dan memandu seremoni pembukaan.
Setelah serangkaian seremonial sambutan selesai, tibalah saatnya acara inti lokakarya. Salah satu pengisi acara yang menarik perhatian saya adalah Ngatawi Al-Zastrouw, budayawan Nahdlatul Ulama.
Dalam paparannya, Al-Zastrouw menyampaikan sebuah pandangan yang menarik tentang posisi ritus dan tradisi dalam masyarakat modern. Menurutnya, ritus dan tradisi saat ini terjepit di antara dua kutub.
Dari sisi kiri, ritus dan tradisi jarang mendapatkan perhatian yang memadai. Banyak orang yang hanya melihatnya sebagai objek penelitian atau proyek semata, tanpa benar-benar memahami makna dan nilai-nilainya.
Dari sisi lain, seni tradisi dihajar oleh kelompok puritanisme agama. Kelompok ini menganggap ritus dan seni tradisi sebagai bid’ah, syirik, dan sesat. Hal ini menyebabkan banyak ritus dan tradisi yang terancam punah.
Al-Zastrouw menambahkan bahwa seni tradisi bukan hanya sebagai pertunjukan yang indah, tapi juga menjadi sumber inspirasi, sumber daya, dan semangat dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Seni tradisi memiliki kekuatan amplifikasi untuk menyebarkan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal kepada generasi penerus.
Al-Zastrouw, mengutip buku Global Paradox karya John Naisbitt, menegaskan bahwa di era globalisasi, arus balik lokalitas akan muncul. Ini menjadi peluang untuk mengeksplorasi seni tradisi dan ritus sebagai lawan arus globalisasi.
“Jangan taruh ritus di belakang, jangan taruh tradisi di belakang,” serunya. “Selama ini kita menganggap tradisi itu katro, kuno, masa lalu, mitos tidak rasional sehingga ditaruh di belakang.”
Padahal, menurut Al-Zastrouw, banyak solusi untuk problem global yang terkandung dalam seni tradisi dan ritus. “Problem lingkungan yang demikian masif itu penyelesaiannya dengan upacara ritus Jaran Kepang,” contohnya.
Secara sosio-antropologis, ritus Jaran Kepang dapat menjadi sarana untuk menjawab krisis ekologi dan problem lingkungan yang kita hadapi saat ini. Al-Zastrouw menekankan pentingnya indigenousasi pengetahuan, dengan cara “menggerakkan mitos menjadi etos supaya menciptakan logos, menjadi sistem pengetahuan.”
Al-Zastrouw mengibaratkan seni tradisi dan ritus sebagai sumber mata air yang memancarkan pengetahuan, kearifan, dan nilai-nilai luhur. Namun, sumber mata air ini seringkali tersumbat dengan dalih modernisme, rasionalisme, dan materialisme.
Akibatnya, nilai-nilai luhur dalam seni tradisi dan ritus terabaikan, dan digantikan oleh nilai-nilai materialistik yang justru merusak dan mengeksploitasi alam tanpa henti. “Selama ini sumber mata air ini kita sumbat dengan yang namanya modernisme, rasionalisme, materialisme, dan lain sebagainya,” kritiknya.
“Karena kita sumbat, akhirnya yang datang adalah air-air sampah (bencana alam, misalnya), karena sumber mata air jernihnya kita sumbat.”
Al-Zastrouw kemudian menambahkan bahwa sinematografi dapat menjadi salah satu “gorong-gorong” untuk mengalirkan mata air yang jernih ini.
***
SAYA sepenuhnya sependapat dengan Al-Zastrouw bahwa stigma “kuno” dan “tidak rasional” yang melekat pada seni tradisi dan ritus harus dilawan. Kita perlu mengubah cara pandang dan mulai melihatnya sebagai sumber pengetahuan, kearifan, dan solusi untuk berbagai problem global, termasuk krisis ekologi.
Upacara ritus Jaran Kepang, seperti yang dicontohkan Al-Zastrouw, dapat menjadi sarana untuk menjaga kelestarian alam dan memastikan Temanggung tetap menjadi kota yang sejuk.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat Gus Dur, yang selalu menggerakkan kearifan tradisi dan menjadikannya sebagai sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik.
Gus Dur menunjukkan bahwa kearifan tradisi dapat menjadi landasan untuk membangun masyarakat yang adil, setara, dan manusiawi, tanpa kehilangan sikap terbuka dan progresif terhadap perkembangan peradaban.