Hukum Kesejatian Ilahi, atau yang lebih dikenal dengan law of divine oneness merupakan hukum yang pertama dalam alam semesta. Hukum ini menyatakan bahwa semua makhluk dan segala yang ada terhubung dalam satu kesatuan yang utuh. Tidak ada yang terpisah. Apa yang kita lakukan kepada orang, pada dasarnya adalah tindakan terhadap diri kita sendiri. Ini menunjukkan bahwa segala tindakan yang kita lakukan, pada akhirnya efeknya juga akan kembali kepada kita.
Kesepakatan terhadap kenyataan bahwa segala yang ada di alam semesta ini terhubung, rasa-rasanya tidak ada yang bisa membantahnya. Bagi penulis, ini adalah sebuah ketetapan. Materi yang satu terhubung dengan materi lainnya. Manusia terhubung dengan makhluk lainnya. Benda padat terhubung dengan benda-benda lainnya.
Namun, di balik semuanya terselip keterbatasan manusia untuk menjangkau keterhubungan itu. Mata manusia tidak mampu melihat benda mikro-organisme yang amat kecil, pun demikian halnya dengan suara atau getaran yang sangat kecil. Telinga manusia juga memiliki limit untuk mendengarkan.
Keterhubungan satu sama lain ini pula yang mempertegas bukti bahwa segala getaran yang dihasilkan oleh setiap benda, baik yang skalanya kecil, maupun besar, akan terhubung dengan alam di luarnya. Bahkan, suara hati yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang bersangkutan, terhubung ke alam semesta, dan dipahami oleh semesta itu sendiri.
Salah satunya adalah adanya keterhubungan dalam konsep doa. Doa yang dipanjatkan oleh setiap orang akan terhubung pada jagad raya. Selanjutnya alam ini memproses dirinya untuk mendukung apa yang menjadi permintaan orang tersebut di dalam doanya. Cepat atau lambat, pasti doa diproses, dengan ataupun tanpa kesadaran manusia yang bersangkutan.
Korelasi Hukum Oneness dengan Ussul
Pemahaman tentang ussul erat kaitannya dengan tradisi masyarakat Mandar di Sulawesi. Bahkan, bisa dijustifikasi bahwa ini menjadi salah satu identitas bagi mereka. Kehidupan orang Mandar sarat dengan praktik ussul. Pada prinsipnya, ini sudah menjadi bagian dalam kehidupan mereka, mulai dalam dunia kerja, kegiatan seremonial (hajatan), prosesi membangun rumah, dan berbagai kegiatan keseharian lainnya.
Ussul dipahami sebagai doa ataupun pengharapan terhadap hal yang baik dalam hidup. Entah bagaimana caranya, masing-masing orang memiliki metodenya tersendiri. Praksisnya bergantung pada apa yang mereka inginkan. Ketika seorang petani hendak menanam, maka salah satu ussul yang dilakukan yaitu dengan mencari hari-hari yang dianggap baik bagi mereka.
Ketika seorang nelayan berada di tengah laut, maka mereka akan senantiasa menghindari pantangan (pemali/pamali). Ketika seseorang telah membeli kendaraan, maka sebelum digunakan, terlebih dahulu melakukan ritual kuliwa (doa, untuk mendapatkan keselamatan). Semua itu merupakan bagian dari aplikasi ussul. Yang pada intinya mengharapkan hal yang baik, dan sebaliknya berupaya menjauhkan hal-hal yang buruk.
Sebagai contoh, ussul yang diterapkan oleh petani dapat dilihat dari prosesi ketika mereka menanam pisang. Saat menanam, biasanya ada yang memakai ussul. Yaitu dengan mengambil daun bambu, kemudian dijadikan alas dalam lubang yang nantinya menjadi tempat pisang tersebut ditanam. Ini harapannya, kelak pisang itu berbuah dengan panjang laiknya seperti pohon bambu yang panjang. Ini mereka yakini, dan memang faktanya dirasakan hasilnya demikian.
Ussul menanam pisang tersebut berkorelasi dengan Hukum Oneness tadi, di mana ada keterhubungan yang dibangun oleh si petani pisang tersebut. Dia mentransformasi energi gerak dalam dirinya (melibatkan hati dan pikiran) agar terhubung dengan alam semesta. Hakikatnya, memang dalam konsep ini pasti terhubung satu sama lain. Petani, bibit pisang, daun bambu, tanah, dan alam semesta secara umum menjadi terhubung. Semuanya memahami (dengan caranya masing-masing) akan pengharapan si petani tersebut.
Hal ini bisa disederhanakan dengan sebuah analogi. Misalnya, ketua pembangunan masjid mengumumkan bahwa ada rencana akan membangun sebuah toilet di samping masjid. Pengumuman ini bisa disebut sebagai sebuah transformasi gerak yang berasal dari hati dan pikirannya. Nah, pengumuman tersebut terhubung ke masyarakat. Panitia pembangunan dan masyarakat akhirnya terbentuk frekuensi yang sama, yaitu sama-sama ingin mewujudkan adanya toilet masjid.
Hasilnya, setiap orang akan mengambil perannya masing-masing. Ada yang menanggung pasir, semen, kerikil, batu bata, seng, dan lain sebagainya. Ini terjadi karena adanya konsep keterhubungan tersebut. Dan akhirnya, jadilah toilet yang diinginkan itu.