Pakala’bi to Tondo Dai’
Pakarayai sippatutta’
Asayangngi to tondo naung…
Tiga kalimat yang penulis kutip di atas merupakan potongan dari sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Andi Ali Baal Masdar dan diciptakan oleh Suparman Sopu. Lagu tersebut menceritakan sebuah pappasang (pesan-pesan leluhur) dari tanah Mandar. Secara letterlijk, kalimat pertama dapat dimaknai ‘memuliakan orang yang lebih di atas’. Kedua dapat diartikan ’menghargai yang sederajat’. Kemudian yang ketiga bisa diartikan ’menyayangi yang lebih di bawah’. Semua ungkapan tersebut sangat dalam dan kaya akan makna filosofis dalam kehidupan.
Moderasi Beragama dan Penghargaan terhadap Tradisi
Salah satu indikator utama dalam Moderasi Beragama (selanjutnya ditulis MB) adalah adanya penghargaan terhadap tradisi. Entah bagaimanapun bentuknya, baik yang dalam bentuk ritual, gerakan, nyanyian, tarian, maupun lisan. Posisi MB sangat concern terhadap keberadaan itu semua. Termasuk dalam hal ini adalah tradisi pappasang yang masih ditemukan dalam praktik hidup masyarakat Mandar di Sulawesi.
Pappasang adalah kata-kata bijak yang selama ini masih banyak ditemukan di wilayah Mandar. Ungkapan yang sarat dengan makna mendalam, berisi tentang seruan-seruan untuk kebaikan dan kemaslahatan masyarakat luas. Mungkin, itu pulalah yang menjadi alasan utama program MB memasukan penghargaan terhadap tradisi sebagai bagian dari indikator intinya karena melihat bahwa Indonesia memiliki kompleksitas yang sangat tinggi, baik dari sudut pandang suku, agama, bahasa, hingga tradisinya.
Pakala’bi to Tondo Dai’
Kalimat ini adalah bentuk pappasang. Pesan-pesan moral yang berisi tentang ajakan, seruan ataupun perintah. Sikap untuk memberikan penghormatan terhadap yang lebih tua. Perbuatan yang senantiasa memuliakan orang yang lebih tinggi posisinya. Misalnya, penghormatan anak kepada orang tuanya. Pemuliaan bawahan terhadap atasan. Penghormatan murid kepada gurunya, dan lain sebagainya.
Petuah ini memberikan ukuran moral, bagaimana seharusnya bersikap terhadap yang lebih tinggi posisinya. Penghargaan, penghormatan, pemuliaan, menjadi kata-kata yang ‘wajib’ untuk dilakukan. Penegasian terhadapnya merupakan pengkhianatan terhadap pappasang ini. Tidak adanya sikap hormat, maka dapat diistilahkan sebagai orang yang pasayu (kurang ajar).
Orang yang menerapkan konsep ini, maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang moderat dalam beragama. Siapa pun orangnya yang dijumpai, maka penghargaan terhadapnya adalah sebuah keniscayaan. Sebagai rakyat dalam suatu negara misalnya, pemuliaan terhadap pemerintah harus ditunjukkan. Rakyat yang memuliakan bukan berarti tidak kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah. Namun, ada batasan moral.
Ketika ada program yang dicetuskan pemerintah, maka yang dilakukan bukan langsung menghakiminya, melainkan menelaah, menganalisis dulu baik dan buruknya program tersebut terlebih dahulu. Ketika ada yang merasa tidak sesuai, maka disampaikan secara baik, bukan malah membuat provokasi ataupun propaganda. Inilah bentuk penghormatan, memposisikan pemerintah dalam kemuliaannya.
Pakarayai Sippatutta’
Pesan kedua dalam kutipan di atas menunjukkan ajakan untuk menghargai yang sederajat dengan kita. Orang Mandar menghargai Jawa, Bugis, Sunda, Batak, dan lain sebagainya. Katolik menghargai yang Muslim, Hindu, Buddha, Protestan, dan Konghucu. Pegawai yang satu menghargai pegawai yang lainnya. Petani menghargai pedagang. Penulis menghargai seniman. Ini semua adalah bentuk mappakaraya (menghargai) orang lain.
Konsep ini sangat relevan dengan MB yang menekankan penghargaan terhadap sesama. Tidak mengklaim kebenaran identitasnya yang paling benar, sementara yang lain salah. Muslim boleh mengklaim dalam dirinya paling benar secara internum dalam komunitasnya, namun ketika di ranah publik, itu tidak etis dilakukan dengan mengklaim agama Islam yang paling benar dan yang lain salah. Inilah yang dimaksud dengan konsep mappakaraya (menghargai). Sementara ketika agama yang lain tidak mengklaim bahwa agamanya yang paling benar di ranah publik, maka inilah yang dimaksud dengan sipakaraya (saling menghargai).
Ketika penganut agama Kristen memperbolehkan, bahkan membantu pembangunan masjid, maka posisinya mappakaraya. Sebaliknya, ketika umat Islam membantu saudaranya yang Nasrani membangun gereja, maka ini juga adalah mappakaraya. Maka, kedua kejadian ini dikatakan sipakaraya. Tentu pesan-pesan seperti ini bisa diaplikasikan dalam berbagai hal. Bukan hanya pada tataran keagamaan seperti yang dicontohkan di atas.
Asayangngi To Tondonaung
Pesan yang ketiga adalah menyayangi orang yang posisinya berada di bawah. Petuah ini pun sangat mendalam maknanya. Ini bisa diinterpretasikan sikap mengayomi orang tua terhadap anaknya. Pembimbingan senior terhadap juniornya. Seorang guru harus membimbing muridnya ke jalan yang benar. Pemerintah harus memberikan kesejahteraan kepada warganya. Yang mayoritas melindungi yang minoritas, dan berbagai konteks lainnya.
Keluasan makna dari ungkapan ini bisa ‘ditarik’ ke berbagai sektor kehidupan. Khususnya terkait dengan MB yang menjadi poin penting dalam tulisan ini. Penulis memaknai bahwa apa yang dimaksud dengan asayangngi adalah bentuk perintah atau ajakan untuk maasayangngi (menyayangi) orang yang yang posisinya lemah. Taruhlah misalnya dengan istilah mayoritas-minoritas.
Ketika misalnya, di sebuah daerah terdapat penganut Kristen yang secara kuantitatif lebih besar dari umat Islam, maka petuah ini berlaku pada orang Kristen yang mesti mengayomi dan melindungi orang Muslim. Khususnya, ketika orang Muslim ingin menjalankan ibadah ritualnya, mau mendirikan masjid, dan lain sebagainya, maka kaum Nasrani ini kemudian menjadi garda terdepan dalam menjamin keamanan terhadap kelompok minoritas Muslim tersebut. Demikian sebaliknya dengan umat Muslim yang harusnya menjadi garda terdepan untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi mereka yang Nasrani. Ini melahirkan keadaan yang disebut dengan siasayangngi (saling menyayangi).
Oleh karena itu, kearifan lokal yang terdapat dalam pappasang di atas boleh dikatakan sebagai salah satu bentuk dari MB, di mana dalamnya terdapat sikap toleran dan keharmonisan dalam menjalani hidup secara bersama-sama. Dan tentu, masih banyak kearifan-kearifan lain yang bisa dielaborasi lebih jauh.