Pernak-Pernik Kerudung dalam Masyarakat: Antara Budaya dan Hukum Islam

Dalam Islam, banyak aspek yang harus disepakati dan dijalani oleh setiap umatnya. Dari tata cara beribadah, cara makan, hingga cara berpakaian. Cara berpakaian ini merujuk kepada kebutuhan etika dan estetika antara Muslim dan Muslimah. Muslim mengenakan songkok (kopyah) untuk menutupi rambutnya, sedangkan Muslimah mengenakan jilbab atau kerudung.

Soal kerudung, akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan sebuah ledakan kecil, namun efeknya besar. Masyarakat pun kaget tidak karuan. Terlebih ledakan itu dihasilkan oleh seorang pimpinan BPIP, Prof. KH. Yudian Wahyudi Asmin.

Kerudung dan pemikiran

Pak Yudian boleh dibilang seorang begawan. Tercatat pada tahun 1990-an, ia produktif menerjemahkan buku-buku berbahasa Inggris maupun Arab semasa setelah mendapat gelar M.A. dari McGill University of Canada. Ia juga merupakan profesor pertama perguruan tinggi keislaman Indonesia yang kali pertama berkantor di Harvard sekaligus menjadi anggota American Association of University Professors, Harvard University. Juga, ia pernah menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2016-2020).

Sebagai jebolan UIN, Pak Yudian melahirkan pemikiran-pemikiran yang tidak umum. Hal itu tidak bisa kita elakkan. Pasalnya, pelajaran-pelajaran di UIN kerap kali membikin masyarakat awam kaget.

Yang jelas, masyarakat kita, sebagaimana yang dikatakan Nurcholish Madjid (Cak Nur), masih meng-ukhrawi-kan (mengakhiratkan) hal-hal duniawi. Di mana hal itu akan membuat bangsa ini ketinggalan jauh dari kemajuan peradaban bangsa lain. Bangsa lain sudah berbicara tentang menyelamatkan diri dari hari kiamat, sedangkan kita masih ribut perkara kerudung.

Nah, kerudung atau jilbab adalah pakaian bagi seorang Muslimah. Al-Qur’an Surat Al Ahzab ayat 59 mengatakan, “Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan kerudungnya ke seluruh tubuh mereka. …”

Selain berpusat kepada Surat Al Ahzab tadi, mari kita membaca buku gubahan M. Quraish Shihab yang bertajuk Kerudung, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer (Lentera Hati, 2012). Buku itu berisikan pelbagai pertautan pemahaman dan pemikiran mengenai pakaian, khususnya kerudung.

Mula-mula kita mengerti bahwa kerudung adalah pakaian penutup bagi perempuan Muslim. Di sisi lain, perintah berkerudung tidak melupakan aspek adat-istiadat masyarakat. Karenanya, lahirlah rumus al-adat muhakkamah atau persoalan yang berulang-ulang secara budaya tanpa berkaitan dengan rasionalitas. Lalu, apakah kerudung merupakan produk budaya?

Menurut Murtadha Muthahhari, pakaian tertutup muncul di bumi jauh sebelum datangnya Islam. Di India dan Iran lebih keras tuntunannya daripada yang diajarkan Islam. Adapun pakar lain yang menyatakan bahwa orang-orang Arab meniru orang-orang Persia yang mengikuti agama Zardusht dan menilai perempuan sebagai makhluk tidak suci. Sehingga, mereka diharuskan menutup mulut dan hidung agar napas mereka tidak mengotori api suci sebagai sesembahan mereka. (M. Quraish Shihab, 2012)

Di samping itu, ada hal filosofis mengapa perempuan Muslim berkerudung. Yakni, agar mereka menjaga bahkan menutupi sesuatu yang merupakan anugerah Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi. Karenanya, kerudung sebagai cermin etika dan estetika Muslimah.

Namun, hal tadi sirna seiring dengan perbuatan perempuan Muslimah melampaui batas nilai dan norma di masyarakat. Sering kita jumpai banyak perempuan yang meninggalkan tata nilai dan norma dalam mengenakan kerudung. Tetapi, seiring dengan dinamika zaman, penggunaan kerudung sudah tidak letterlijk atau sesuai pakem tradisional.

Kerudung ala Gus Dur

Sekarang, kita banyak menjumpai kerudung sebagai fesyen dengan berbagai pernak-pernik dan panjangnya sampai kaki. Gus Dur, dalam esainya, Kerudung dan Kesadaran Beragama (Tempo, 29 Januari 1983) meneroka permasalahan kerudung dengan pelbagai hiasan-hiasannya.

Ada kerudung yang warna-warni dan dihiasi renda dan sulaman indah; ada juga kerudung yang polos dan hanya pinggirannya saja yang disentuh jahitan. Ada yang hanya dipakai untuk menutupi seluruh rambut dan disangkutkan di bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata ke seluruh sanggul yang memahkotai kepala. Apalagi kalau sanggul disasak lebar-lebar dengan diameter tidak kurang dari ban skuter vespa atau bajaj yang menandakan bahwa terjadi krisis identitas diri sebagai muslimat, tetapi enggan disebut kampungan.

Beragam model kerudung tadi, ternyata, menjadi polemik di masa Orde Baru. Memang, dulu Orde Baru pernah melarang penggunaan kerudung kepada siswi di sekolah. Di samping itu, ada permasalahan, mengingat kerudung merupakan simbol ketaatan beragama. Perempuan yang mengenakan kerudung dinilai taat pada perintah agama.

Gus Dur menilai, pemakaian kerudung dapat meningkatkan kesadaran beragama di kalangan masyarakat. Kesadaran itu berangkat dari kekecewaan terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan modern, yang diredusir menjadi kekuasaan modal saja dan tidak berdampak kepada kualitas sumber daya manusia. Ditambah lagi kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas persoalan kehidupan yang dihadapi.

Begitulah. Persoalan mengenai kerudung yang berkobar ini, perlunya kita padamkan dengan menguatkan watak keilmiahan masyarakat dan rasa ingin belajar yang tinggi, sehingga masyarakat kaya akan referensi pelbagai hal keagamaan agar masyarakat tidak gampang kaget menerima perbedaan. Tapi, tidak menutup kemungkinan, apakah persoalan semacam ini akan meletus kembali?

Wallahualam.

Penggerak Komunitas GUSDURian Sukoharjo, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *