Lilias Trotter, mungkin belum banyak orang di Indonesia yang pernah mendengar namanya. Ia adalah seorang seniwati dan misionaris Kristen dari Inggris abad ke-19 (14 Juli 1853-27 Agustus 1928) yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk masyarakat sufi yang kurang mampu di Aljazair. Lilias Trotter dikenal sebagai sosok yang mampu menembus batas-batas tradisi agamanya demi membangun jembatan perdamaian dan toleransi di tengah masyarakat Muslim.
Di balik karyanya yang menginspirasi, ia memiliki penghayatan mendalam terhadap spiritualitas dan nilai-nilai sufisme yang sangat relevan dalam konteks perdamaian dan keberagaman. Menariknya lagi, nilai-nilai yang dihidupi semasa hidupnya bahkan diteruskan hingga kini oleh orang-orang yang mengaguminya. Semangatnya sangat beririsan dengan sembilan nilai yang diwariskan oleh Gus Dur, tokoh pluralisme dan toleransi yang juga melihat keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Kisah Lilias Trotter dan perjuangannya di Aljazair memiliki relevansi yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia saat ini, terutama ketika dunia masih terus berjuang melawan prasangka dan ketidakadilan. Sebagai perempuan yang memilih hidup di tengah masyarakat Muslim, Lilias Trotter memiliki perspektif yang sangat inklusif, “A flower cannot be made to grow by tugging at it,” katanya. Hal ini mengingatkan kita bahwa perubahan dan perdamaian sejati tidak bisa dipaksakan, tetapi harus dirawat dengan kasih sayang, kesabaran, dan pemahaman.
Dari Ketauhidan hingga Kemanusiaan
Dalam karya-karyanya, Lilias Trotter memperlihatkan apresiasi yang mendalam terhadap spiritualitas Islam, terutama sufisme. Meskipun ia seorang Kristen, ia terinspirasi oleh konsep tauhid dalam Islam, yang menekankan hubungan langsung antara manusia dan Tuhan. Lilias Trotter menghargai cara sufisme mengajarkan cinta kepada Tuhan melalui pengalaman spiritual yang mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan nilai ketauhidan yang juga dipegang Gus Dur. Bagi Gus Dur, Tuhan hadir dalam setiap manusia, dan hubungan spiritual kita dengan Tuhan adalah dasar dari setiap tindakan kebaikan. Seperti yang pernah ia katakan, “Agama seharusnya menjadi sumber kasih sayang, bukan kebencian.”
Sementara itu, nilai kemanusiaan adalah fondasi utama dari perjuangan Lilias Trotter. Di Aljazair, Lilias bekerja erat dengan perempuan-perempuan yang termarjinalkan, mendirikan sekolah dan pusat pelatihan untuk memberi mereka akses terhadap pendidikan. Baginya, kemanusiaan melampaui batas-batas agama dan budaya. Sebelum ia memutuskan untuk menghabiskan sisa umurnya hingga menutup usia di Aljazair, ia selalu menghabiskan waktu tidurnya di malam hari untuk berkeliling di sekitar area tempat tinggalnya di Inggris untuk memberi makan, obat-obatan, dan pakaian para tunawisma termasuk mereka yang mengidap penyakit kulit, HIV/AIDS, dan bahkan pekerja seks.
Ia memilih menolak pinangan mentornya yang mengaguminya karena ia ingin sepenuhnya membaktikan dirinya untuk masyarakat yang sering dianggap manusia buangan. Ia juga selalu merasa resah tinggal di rumahnya yang serba berkecukupan, itulah mengapa ia memilih hidup sederhana bahkan miskin di tengah orang-orang yang kurang mampu di komunitas Muslim sufi di Aljazair.
Gus Dur juga menempatkan kemanusiaan, kekesatriaan, dan kesederhanaan di atas segalanya. Ia percaya bahwa membela hak-hak asasi manusia, terutama bagi kaum minoritas dan marjinal adalah salah satu tugas utama agama. Agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “a atau tidak” dan “gama atau kacau”, yang jika digabungkan bermakna “tidak kacau”. Gus Dur pernah bilang, “Tidak penting apa agamamu, yang penting adalah apa kebaikan yang kamu perbuat untuk orang lain.”
Keadilan Sosial: Jalan Menuju Perdamaian
Keadilan sosial itu sendiri meskipun kita hafalkan di luar kepala sebagai seorang warga negara Indonesia, tapi kita kerap lupa mempraktikkannya dengan tulus dan welas asih di dalam hati nurani kita. Keadilan sosial sebenarnya sama dengan konsep perdamaian positif dalam teori Johan Galtung, Bapak Studi Perdamaian dan Konflik. Menurutnya, perdamaian yang sesungguhnya hanya bisa tercapai dengan adanya keadilan sosial.
Lilias Trotter menyadari hal ini juga. Ia melihat adanya ketidakadilan yang dialami oleh para penduduk Aljazair di bawah penjajahan Prancis semasa bakti dan pelayanannya di sana. Ia tidak mau pulang dengan segala kenyamanan dan kecukupan hidup di Inggris dan meninggalkan orang-orang kurang mampu yang telah dengan hangat menerimanya di Aljazair. Lilias bertekad untuk memperbaiki kondisi hidup mereka meskipun ia pernah sampai ditangkap pemerintah Prancis karena dituduh mata-mata Inggris.
Di sisi lain, Gus Dur dengan pandangan progresifnya terhadap hak-hak minoritas juga selalu memperjuangkan keadilan sebagai landasan dari perdamaian yang berkelanjutan dan abadi. Baik Lilias Trotter maupun Gus Dur memahami bahwa perdamaian sejati hanya akan terwujud ketika setiap individu, terlepas dari latar belakang mereka, bisa hidup dengan martabat yang sama, karena apa pun status sosial dan ekonominya, setiap manusia sama di mata Sang Pencipta.
“Tanpa toleransi, tidak ada perdamaian,” kata Gus Dur. Hal ini mengingatkan kita bahwa penghormatan terhadap perbedaan adalah syarat mutlak bagi kehidupan yang harmonis. Melalui warisan mereka, kita diajak untuk terus merawat dan memperjuangkan toleransi serta keberagaman demi terciptanya perdamaian yang sejati. Terakhir, kita bisa mengenal lebih mendalam sosok Lilias Trotter dalam sebuah film dokumenter berjudul Many Beautiful Things: The Life and Vision of Lilias Trotter (2015).