BANTAENG – Di bawah langit yang muram dengan hujan deras menghiasi malam, Bantaeng tampak tenang namun penuh makna. Pada tanggal 7 Januari 2025, peringatan haul ke-15 Gus Dur tetap berlangsung khidmat di pelataran The Bujay Cafe, Bantaeng, Sulawesi Selatan. Beralaskan karpet sederhana, suasana semakin hangat dengan hidangan tradisional khas Bantaeng.
Acara yang diinisiasi oleh berbagai komunitas dan organisasi kepemudaan, seperti GUSDURian Sulampapua, Appa’ Se’re Institute, Boetta Ilmoe, GP Ansor, KNPI, PMII, HMI, dan Karang Taruna tersebut, dihadiri ratusan undangan dari berbagai latar belakang agama, suku, dan profesi. Tampak semuanya terlihat sumringah di acara bertajuk “Literasi untuk Kemanusiaan, Mengenang Warisan Gus Dur” itu.
Tema tersebut terasa sangat relevan dengan situasi saat ini, apalagi di tengah situasi banjir informasi dan masifnya hoaks dan ujaran kebencian yang berseliweran di jejaring media sosial. Sulhan Yusuf, pembina GUSDURian, dan Nuzuliah Hidaya, seorang aktivis perempuan Bantaeng, didaulat sebagai pembicara dalam kegiatan ini.
Dalam sambutannya, Suaib A. Prawono, Koordinator GUSDURian Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampapua), menyampaikan bahwa peringatan haul ini bukan hanya sekadar mengenang kepulangan Gus Dur, tetapi juga sebagai refleksi atas gagasan literasi kemanusiaan yang masih sangat relevan untuk diperbincangkan. Gus Dur, menurut Suaib, adalah teladan literasi yang tidak hanya cakap membaca dan menulis, tetapi juga berbicara dan mendengar dengan penuh perhatian.
“Kami berharap, momentum haul ini bisa menjadi ajang silaturahmi dan ruang dialog antara kita,” ujar Suaib dalam sambutannya.
Sulhan Yusuf, dalam pemaparannya, menggambarkan bagaimana budaya aksara menjadi motor penggerak perkembangan peradaban manusia. Gus Dur, adalah salah seorang tokoh besar yang dimiliki oleh Indonesia, ia termasuk pemikir muslim Indonesia yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran Islam.
“Salah satu ciri orang besar adalah ketika pemikirannya masih diperbincangkan meskipun sudah meninggal. Di Indonesia, hanya ada dua tokoh yang pemikirannya masih diperbincangkan baik di dalam maupun luar negeri, yaitu Gus Dur dan Soekarno,” ujar Sulhan Yusuf.
Lebih lanjut, founder dan pegiat literasi Boetta Ilmoe ini menegaskan bahwa gagasan Gus Dur mampu melampaui zamannya, sehingga ia lebih banyak disalahpahami daripada dipahami. Gus Dur juga dikenal sebagai penarik gerbong perubahan sosial di Indonesia. Ia tidak hanya fasih berbicara soal agama, tetapi juga isu-isu sosial, budaya dan seni.
“Orang yang mampu melakukan perubahan sosial adalah orang yang tercerahkan,” jelas Sulhan Yusuf.
Lebih lanjut, Sulhan mengatakan bahwa tidak banyak kalangan di NU yang memiliki prototipe seperti Gus Dur. Gus Dur adalah keturunan ulama besar dan pendiri NU, namun ia tidak berbeda dengan orang lain dalam hal perjuangan kerasnya untuk menjadi seorang intelektual.
Selain itu, Gus Dur adalah orang yang memiliki rasa empati yang sangat tinggi. Ia hadir memberi contoh dan teladan untuk kemanusiaan. Komitmen Gus Dur pada kemanusiaan sangat jelas, bahkan ia membela manusia tanpa syarat.
“Alasan kita mencintai Gus Dur bukan karena ingin tren, tetapi karena ketulusan dan komitmennya pada kemanusiaan,” jelasnya.
Pandangan lain dikemukakan oleh Nuzuliah Hidayah, ia mengatakan, Gus Dur adalah tokoh mendunia. Ia berani membela dan memperjuangkan kesetaraan umat manusia serta memperlakukan semua orang dengan adil tanpa memandang latar belakang mereka.
“Kesetaraan tanpa diskriminasi dan marginalisasi adalah prinsip yang dipegang teguh oleh Gus Dur,” tegasnya.
Setelah sesi pemaparan materi, dua orang tokoh berbagi cerita tentang Gus Dur, yaitu Willi, seorang seniman dan jemaat Katolik Bantaeng. Dalam testimoninya, Willi menyampaikan bahwa ia merasa bangga bisa hadir dalam kegiatan haul tersebut. Ia juga mengaku sebagai pengagum berat Gus Dur serta terinspirasi dari kesederhanaannya.
“Kendati kesederhanaan Gus Dur sulit diikuti, tetapi paling tidak kita berjuang untuk itu, salah satunya bisa dilihat di kegiatan yang kita kemas hari ini, sungguh sangat sederhana dan sangat terasa kesan kesetaraannya,” jelas Willi.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Gus Dur diutus Tuhan untuk menyelamatkan manusia. Sebagai kelompok minoritas, ia tidak pernah merasa takut karena gagasan dan perjuangan kemanusiaan Gus Dur telah banyak menginspirasi masyarakat Indonesia, termasuk tokoh dan anak muda di Bantaeng.
“Kesederhanaan Gus Dur menginspirasi kami untuk berbuat baik kepada sesama,” jelas pria kelahiran Flores tersebut.
Sementara itu, Crist Tamrin, seorang tokoh Tionghoa dari Bulukumba, dalam testimoninya mengaku merasa iri melihat kegiatan haul yang diselenggarakan di Bantaeng. Ia berharap kegiatan serupa juga bisa diadakan di Kabupaten Bulukumba. Sebab gagasan, perjuangan kemanusiaan dan kesetaraan Gus Dur juga dirasakan oleh komunitas Tionghoa di Bulukumba.
“Karena Gus Dur, kami bisa menyaksikan barongsai di Bulukumba pada tahun 2000, tanpa Gus Dur, mungkin kami tidak bisa seperti ini. Kami bangga ada anak-anak Gus Dur yang bernama GUSDURian yang melanjutkan nilai, pemikiran, dan perjuangan beliau,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Dari pemaparan narasumber dan testimoni tokoh lintas agama dan etnis tersebut, sangat jelas betapa besar pengaruh Gus Dur dalam memperjuangkan kesetaraan dan kemanusiaan, serta ketulusannya menginspirasi banyak orang dari berbagai latar belakang hingga saat ini.