Media merupakan corong korporasi, politik, ekonomi, keagamaan, dan lain sebagainya. Segala kepentingan dalam kehidupan manusia dikomunikasikan melalui media. Tidak mengherankan jika pengaruh media begitu besar terhadap opini dan persepsi publik. Bahkan pada skala yang lebih jauh, sangat mungkin jika media memengaruhi pandangan dunia (weltanschauung) seseorang. Jika diperinci, pengaruh media bisa merambah pada filsafat hidup (meliputi: makna hidup, tujuan dan nilai-nilai), keyakinan (agama, spiritualitas, kepercayaan), prinsip moral dan etika yang dianut hingga cara memandang dunia, masyarakat, dan diri sendiri. Dengan demikian media menyimpan peluang sekaligus tantangan termasuk dalam aspek sosial.
Menyadari hal tersebut, media idealnya juga menjadi tempat pengarusutamaan perspektif gender mengingat adanya fenomena ketimpangan gender yang begitu kuat dalam masyarakat. Hal itu dimaksudkan untuk membangun literasi keadilan gender bagi masyarakat khususnya di Indonesia yang selama ini dinilai terlampau patriarkis. Dalam hal ini jurnalisme media memiliki peranan penting dalam membangun wacana berperspektif gender pada publik. Namun, kenyataannya mewujudkan jurnalisme media yang berperspektif gender bukannya tanpa batu sandungan. Berbagai tantangan menghadang baik dalam tubuh industri media sendiri maupun dalam proses media membangun wacana publik.
Sana Ulaili dari SP Kinasih dalam diskusi di Sekretariat AJI Yogyakarta pada Sabtu (10/5/25) lalu mengungkapkan ada situsasi budaya patriarkis yang sangat mengakar dalam tubuh industri media. Sebagai contoh, jarang ditemukan perempuan yang memperoleh kesempatan menempati jabatan strategis di media. Oleh karena itu, tidak memungkinkan bagi perempuan untuk memberikan affirmative action pada konten media yang diproduksi. Selain itu, sering kali jurnalisme di Indonesia juga tidak punya posisi tawar sekaligus ambigu. Di satu sisi media menyuarakan diskursus tentang perempuan, namun di sisi lain terdapat banyak pekerja industri media yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual.
Jika ditilik dari sisi kontennya, media pun tidak jarang melakukan objektifikasi pada perempuan. Misalnya dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual, perempuan sengaja diobjektifikasi untuk meningkatkan oplah media. Selain itu, media juga sering kali menampilkan gambar tubuh perempuan pada berita yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan perempuan. Dengan kata lain, perempuan menjadi komoditas untuk menaikkan keuntungan media. Masih banyak contoh lain dari kegagalan media dalam menggunakan perspektif gender seperti konten media yang seksis, body shaming, menyertakan iklan-iklan yang mendiskreditkan perempuan, dan lain-lain. Bukannya meluruskan perspektif gender, media justru masih melanggengkan budaya patriarkis.
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya jurnalis untuk meningkatkan perspektif gender dan feminisme. Jurnalisme yang sensitif gender tidak akan menyajikan berita sebatas deskripsi suatu peristiwa atau fenomena, akan tetapi mampu menelaahnya lebih dalam seperti pengaruh relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual yang diberitakan. Dengan demikian, jurnalis memiliki pegangan nilai dan ideologi perspektif gender yang diamalkan dalam kerja jurnalistik sehari-hari.
Upaya-upaya membangun jurnalisme yang ramah gender sebenarnya telah banyak dilakukan agar jurnalisme bukan hanya sekedar bertujuan mendapat keuntungan finansial akan tetapi juga menyuarakan keadilan. UNESCO sejak tahun 2012 telah merilis Gender-Sensitive Indicator for Media. Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melalui divisi Gender juga telah menyusun “Panduan Membuat SOP bagi Perusahaan Pers untuk Mengatasi Kekerasan Seksual di Dunia Kerja”. Panduan ini dimaksudkan untuk memudahkan perusahaan pers menyusun prosedur operasional standar (standard operating procedure/SOP) penanganan kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan.
Pedoman-pedoman jurnalisme ramah gender tersebut perlu didorong pengimplementasiannya agar gender menjadi bagian dari transformasi bukan hanya bagi perempuan saja, akan tetapi juga bagi setiap individu, institusi termasuk dalam tubuh industri media. Langkah ini merupakan bentuk perjuangan jurnalisme melawan fenomena ketimpangan gender yang mengakar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.