YOGYAKARTA – Hingga beberapa tahun yang lalu, kata ‘ulama’ di mesin pencarian Google selalu menampilkan sosok laki-laki. Namun saat ini kata tersebut sudah mulai banyak dipakai untuk menyebut juga sosok perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan. Dengan kata lain, otoritas perempuan sebagai ulama sudah mulai mendapat pengakuan. Hal ini disebabkan, salah satunya, karena perjuangan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang hadir sejak 2017 di Cirebon, Jawa Barat.
Untuk lebih mengarusutamakan posisi ulama perempuan sekaligus mendiseminasikan ide-ide KUPI, Madrasah Creator KUPI menggelar “Kelas Menulis Biografi Bergaya Storytelling” pada Selasa-Kamis, 25-27 November 2025, di Omah Petroek Yogyakarta. Sebanyak 21 peserta terpilih mengikuti kegiatan ini setelah berhasil lolos seleksi dari 757 pendaftar. Para peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat.
Ketua panitia Madrasah Creator KUPI, Sarjoko, menyebut bahwa diadakannya kelas ini bertujuan untuk mendokumentasikan 21 profil ulama perempuan menjadi sebuah buku antologi atau bunga rampai. “Rencananya, jika sudah jadi, buku ini akan dibedah di tiga kota: Cirebon, Semarang, dan Yogyakarta,” ungkapnya.
Sebelum bertemu, peserta dibekali pengetahuan menulis dan perspektif KUPI dalam dua kali pertemuan daring, yaitu pada 12 dan 19 November 2025. Pertemuan pertama diisi oleh Andreas Harsono dari Yayasan Pantau untuk menajamkan kemampuan menulis storytelling para peserta, sementara pertemuan kedua diisi oleh Pera Sopariyanti dari Rahima untuk memperkuat perspektif KUPI dalam penulisan.
“Selain menghadirkan dua narasumber, kami juga mengajak empat mentor untuk mendampingi proses menulis para peserta, supaya hasilnya lebih maksimal,” terang Joko. Keempat mentor yang turut terlibat dalam kelas ini adalah Dedik Priyanto dari Islami.co, Wanda Roxanne dari Rahima, Zahra Amin dari Mubadalah, dan Mohammad Pandu dari Kampung GUSDURian. “Para mentor kami pilih dari jejaring KUPI yang sudah memahami perspektif KUPI selama ini. Mereka adalah penulis dan editor yang sudah lama bergelut di dunia penulisan dan media,” tambahnya.

Setelah mendapat penguatan materi dari para narasumber, peserta diminta untuk bertemu ulama perempuan yang akan ditulis, baik daring maupun luring. Sarjoko menyebut, pertemuan tersebut ditujukan untuk menggali data dan mengumpulkan materi penulisan melalui metode wawancara. Sementara itu, selama proses penulisan setiap mentor diminta mendampingi lima hingga enam peserta.
“Selama tiga hari ini, mereka (peserta) hanya fokus menulis dan mengolah data wawancara yang sudah didapatkan sebelumnya. Mereka akan menulis profil ulama perempuan yang selama ini belum banyak dikenal di publik, para bu nyai yang punya kontribusi besar di masyarakat tapi jarang tersorot,” papar Joko.
Kegiatan ini berjalan dengan lancar sesuai waktu yang ditentukan. Setelah acara selesai, para mentor kemudian bekerja untuk menyunting dan merapikan semua naskah peserta. “Awal Desember ini rencananya buku sudah bisa dicetak,” kata Joko.









