Kisah Sertu Jumadi

Sertu Jumadi adalah polisi lalu lintas. Dulu, ia tinggal di asrama polisi yang reyot, kumuh, berdesak-desak, bising, dan berbau pesing. Tapi kini, ia tinggal di luar asrama lantaran asramanya digusur untuk pusat pertokoan yang canggih.

Dengan tinggal di perumahan biasa, yang terbuat dari papan, bersama istri dan anaknya, kondisinya sedikit lumayan. Entah mengapa, akhir-akhir ini Pak Jumadi ikut arus “berperut gendut”. Baju jatah dari kantor menjadi ketat menempel di badan, sehingga jalannya pun tampak lebih susah dari biasanya. Barangkali, ia ingin memenuhi standar stereotip polisi zaman sekarang.

Setiap kali Sertu Jumadi berangkat dinas ke perempatan jalan, ia selalu mengendarai sepeda motor bebek miliknya dengan pakaian lengkap. Semula, saya kira polisi ini sedang naik barang bukti yang dititipkan di kantornya. Soalnya, dihitung-hitung dengan matematika modern, dengan gajinya Sertu Jumadi agak susah mendapatkan sebuah sepeda motor. Atau barangkali, pikir saya, sepeda motor itu dibeli dari hasil pesangon gusuran asramanya.

Dengan naik sepeda motor bebek, kegagahan polisi jelas berkurang. Saya sering berdecak kagum kalau melihat polisi mengendarai sepeda motor besar, dengan helm, jaket kulit, dan sepatu lars tinggi. Bila mengejar dan menyetop kendaraan yang melanggar lalu lintas, mereka tampak berwibawa. Kalau polisi mengejar pengendara mobil atau sepeda motor dengan sepeda motor “preman”, tampaknya mereka seakan-akan sedang mencari tambahan penghasilan.

Menurut saya, polisi yang pergi ke kantor lebih baik mengenakan baju biasa. Setelah itu, di kantor barulah mengenakan pakaian dinas. Kemudian, dengan kendaraan, mereka di-drop ke tempat dinasnya di jalan-jalan raya. Selesai tugas, mereka dijemput dan kembali ke kantor, memakai pakaian biasa, dan pulang.

Mengapa saya punya pikiran seperti itu? Saya punya pengalaman menarik tentang hal ini. Beberapa tahun lalu, ketika masih kuliah, saya naik bus kota yang sarat penumpang. Saat itu, seorang penjahat menyerobot dompet seorang wanita. Wanita itu menjerit histeris, sambil menunjuk seorang lelaki yang badannya seperti Mike Tyson. Tatapan orang itu tajam, seperti burung elang mengawasi mangsanya, dan mengarah ke setiap penumpang. Napasnya bak lokomotif yang mulai bergerak menarik puluhan gerbong. Dan yang lebih mengerikan lagi, tangan kiri lelaki besar itu mencengkeram dompet si wanita, sedang tangan kanannya menghunus belati yang mengkilap dan runcing.

Tak seorang pun penumpang bus, yang kebanyakan lelaki, termasuk saya, berani bertindak menolong wanita yang histeris itu. Terus terang, saya takut belati terhunus di tangan penjahat itu. Barangkali, penumpang lain juga begitu. Salah seorang penumpang yang duduk di belakang adalah polisi. Semua mata tertuju kepadanya dan berharap ia akan bertindak. Tapi seperti penumpang lainnya, si polisi hanya diam sampai penjahat meloncat ke luar bus.

Seperti dikomandokan, para penumpang pun berteriak panjang, “uuuuu…,” sambiil melirik Pak polisi. Saya terenyuh melihatnya. Takut adalah hal yang manusiawi. Polisi yang badannya jauh lebih kecil itu, pasti takut juga. Bila melawan, niscaya ia pun tak akan menang. Saat polisi itu turun di sebuah halte, hampir seluruh penumpang berkomentar: “Polisi kok takut!”; “Polisinya pasti sekongkol dengan penjahat itu!”; “Suruh masuk Bhayangkari saja! Jangan ikut Bhayangkara!”, dan, “Iya, ganti saja namanya menjadi Deborah atau Yayuk!” Dari kaca jendela, saya melihat polisi itu berjalan menundukkan kepala. Barangkali, ia malu karena seragamnya. Pada waktu lain, saya bertanya kepada Sertu Jumadi, kenapa tidak ada rasa sungkan polisi berpakaian dinas naik kendaraan umum dan tidak bayar. “Kalau setiap kali saya harus bayar, gaji saya tak cukup untuk keperluan sebulan,” kata Sertu Jumadi.

“Memangnya, berapa gaji seorang Sertu?” saya bertanya lagi. Dengan sedikit senyuman ia berujar, “Gaji pokok Rp 97.200, dan uang lauk pauk Rp 49.600. Dengan ini, saya harus membayar iuran Bhayangkari, Asuransi, TWP, Catur Sakti, Dana Sosial Kompi, Tabungan Koperasi, sumbangan Amal Bhakti Pancasila, Amal Bhakti Bhayangkara, dan masih banyak yang lain. Belum lagi kas bon.”

Tetapi, memakai pakaian dinas naik kendaraan umum tetap saja disebut penyelewengan. “Terserah mau disebut apa. Seandainya pun saya menjalankan semprit damai atau lempar korek api di pinggir jalan, itu kan sekadar membuat asap dapur tetap ngebul, bukan untuk menjadi kaya,” ujar Sertu Jumadi lagi.

Saya manggut-manggut memahami. Kemudian, Sertu Jumadi mencolek saya, “Tapi saya enggak pernah naik kendaraan umum dengan seragam, lho. Soalnya, saya polisi lalu lintas, malu sama sopirnya!”

Kembali saya manggut-manggut. Ini memang manusiawi sekali.

*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Forum, tahun 1993.

Sarjana Sosiologi, aktor film, dan pelawak.