Humor di Negara Mayoritas Muslim: Ancaman Pasal Karet dan Pemerintah yang Antikritik

“Pada mulanya, humor berasal dari folklor,” kata Hairus Salim dalam seminar daring yang digelar oleh Jaringan Gusdurian beberapa waktu lalu. Humor tumbuh dalam satu komunitas tertentu. Ia bukan milik bersama. Namun, seiring berjalannya waktu, andil media semakin besar dalam proses penyebarannya. Humor lantas keluar dari lingkungan tempat ia lahir. Di lingkungan antah-berantah itu, humor menjadi objek penghakiman, terkadang dibenci, dan sesekali tidak ditertawakan.

Tragisnya, humor kini mendapat tantangan berlipat. Ketika antah-berantah bernama Indonesia itu dipenuhi masyarakat yang makin puritan dan gampang tersinggung, humor tidak hanya mudah dibenci, ia bahkan menjadi objek teror dan kasus hukum. Lantas, ketika masyarakat kita mengalami kemunduran dalam penerimaan humor, juga kritik, apakah artinya negara hari ini sudah semakin terbuka dengan humor politik dibandingkan era Orde Baru yang represif dulu? Tidak juga!

Kasus bercandaan Ismail Ahmad di Maluku Utara yang membuatnya dipanggil polisi adalah bukti sulitnya negara, melalui instansi-instansinya, menerima kritik lewat medium paling menghibur sekali pun. Hanya karena mengutip humor Gus Dur tentang “tiga polisi jujur”, Ismail sempat dikenakan wajib lapor hingga akhirnya ia menyatakan permintaan maafnya ke media massa. Sesuatu yang tidak diperlukan sebenarnya.

Satu bukti anti-kritik lain adalah munculnya gejala umum yang menganggap bahwa kritik sama dengan subversi. Pihak yang merasa dikritik seringkali membayangkan kritik sebagai keinginan untuk menjatuhkan pemerintah, baik itu melalui forum diskusi, kajian akademik, bahkan humor. Reaksinya tentu bermacam-macam: bisa dengan buzzer, teror langsung, atau penjemputan paksa.

Terkait hal ini, Sakdiyah Ma’ruf menceritakan dengan baik sekali bagaimana dinamika humor di negara-negara demokrasi lain yang katanya tak kalah “mapan dan matang”. Relasi humor dan negara demokrasi yang ada di berbagai belahan dunia setidaknya bisa kita jadikan perbandingan dan parameter seberapa demokratis negara kita sendiri.

Sebut saja Bassem Youssef, komedian, penulis, produser, pembawa acara televisi, sekaligus dokter bedah kelahiran Kairo, Mesir. Setelah menjalani karir dokternya selama 13 tahun, Youssef menemukan titik baliknya saat menjadi relawan medis di berbagai demonstrasi di Tahrir Square. Momentum Arab Spring tersebut membuatnya menyadari betapa pemerintah, melalui aparatnya, sangat represif dan anti-kritik.

Youssef kemudian bertransformasi menjadi seorang penghibur yang kritis melalui humor-humornya. Bahkan setelah jatuhnya Presiden Husni Mubarak, ia tetap lantang melontarkan kritik pada pemerintahan Ikhwanul Muslimin yang naik pasca Arab Spring. Youssef sendiri mulai tampil gemilang saat menjadi pembawa acara televisi “El-Bernameg” (البرنامج), sebuah program berita satire yang sangat digemari di Mesir. Setiap penayangannya, program televisi yang sering memuat kritik politik itu ditonton lebih dari 40 juta orang. Artinya, sekitar setengah dari penduduk Mesir sangat rindu pada hiburan yang mewakili hati mereka.

Namun akhirnya Youssef diasingkan oleh tangan besi pemerintah karena programnya tersebut. Ia kini tinggal di Amerika Serikat dan berkarir di sana. Meski rezim silih berganti, Youssef tetap belum diperbolehkan pulang ke tanah kelahirannya.

Di Amerika Serikat kita juga bisa menjumpai Maz Jobrani dan Kambiz Hosseini, dua komedian asal Iran yang banyak membicarakan situasi demokrasi di negara asalnya, selain juga masalah Islamofobia di AS. Mereka adalah dua dari ratusan orang Iran yang dilarang kembali ke negaranya karena alasan politik. Namun menariknya, para eksil politik tersebut bisa dengan bebas melontarkan kritik di negara pengasingannya, sebuah privilese yang tak akan mereka dapat ketika tinggal di negaranya sendiri.

Misal, dalam sebuah acara bertajuk “Can Iran Take a Joke?”, Kambiz Hosseini mengajak para penontonnya menertawakan kontradiksi ucapan-ucapan para politisi Iran dengan kondisi lapangan yang sebenarnya. Seperti ketika Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif diwawancara oleh Charlie Rose, jurnalis TV AS, ia berkata, “Kami tidak memenjarakan orang-orang hanya karena pendapatnya.” Setelah itu Hosseini pun menunjukkan sebuah daftar nama dan wajah: Majid Tavakoli (mahasiswa), Ahmad Zeidabadi (wartawan), Bahareh Hedayat (mahasiswi), Narges Mohammadi (aktivis HAM), dan sederet nama-wajah lain yang dipenjara karena pernah mengkritik pemerintah.

Mesir dan Iran tidak sendiri. Malaysia juga cukup represif kepada para pengkritiknya. Salah satu kartunis senior Malaysia, Zulkiflee Anwar Haque atau biasa dikenal dengan nama Zunar, telah kenyang merasakan kesewenang-wenangan pemerintahannya. Berkali-kali Zunar dijebloskan ke dalam penjara karena aktivitas politik, dan terlebih karena karya-karyanya yang selalu mengangkat isu-isu politik. Buku-bukunya seperti 1 Funny MalaysiaPerak dalam Kartun, dan Cartoon-O-Phobia dilarang beredar oleh negara dengan alasan “merusak ketertiban umum”. Alasan yang terdengar familiar, bukan?

Ketika sampul majalah Tempo edisi September 2019 menuai kontroversi panjang, Zunar adalah salah seorang kartunis yang ikut urun suara dan memberi dukungan atas nama kebebasan berekspresi. Ia meminta supaya kebijakan editorial Tempo tidak diotak-atik hanya karena kartun bergambar wajah Presiden Jokowi dengan hidung panjang di bayangannya.

Di Amerika Serikat, dinamika humor politik yang berisi kritik agaknya mendapat perlakuan berbeda. Ketika masa pemerintahan Presiden George Bush, dua komedian-satiris Jon Stewart dan Stephen Colbert pernah menempatkan humor sesuai “fitrahnya”, yaitu untuk menjaga kewarasan. Mereka membuat demonstrasi besar bernama “Rally to Restore Sanity and/or Fear” yang dihadiri sekitar 215.000 orang di National Mall, Washington DC dan berjalan dengan lancar. Reli tersebut bertujuan untuk mengkritik pemerintah melalui acara musik dan penampilan humor politik. Sedangkan, hari ini kita mengenal Sarah Cooper, komedian AS yang rajin membuat parodi perkataan Presiden Donald Trump. Sesuatu yang sepertinya sangat beresiko kalau ditiru di Indonesia.

Di seberang benua yang lain, kita bisa menjumpai grup lawak paling berani dan sangat lucu bernama The Chaser. Kelompok komedian asal Australia ini mempunyai banyak program bermaterikan humor politik yang ditayangkan di ABC, stasiun televisi publik yang didanai oleh pemerintah melalui pajak masyarakat. Suatu kali, dalam salah satu programnya berjudul “The Chaser’s War on Everything” mereka nge-prank pemerintah. Sasarannya adalah kritik pada anggaran pengamanan yang sangat besar saat konferensi APEC di Sydney, sehingga harus memotong anggaran publik untuk kebutuhan masyarakat.

The Chaser pun ingin “menguji” tingkat keamanan konferensi APEC tersebut. Mereka kemudian menyewa mobil limusin dan menempel bendera Kanada pada mobilnya (padahal Kanada bukan negara anggota APEC). Mereka juga membawa beberapa pengawal berjas yang mengiringi limusin supaya terlihat lebih resmi. Semua tim tersebut memakai identitas palsu untuk mengelabui petugas. Singkatnya mereka berhasil melewati ring pengamanan ketiga dan kedua dengan lancar. Namun ketika memasuki ring satu, salah seorang anggota The Chaser keluar dari limusin dengan memakai kostum Osama bin Laden. Setelah itu barulah polisi mulai curiga dan menghentikan aksi mereka.

Alhasil, mereka dipenjara selama dua sampai tiga hari. Namun dakwaan pada mereka bukan terkait dengan konten kritiknya, melainkan semata-mata karena mengganggu ketertiban umum dan pemalsuan kartu identitas. Hebatnya, beberapa minggu berselang setelah kejadian itu, videonya tetap tayang di ABC.

Di Indonesia, mustahil sekali melakukan apa yang dilakukan The Chaser. Bahkan membayangkannya saja sulit. Pun dengan mengadakan reli besar-besaran berisi pertunjukan musik dan penampilan komedi yang kritis kepada pemerintah seperti “Rally to Restore Sanity and/or Fear”. Kita sangat asing dengan itu semua. Kita lebih akrab dengan pembungkaman kritik ala Mesir, pemenjaraan para aktivis ala Iran, atau pembredelan buku ala Malaysia.

Lantas, apa yang sebenarnya negara kita butuhkan supaya tidak selamanya terjebak dalam “pura-pura demokrasi”? Jawabnya adalah supremasi hukum!

Amerika Serikat dan Australia mampu menerima humor politik yang kritis pada negara tidak lain karena pemerintahnya menegakkan hukum secara adil. Bahwa kebebasan berekspresi benar-benar dijamin oleh negara, bukan sekadar slogan kosong belaka. Tidak ada jebakan undang-undang dan pasal karet yang bisa dengan mudah digunakan orang-orang berkepentingan untuk membungkam suara-suara kritis. Jika hal ini terpenuhi, saya kira Indonesia bisa dipandang sebagai negara demokrasi yang bermatabat, dan yang tak kalah penting, kita semua bisa menjaga kewarasan tanpa takut humor dibungkam.

Begitu.

Sumber: islami.co

Esais. Tinggal di Yogyakarta.