KH Sahal Mahfudz: Tak Perlu Fatwa tentang Korupsi

Banyak masyarakat awam yang tidak tahu menahu apa fungsi dan kedudukan fatwa yang telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Faktanya, sampai hari ini, fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan MUI kerap kali menuai kontroversi. 4 tahun silam, wartawan Tempo pernah mewawancarai almarhum KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, yang notabene pernah menjabat sebagai ketua MUI. Kiai Sahal menyatakan bahwa “Fatwa MUI itu bukan satu-satunya fatwa. MUI juga bukan lembaga operasional seperti NU atau Muhammadiyah, yang bisa menggerakkan anggotanya. Jadi, fatwa MUI tidak mengikat.”

Berikut ini transkrip wawancara bersama KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, Kajen-Pati, pada tanggal 30 Juli 2012, yang telah diterbitkan oleh Tempo edisi 22/41.

”Tak Perlu Fatwa Tentang Korupsi”

Selama Ramadan ini, pada pukul 8-10 pagi, ruang tamu dan teras rumah KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz penuh sesak oleh santri dan masyarakat yang mengikuti ngaji pasaran. Ini adalah tradisi mengkaji kitab kuning di pesantren yang dibacakan oleh kiai. Hampir 400 orang mengikuti ngaji pasaran Kiai Sahal. Pada bulan puasa ini, yang dikaji adalah kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Ghozali.

Selama dua jam tanpa henti, kiai yang juga Rais Am Syuriah (ketua umum lembaga permusyawaratan) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu membaca kitab dan menerjemahkannya kata demi kata dalam bahasa Jawa. Suaranya masih lantang, meski sesungguhnya dalam beberapa tahun terakhir kesehatan kiai 75 tahun ini sering terganggu. Ngaji posonan tersebut juga disiarkan secara live streaming oleh situs resmi NU.

Sore hari selepas asar, duduk di kursi malas di ruang tengah rumahnya, Kiai Sahal menghabiskan waktu menjelang berbuka sambil menerima tamu. Mengenakan baju lengan panjang abu-abu kotak-kotak, dipadu dengan sarung putih dan peci putih, kesehatan kiai yang dikenal dengan gagasan fiqh sosial ini terlihat menurun. Namun gaya bicara dan bahasa tubuhnya tetap tegas. Gaya bicara seperti ini juga yang muncul tatkala dia berbicara dengan Sohirin dan fotografer Budi Purwanto dari Tempo.

Sahal menyampaikan keprihatinannya atas kondisi umat Islam Indonesia, tentang intoleransi dan kekerasan, peran ulama, serta fatwa Majelis Ulama Indonesia. Namun dia enggan berbicara tentang politik. “Politik itu sensitif. Kita diskusi selain politik saja,” ujarnya sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi.

Islam di Indonesia belakangan terkesan garang karena tindakan beberapa organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan Islam.

Sangat disayangkan. Mereka mengatasnamakan Islam tapi belum mengerti apa sesungguhnya Islam. Islam hanya dimaknai secara sepotong-sepotong. Saya menduga keberadaan mereka karena didorong oleh kepentingan tertentu, bisa kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Sebenarnya kelompok semacam itu sudah lama ada. Hanya, dulu tidak semencolok sekarang. Sebelumnya, keberadaannya tidak pernah dipikirkan.

Lalu kenapa para ulama besar tidak mengecam mereka kalau memang tidak setuju? Panggil pemimpinnya, minta mereka membubarkan diri.

Agak susah. Selama ada kepentingan tertentu yang mendukungnya, mereka akan tetap ada. Tapi, jangan khawatir, masyarakat saat ini cukup kritis dan bisa menilai mana yang betul-betul berjuang untuk agamanya, mana yang hanya bertindak untuk kepentingan pribadi.

Selain garang, umat Islam Indonesia belakangan terkesan tidak toleran. Tidak toleran pada agama lain, juga pada orang Islam sendiri yang berbeda paham.

Saya sudah lama berpikir dan prihatin akan hal ini. Tapi sesungguhnya masalah kerukunan antarumat beragama dan antarumat seagama itu terletak pada umatnya, bukan pada agamanya. Ajaran agamanya tetap bagus. Jadi, problemnya ada pada orangnya, bukan ajarannya.

Tentu saja begitu, tapi kenapa hal tersebut terjadi?

Gerakan yang mengarah pada intoleransi disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap agama. Hal ini diperkuat oleh budaya setempat. Misalnya kasus yang menimpa penganut Syiah di Madura. Pangkal soalnya bukan ajaran agama, melainkan karena masalah keluarga dan kultur setempat yang memang keras.

Kalau soalnya adalah pemahaman agama yang lemah, bukannya di antara yang memerintahkan kekerasan itu justru habib dan ustad?

Intoleransi dan kekerasan hanya dilakukan oleh orang yang belum mampu memahami agama Islam secara utuh. Tidak ada kiai yang mudah menuduh seseorang kafir, karena mengafirkan orang lain tanpa alasan yang kuat juga dosa. Jangan sampai menyalahkan orang lain karena dilandasi rasa benci. Jangan pula mudah menyalahkan orang lain karena menuduh perbuatan orang lain tidak sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Biasanya justru orang yang belum paham tentang Al-Quran dan hadislah yang mudah menyalahkan yang lain dan cenderung menyalahkan pihak-pihak yang tak sepaham dengannya.

Selain itu, ada beberapa pihak terjebak pada pemaksaan pemurnian ajaran Islam. Bagi mereka, Islam harus kembali pada Al-Quran dan hadis. Pertanyaannya, sejauh mana mereka memahami Al-Quran dan hadis.

Bagaimana dalam soal Ahmadiyah, yang kerap menjadi korban kekerasan?

Beberapa ulama menyarankan agar penganut Ahmadiyah keluar dari Islam, karena ajarannya dianggap menyimpang dari Islam. Jadi, Ahmadiyah menjadi agama sendiri. Tentunya pengikut Ahmadiyah enggan menerimanya. Yang penting adalah janganlah perbedaan pendapat itu berujung pada kekerasan, karena justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang rahmatan lil ‘alamiin.

Selain soal intoleransi, apa problem terbesar umat di Indonesia?

Muslim di Indonesia memang terbesar di dunia. Sayangnya, masih sebatas kuantitas, belum kualitas. Belum ada usaha bersama untuk menciptakan umat yang lebih berkualitas.

Penyebab kualitas yang buruk?

Pendidikan. Kunci utama untuk memperbaiki kualitas adalah perbaikan pendidikan. Pendidikan yang tak hanya sesuai dengan kurikulum, tapi mengajari manusia menjadi pribadi yang utuh. Pendidikan di sekolah sekarang hanya mengejar kurikulum dan ijazah. Semestinya, tugas guru adalah mengajarkan sesuatu yang komprehensif.

Siapa yang salah?

Jangan salahkan orang lain, salahkanlah diri sendiri. Sekarang orang cenderung pada perilaku hubbu ad-dunya, yakni mengejar kemewahan dunia secara berlebihan. Karena sibuk mengejar kemewahan, kita melupakan pendidikan keluarga.

Apa pengaruh pendidikan yang buruk pada kualitas beragama?

Jelas berpengaruh. Orang kemudian beragama karena faktor budaya. Misalnya, orang kaya pergi haji dan umrah berkali-kali tapi dia tak pernah bersedekah bagi tetangganya yang fakir. Beragama hanya karena sanjungan orang, belum memahami esensi agama yang sesungguhnya. Jika agama dipahami secara benar, dan pendidikan disampaikan secara benar, kita tak akan terjebak pada krisis yang multidimensi.

Apakah lemahnya pemahaman agama itu artinya peran ulama juga melemah?

Di kampung-kampung, ulama tetap menjadi tokoh sentral. Kalau Anda lihat di daerah atau desa, ulama atau kiai sangat repot. Itu karena hampir semua urusan umat menjadi urusan kiai. Itu yang benar. Makanya tak benar jika ada anggapan ulama atau kiai hanya mengurusi ngaji. Memang tidak semua urusan bisa diselesaikan oleh kiai, karena ulama juga mempunyai keterbatasan.

Anda sendiri?

Selain mengurusi pendidikan, saya memikirkan perekonomian dan kesehatan masyarakat. Kami mendirikan bank perkreditan rakyat sebagai solusi permodalan masyarakat yang tidak memberatkan. Kami juga mendirikan rumah sakit. Jadi, idealnya kiai tak hanya memberikan pengajian, tapi juga harus terlibat menyelesaikan problem masyarakat.

Tapi, sebagai Ketua MUI, Anda tentu tahu banyak orang tak lagi menuruti fatwa yang dikeluarkan oleh ulama di organisasi itu.

Fatwa MUI itu bukan satu-satunya fatwa. MUI juga bukan lembaga operasional seperti NU atau Muhammadiyah, yang bisa menggerakkan anggotanya. Jadi, fatwa MUI tidak mengikat.

Kalau tidak mengikat, kenapa difatwakan?

Pertanyaannya, kenapa harus mengikat? Mengikat dan tidak itu soal keyakinan. Kita juga tidak tahu apakah Allah menerima atau tidak hasil fatwa itu, ha-ha-ha.… Jadi, fatwa MUI hanya bersifat imbauan moral.

Atau mungkin fatwa MUI kurang bergigi karena tidak menyentuh persoalan umat yang lebih penting. Misalnya, tak adanya fatwa tentang korupsi.

Tak perlu ada fatwa tentang korupsi. Sudah banyak yang memberi fatwa dan komentar mengenai bahaya korupsi. Kalau MUI mengeluarkan fatwa tentang korupsi, itu ketinggalan dan keterlaluan. Sama halnya MUI memberi fatwa tentang hukum mencuri. Mau dikatakan apa pun, maling ya tetap saja maling.

Fatwa MUI yang melarang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme Islam juga mengundang banyak reaksi?

Plural adalah sunatullah yang tak bisa dihindari. Dengan pluralisme, kita banyak belajar. Tapi jangan terlalu plural. Sejak zaman Nabi, plural itu beda, tapi kalau terlalu beda juga tidak baik. Jangan lupa, sebelum kita berbicara banyak tentang pluralisme, fondasi kita tentang pemahaman agama dan kebangsaan sudah harus kokoh. Jika tidak, kita akan terbawa arus yang kebablasan. Seperti halnya demokrasi itu bagus, tapi kalau terlalu liberal, tidak bagus.

Omong-omong, Pak Kiai kemarin mulai puasa hari apa?

Saya tak pernah menentukan sendiri. Saya selalu ikut pemerintah. Enak, ada yang tanggung jawab.

________

KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz. Tempat dan tanggal lahir: Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937. Pendidikan: Pesantren Bendo, Kediri, Jawa Timur; Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah; Tiga tahun belajar di Mekah. Pada 1951-1953 mengikuti kursus ilmu umum. Selain sebagai Pengasuh Pesantren Maslakhul Huda Kajen-Pati, semasa hidupnya, Kiai Sahal penah menjabat sebagai Rais Am PB NU dan Ketua MUI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *