Dalam lima tahun terakhir, Yogyakarta mungkin kehilangan sebagian keistimewaannya. Bukan hanya karena suhu yang kian panas hingga mencapai 35°C—fenomena yang kerap dikaitkan dengan Urban Heat Island dan Urban Sprawl—tetapi juga karena semakin sempitnya ruang bagi keberagaman etnis, khususnya bagi etnis Austromelanesia.
Di kota ini, muncul fenomena papuafobia yang perlahan menjalar ke berbagai lapisan masyarakat, hingga menjadi bagian dari alam bawah sadar.
Papuafobia bukan sekadar rasa takut terhadap orang Papua. Lebih dari itu, istilah ini mencerminkan pola pikir yang memandang Papua dan segala yang berhubungan dengannya sebagai sesuatu yang “bermasalah,” primitif, atau bahkan ancaman bagi keutuhan bangsa.
Namun, mengapa istilah ini bisa muncul? Apa yang sebenarnya dialami masyarakat Papua sehingga stigma seperti ini begitu kuat melekat? Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan pembahasan yang mendalam dan reflektif, terlebih untuk memahami bagaimana fenomena ini memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Diskusi untuk Papua Damai
Saya beruntung mendapat sedikit gambaran atas pertanyaan itu melalui diskusi bulanan Institut DIAN/Interfidei bertajuk Apa dan Bagaimana Cara Terbaik untuk Papua Damai?
Diskusi yang berlangsung pada Selasa, 19 November 2024, ini menghadirkan Frederika Korain, atau Rika, seorang advokat hak asasi manusia asal Papua sekaligus anggota KPKC Keuskupan Jayapura, sebagai pembicara. Acara yang dipandu oleh Pdt. A. Elga J. Sarapung, Direktur Institut DIAN/Interfidei, tersebut diselenggarakan secara hybrid.
Rika membuka pembahasan dengan isu ekosida—penghancuran lingkungan secara masif yang terjadi di Papua. Ia menjelaskan bahwa ada tiga masalah besar yang saling terkait di Bumi Cenderawasih: ekosida, etnosida, dan genosida. Ketiga persoalan ini membentuk siklus yang terus berulang dan membayangi kehidupan masyarakat Papua.
Bagaimana Ekosida Terjadi di Papua?
Ekosida di Papua terjadi melalui eksploitasi besar-besaran terhadap alam, yang tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam budaya dan kehidupan masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate seluas dua juta hektare di Papua Selatan. Proyek ini membawa kekhawatiran mendalam bagi sejumlah masyarakat adat.
Selain ancaman terhadap perampasan ruang hidup, mereka kini juga merasa diteror dengan kehadiran pasukan TNI yang ditempatkan di wilayah mereka.
Tanah ulayat yang selama ini dikuasai oleh masyarakat setempat kini benar-benar hilang akibat proyek yang sedang dipersiapkan, yang mencakup penanaman tebu untuk bioetanol. Proyek ini datang tanpa melibatkan pengetahuan atau persetujuan dari masyarakat adat. Meskipun masyarakat setempat jelas-jelas menentang dan memprotes tindakan ini, sayangnya protes mereka sama sekali tidak digubris.
Menurut Rika, proses perampasan tanah ini tidak hanya menghancurkan hak hidup masyarakat, tetapi juga merusak hubungan mereka dengan alam.
Dari Ekosida ke Etnosida: Kehancuran Budaya Papua
Dampak ekosida tidak berhenti pada kerusakan lingkungan. Rika menjelaskan bahwa istilah etnosida digunakan untuk menggambarkan kehancuran budaya yang dialami oleh masyarakat Papua. Proses ini berawal dari eksploitasi lingkungan yang telah berlangsung sejak kehadiran PT Freeport Indonesia.
Aktivitas tambang di Papua menghancurkan hutan-hutan di dataran rendah, sementara limbah tailing yang dibuang merusak sungai-sungai, bahkan mencemari laut lepas, menghancurkan ekosistem yang ada.
Kerusakan alam di Papua terus berlanjut. Hutan-hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat adat terus dihancurkan, terutama akibat penebangan liar yang masif di daerah pesisir. Meski aktivitas illegal logging ini sedikit berkurang, dampaknya masih terasa sangat mendalam hingga hari ini.
Kerusakan hutan berdampak langsung pada hilangnya sumber pangan vital, seperti sagu dan hewan buruan, yang selama ini menjadi sandaran hidup masyarakat. Ketergantungan mereka terhadap alam sangat kuat, terutama bagi mereka yang tinggal di pesisir.
Rika menegaskan bahwa kerusakan lingkungan ini juga memengaruhi kesehatan masyarakat Papua. Kehilangan sumber pangan menyebabkan perubahan pola makan yang berdampak besar.
“Ketika dia (orang Papua) berubah dari makan sagu, papeda, kemudian makan nasi, itu dampaknya besar sekali. Sekarang kita mengalami penyakit-penyakit yang sebelumnya tidak dikenal, seperti diabetes dan lain-lain,” ujarnya.
Bagi masyarakat Papua, alam bukan sekadar “supermarket” yang menyediakan makanan, tetapi juga penghubung dengan leluhur. Tanah dianggap sebagai ibu, dan tempat-tempat suci seperti gunung serta hutan memiliki nilai sakral.
Dalam budaya Papua, lingkungan sekitar menjadi sumber identitas dan asal-usul. Misalnya, beberapa marga suku Marind seperti Gebze terhubung dengan kelapa, sementara Samkakai berasal dari kanguru. Ketika unsur-unsur alam ini hilang, masyarakat kehilangan bagian penting dari kehidupan dan budaya mereka—itulah yang disebut etnosida.
Di Mana Letak Genosidanya?
Rika menjelaskan bahwa genosida di Papua tidak selalu berupa kekerasan fisik seperti pembantaian besar-besaran, melainkan genosida budaya yang lebih halus namun tetap mematikan. Contohnya, membangun rumah adat di Jayapura sering kali dianggap melawan NKRI. Segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya Papua kerap dicap primitif, terbelakang, dan tidak sejalan dengan negara.
Pandangan ini melahirkan kebijakan-kebijakan yang menghapus jejak budaya Papua secara sistematis, seperti memaksakan padi sebagai makanan pokok, padahal masyarakat Papua secara tradisional mengandalkan sagu dan hasil alam lainnya.
Ketika alam Papua rusak, kebudayaan ikut hancur, dan perlahan masyarakatnya pun tergerus. Selama 10-20 tahun terakhir, populasi orang asli Papua terus menurun. Di daerah seperti Merauke dan Sorong, misalnya, jumlah orang Papua hanya sekitar 10%, sementara mayoritas penduduk adalah pendatang.
Lingkaran Setan dan Ketakutan
Ada pandangan bahwa Papua sering dianggap sebagai momok oleh pengambil kebijakan. Papuafobia tidak hanya terjadi di level kebijakan, tetapi juga menyebar di tengah masyarakat. Ketakutan terhadap Papua sering kali muncul dari ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman mendalam tentang budaya dan masyarakat Papua.
Ketika alam Papua rusak, kebudayaan ikut hancur, dan masyarakatnya perlahan terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Akibatnya, generasi muda merasa frustrasi, yang berujung pada masalah sosial, seperti konsumsi minuman keras sebagai pelarian. Kondisi ini semakin memperkuat stereotip negatif yang pada akhirnya melahirkan papuafobia itu sendiri.
Ini menciptakan lingkaran setan yang hanya bisa dihentikan dengan mengatasi sumber utamanya: kerakusan.
Menghentikan Lingkaran Setan Papuafobia
Pada akhirnya, papuafobia tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh subur karena ketidaktahuan, penyeragaman budaya, dan kerakusan yang mengabaikan keberagaman. Mengatasi masalah ini tidak cukup hanya dengan mengentaskan eksploitasi sumber daya, tetapi juga menumbuhkan empati, pemahaman, dan penghormatan terhadap identitas Papua.
Tanpa langkah ini, lingkaran setan ini akan terus berulang, membawa dampak yang lebih besar bagi masyarakat Papua dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.