Refleksi Hari Guru: Glorifikasi Profesi vs Realitas Kesejahteraan

JOMBANG – “Refleksi Hari Guru: Merdeka Belajar, Sudahkah Gurunya Merdeka?” menjadi tema podcast Ruang Bicara GUSDURian Jombang pada 25 November 2024 dalam peringatan Hari Guru Nasional. Acara ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Ketua KGBN (Komunitas Guru Belajar Nusantara) Jombang Nadhrah Jauharah dan Pimpinan Redaksi Majalah Suara Pendidikan Arief F. Budiman.

Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) bersama GREAT Edunesia dari Dompet Dhuafa telah mengadakan survei kesejahteraan guru di Indonesia pada pekan pertama Mei 2024, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Survei ini dilakukan secara daring, melibatkan 403 guru sebagai responden dari 25 provinsi. Sebanyak 291 responden berasal dari Pulau Jawa, sementara 112 lainnya dari luar Jawa. Para responden terdiri atasi berbagai status kepegawaian: 123 guru PNS, 118 guru tetap yayasan, 117 guru honorer atau kontrak, dan 45 guru PPPK.

Peneliti IDEAS mengungkap, survei tersebut menunjukkan bahwa 42 persen guru memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan dan 13 persen di antaranya bahkan berpenghasilan kurang dari Rp 500 ribu per bulan. Khusus untuk guru honorer/kontrak, tingkat kesejahteraan tampak lebih memprihatinkan, dengan 74 persen di antaranya berpenghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan dan 20,5 persen dari mereka hanya menerima penghasilan kurang dari Rp 500 ribu per bulan.

“Pendidikan hari ini tidak berdiri sendiri. Bicara regulasi, Kurikulum 13, yang terbaru kurikulum merdeka, tidak ada yang menjadi sempurna. Tujuannya sempurna namun praktek di lapangan perlu dikoreksi,” papar Arif.

Menurutnya, ada pro dan kontra dengan kurikulum merdeka. Ibarat kita dalam penjajahan, lanjutnya, lalu tiba-tiba merdeka sehingga kita kaget. Tiba-tiba ada kurikulum merdeka adalah hal baru dan asing.

“Ada juga P5, ada project yang bertujuan siswa bereksplorasi, tetapi tetap ada koreksi. Kita tetap belum menemukan gol ini sebagai yang terbaik,” lanjutnya.

Arief memandang bahwa anggaran pendidikan di pemerintahan dianggap sudah sesuai dan kompromis, namun faktanya di tingkat daerah tidak bisa menjawab kegelisahan guru, khususnya honorer. Sebagai segmen media pendidikan, temuan di lapangan menjadi potret sendiri.

“Misal, soal plot penempatan guru. Ada sekolah butuh guru olahraga, tapi ditempatkan guru mata pelajaran lain. Sekolah malah tidak dapat guru olahraga,” pungkas Arief.

Sementara itu, Nadhrah menceritakan pengalamannya dalam belajar.

“Saya mengalami penjajahan belajar karena gak bisa fokus. Kita semua sekolah tapi gak menjamin kita semua belajar. Saya gak mau mereka mengajar dengan cara lama,” ungkapnya.

Lebih lanjut, merdeka belajar di KGBN menjadi self regulated learning murid untuk bertanggung jawab, cara belajar apa, evaluasi maunya apa. Guru jadi fasilitator dan katalisator.

Berbicara kesejahteraan guru, penggerak GUSDURian Jombang ini menyitir sebuah kalimat glorifikasi “guru hebat”, “pahlawan tanpa tanda jasa” yang semuanya itu menurutnya semu.

“Glorifikasi membuat guru dianggap serba bisa, maka kemudian dikasih beban administrasi. Bikin RPP, suruh ngobrol sama murid apa kesukaan mereka, sehingga waktu habis untuk administrasi. Akibatnya guru dianggap tidak perlu kesejahteraan karena sudah diglorifikasi,” lanjutnya.

Terkait rencana kenaikan gaji guru oleh pemerintahan yang baru, dirinya berharap hal itu bukan isapan jempol belaka. Sebab persoalan kesejahteraan guru sampai hari ini masih menjadi PR pemerintah.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jombang, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *