Di Antara Bekas Luka dan Selfie: Dilema Wisata di Lereng Merapi

KABUT tebal menyelimuti Teras Merapi, menyatu dengan raungan angin kencang dan derasnya hujan yang tak kenal ampun. Tenda-tenda berjejer rapi di luar, menggigil di bawah hantaman cuaca liar. Di dalam pendopo tempat kami berteduh, suara angin menderu, berdesir melalui celah dinding bata.

Air perlahan merembes dari jendela swing dengan kusen aluminium yang tak lagi rapat, sementara tetesan dari atap genteng bocor menggenangi tikar plastik yang sudah terkoyak di beberapa sisi.

Udara dingin menusuk, terasa asing bagi tubuh yang terbiasa terbakar panas, tercekik polusi udara, dan terhantam polusi suara. Suhunya sekitar 19°C, menggigit hingga ke tulang-belulang, membawa sunyi yang nyalang.

Sabtu, 30 November 2024. Beberapa hari setelah Auni menikah, luka di hati masih terasa basah, seperti tanah yang baru saja disiram hujan yang membuncah. Saya memandang sekitar, mencari makna di tengah gigil dan kabut yang enggan memudar.

“Wah, Mahéng akamsi! Orang-orang pakai jaket tebal, dia cuma pakai kaos,” celetuk Mas Jay sambil terkekeh.

Saya tersenyum tipis. Ya, saya hanya mengenakan t-shirt dongker bertuliskan “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi” dalam bahasa Arab. Kata-kata itu terasa berat, seperti membawa beban yang sulit dicerna, tetapi entah kenapa, saya memilih mengenakannya hari ini.

Tulisan itu mengilik pikiran saya, merenungkan apa arti keadilan yang lebih luas, tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk belantara.

Angin terus berbisik, membawa serta pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik. Kami, manusia, sering kali lantang bersuara tentang keadilan sosial, namun bagaimana dengan keadilan ekologis?

Alam, yang telah memberi begitu banyak, sering kali menjadi korban keegoisan manusia!

Banyak yang mendaku mencintai alam, namun tindakan mereka justru berkata sebaliknya. Sampah berserakan di sekitar tenda, setelah alam dijadikan panggung untuk pamer diri. Tempat berfoto dengan latar megah, namun tanpa benar-benar menghormati dan merawatnya.

Pola pikir antroposentris, yang memandang manusia sebagai pusat dari segalanya, telah membuat kita lupa bahwa alam bekerja dalam harmoni yang saling terkoneksi.

Seperti halnya gawai yang selalu digenggam untuk memotret keindahan alam, satu komponen yang rusak bisa membuat perangkat melambat, bahkan berhenti berfungsi. Begitu pula dengan alam; ketika satu pohon ditebang, keseimbangan sistemnya mulai pincang. 

Lucunya, saat alam menunjukkan ketidakseimbangan dan berang, manusia menyebutnya sebagai bencana dengan lantang.

Ketika saya berbicara dengan tumbuhan atau menyebut bahwa pohon-pohon bisa saling berkomunikasi, banyak yang menganggap saya gila. Padahal, penelitian yang diterbitkan di Nature Communications Journal pada 2023 mengungkap bahwa tumbuhan memang dapat berinteraksi satu sama lain. 

Studi bertajuk Green Leaf Volatile Sensory Calcium Transduction in Arabidopsis, hasil kolaborasi lima peneliti Jepang, menemukan bahwa tanaman memang dapat berinteraksi satu sama lain meski secara subtil.

Jadi, apa sebenarnya dampak dari pola pikir antroposentris ini? Salah satunya adalah kecenderungan manusia untuk menganggap alam sebagai sesuatu yang tidak “hidup,” sehingga merasa bebas mengeksploitasinya. 

Contohnya, pembukaan lahan besar-besaran untuk proyek food estate atau pembangunan area perumahan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.

Hingga malam merambat tiba, bebatuan vulkanik berwarna kelabu di tubuh Merapi, tetap tersembunyi di balik selimut kabut tebal. Keheningan yang menggantung di udara terasa menelan segalanya, menyisakan saya dan pikiran saya sendiri.

Kabut ini, seperti amarah alam yang tak dimengerti manusia, mengingatkan bahwa ada banyak keadilan yang masih harus diperjuangkan, tidak hanya untuk manusia, tapi juga bagi bumi yang telah lelah memberi. 

Sebab itu saya sering gundah, apakah akhir tahun 2024 ini akan menjadi penutup yang indah, atau justru sebuah pengingat yang penuh resah?

*****

SEPENGGALAH setelah menghangatkan tubuh dengan semangkuk soto, pada Minggu, 1 Desember, kami membuka bulan baru di akhir 2024 dengan volcano tour. Sekitar delapan belas jeep tangguh, meski sudah berumur, siap mengantarkan kami menuju beberapa destinasi.

Seperti halnya kebiasaan masyarakat urban yang selalu tak bisa lepas dari ponsel, kami pun tak ketinggalan, sibuk bermain lensa untuk menikmati setiap sudut yang bisa dibingkai.

Destinasi pertama kami adalah Museum Mini Sisa Hartaku, atau The House of Memory di Jalan Petung Merapi, Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. 

Di sini, memori tentang bencana alam dan letusan Gunung Merapi tersimpan dengan jelas. Salah satu sopir jeep menunjukkan sebuah jam yang terbakar dan berhenti berfungsi. Jam tersebut menunjukkan waktu erupsi Merapi pada hari Jumat, 5 November 2010, pukul 12.05 dini hari. 

Erupsi ini disertai dengan suara menggelegar, gempa vulkanik, serta hujan kerikil dan abu yang menambah kengerian.

Dari halaman depan Museum Mini Sisa Hartaku, berdasarkan tulisan di reruntuhan, kami diberitahu bahwa bangunan tua ini dulunya adalah rumah Kimin dan Wati.

Koleksi yang ada di dalamnya merupakan sisa-sisa harta yang rusak akibat erupsi Gunung Merapi. Barang-barang yang rusak, seperti televisi dan radio yang meleleh, rangka sepeda dan motor, ember, jam dinding, gamelan, hingga rangka hewan ternak, ditempatkan dengan rapi di beberapa sisi museum.

Selain itu, foto-foto saat letusan juga dipajang, membawa kita seakan kembali ke waktu itu, merasakan ketegangan dan kengerian erupsi yang menghancurkan dan menewaskan hingga 242 orang.

Di dinding museum juga terukir kalimat-kalimat yang menyentuh hati. Ada yang penuh kepasrahan, seperti “Habis sudah semua”, ada pula yang sarat makna filosofis, seperti “Merapi tak pernah ingkar janji”.

Namun, yang paling menggugah adalah kalimat yang seolah-olah berasal dari gunung itu sendiri: ‘Gunung Merapi meminta maaf jika laharnya ada yang menabrak, menyeret, memusnahkan dan sebagainya sebab menghalangi aliran lahar panas.’

Kalimat itu membuat saya merenung. Benar, Merapi hanyalah sebuah gunung berapi yang melakukan apa yang seharusnya dilakukannya. 

Lahar panas mengalir mengikuti jalur alamiahnya. Justru kita sebagai manusia yang sering kali lupa diri, membangun pemukiman di tempat yang seharusnya tidak ditempati. Kita yang mengusik keseimbangan alam dan kemudian mengeluh ketika alam memberikan balasannya. 

*****

SETELAH puas berswafoto di museum, para sopir jeep membawa kami menuju Bukit Triangulasi, yang terletak di kawasan The Lost World Park. Bukit ini menandai batas terakhir di mana manusia diizinkan tinggal di lereng Merapi. Setelah wilayah ini, tidak ada yang diperbolehkan membangun rumah atau menetap sebab alasan keselamatan.

Di puncaknya, berdiri tugu batu setinggi 70 cm dengan simbol silang bertitik dua, penanda wilayah rawan bencana. Tugu ini, yang sudah ada sejak era kolonial, menegaskan larangan tinggal di area berbahaya tersebut.

Bukit Triangulasi, dengan ketinggian sekitar 70 meter, dikelilingi berbagai spot foto seperti rumah hobbit, miniatur Gunung Merapi, dan tulisan ikonik Bukit Triangulasi. Di puncaknya terdapat pendopo besar yang menaungi tugu batu, menjadi tempat wisatawan beristirahat setelah mendaki anak tangga yang cukup curam.

Kami hanya singgah beberapa jenak. Bagi saya, Bukit Triangulasi terasa terlalu dibangun, menyerupai banyak spot foto lain dengan lanskap hutan. Konsepnya tak lepas dari kapitalisasi dan eksploitasi ekologis, dengan gardu pandang, flying fox, dan latar vegetasi tropis yang lebat.

Bunker Kaliadem di Kepuharjo, Kapanewon Cangkringan, Sleman, menjadi destinasi terakhir dalam volcano tour kami. Dibangun sekitar tahun 2000-an oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, bunker ini awalnya dirancang sebagai tempat perlindungan dari awan panas Gunung Merapi.

Namun, bunker ini juga menyimpan kisah tragis. Pada 14 Juni 2006, Gunung Merapi meletus dahsyat, menyemburkan awan panas atau “wedhus gembel” yang menutupi bunker. Dua relawan yang berlindung di dalamnya ditemukan meninggal akibat panas ekstrem yang menyelimuti ruang sempit berukuran 7 meter panjang, 2,5 meter lebar, dan 2,5 meter tinggi, meskipun bunker ini dilengkapi ventilasi dan pintu besi.

Dalam perjalanan pulang, salah satu teman saya tiba-tiba berceletuk, “Mengapa bekas bencana menjadi hiburan untuk manusia?” Pertanyaan itu, sederhana namun menusuk, menjadi penutup perjalanan kami kali ini, menyisakan ruang untuk merenung di tengah deru jeep yang melaju turun.

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *