Tamasya Sejarah di Sumur Kematian: Perjalanan Dokumenter bersama Penyintas 65

Suatu sore ketika aku mengobrol dengan teman-teman tentang program terdekat Komunitas GUSDURian Jogja, seseorang mengirimiku tiga pesan melalui sambungan WhatsApp.

Pesan pertama menanyakan apakah aku ada kegiatan di akhir pekan? Pesan kedua  menyampaikan bahwa dua sampai lima orang dari penggerak komunitas diminta terlibat sebagai pendamping lansia dan menjadi talent dalam produksi Memorial Documentary Film yang membahas isu ‘65 (baca: pemberantasan PKI). Pesan ketiga berisi rincian waktu dan lokasi titik kumpul dan lokasi syuting serta pertanyaan tentang apakah aku bersedia untuk terlibat? Ini sungguh menarik bagiku, tapi hari Minggu sudah ada jadwal magang.

Sejenak aku berpikir untuk memilih yang mana. Di satu sisi aku ingin mendapatkan pengalaman baru dan keluar sejenak dari riuh Kota Jogja, setidaknya menepi sejenak ke Gunungkidul yang menjadi lokasi produksi film ini. Tapi di sisi lain aku harus bertanggung jawab dengan magangku.

Kebimbanganku akhirnya sirna ketika mendapat kabar bahwa pertemuan magang hari Minggu diliburkan. Keputusanku bulat. Aku menyampaikan kesediaanku untuk mengikuti produksi film tersebut.

Minggu pagi, aku nyalakan Google Maps dan memasang wireless headset agar aku tak harus menatap layar gawai demi memastikan rute yang ku tempuh benar. Ya, meski sudah dua tahun di Jogja, aku masih perlu untuk menggunakan maps ke mana pun.

Sekitar pukul 07.00, aku memacu motorku dari Kotagede ke Wirobrajan tepatnya di Jogja National Museum. JNM menjadi titik kumpul para lansia dari Pagupon (Komunitas Penyintas PKI Sleman), Kulonprogo, tim Beranda Rakyat Garuda, Sanata Dharma, tim Memorial, Taring Padi, RUANG, tim media, LBH Jogja, Warung Arsip, alumni sejarah UGM, CRCS, dan GUSDURian.

Kedatanganku di JNM bertepatan dengan datangnya tiga bus yang akan membawa rombongan simbah-simbah lansia beserta tim pendukung film dokumenter. Para simbah menjadi orang-orang yang penting dalam pengambilan film dokumenter ini karena lansia yang dilibatkan merupakan saksi dan korban dari tragedi ‘65 berupa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung komunisme di Indonesia.

Dari beberapa lansia yang ditanya, rata-rata usia mereka sudah di atas 80 tahun. Perkara usia lansia ini sempat menjadi guyonan ketika istirahat siang. Salah satu teman GUSDURian bertanya pada simbah, “Usianya berapa?” Simbah menjawab, “Cuma 90 tahun”. Kami serentak terpingkal ketika salah satu teman menceritakan hal itu. “90 tahun kok cuma, kita 60 tahun saja sudah bagus soalnya makanan dan lingkungannya semakin tidak berkualitas, ” celetuk yang lain.

Di pelataran JNM, sejenak mereka mengambil foto bersama. Di sana juga terdapat tiga patung yang dibuat untuk mengenang tragedi ‘65. Semua peserta diabsen serta dipastikan bahwa mereka kebagian kursi di bus. Awalnya aku mendaftarkan diri di bus B, tapi panitia menetapkanku di bus A. Di ambang pintu bus A seorang perempuan kembali mendata apakah setiap peserta sudah berada di bus dan mendapat kursi. Aku sendiri tak kebagian kursi di bus A sehingga aku dipindah ke bus B, sesuai dengan rencana awal.

Sekitar pukul 8.30, ketiga bus mulai bergerak menuju Gunungkidul, tetapi bus harus dibelokkan melalui jalan lain karena jalan sekitar Taman Siswa diblokir karena adanya demo Pro-Palestina. Di dalam bus, seorang lansia memegang microphone layaknya pemandu di bus pariwisata. Ia menjelaskan pengalamannya ketika dulu masih remaja ditangkap dan dipenjara lantaran dianggap sebagai pendukung PKI.

Sayang suaranya kadang tak jelas terdengar karena memegang mic terlalu jauh dari mulut, atau suara bergetar sebab guncangan bus dan kalah oleh suara lalu-lalang kendaraan di luar bus. Maklum, bus yang kami gunakan bukan bus-bus kekinian, melainkan model lawas yang pintu belakangnya terbuka. AC-nya klasik berupa jendela kaca di sisi samping untuk mendapat sedikit kesejukan dari semilir angin yang menerobos di tengah cuaca Jogja yang beberapa hari ini panasnya minta ampun. Dia juga menunjukkan salah satu lembaga pemasyarakatan (lapas) yang dulunya merupakan lapas bagi para orang yang tertuduh PKI ketika bus melewati bangunan Lapas Wirogunan.

Sepanjang perjalanan menuju Gunungkidul, para pemuda yang duduk di kursi belakang juga dengan antusias bertanya kepada simbah-simbah tentang pengalaman-pengalaman mereka semasa muda ketika menghadapi tuduhan sebagai pendukung PKI. Salah satu lansia bercerita, dulu ia ditangkap ketika masih usia belasan, dipenjara selama empat tahun tanpa adanya bukti jelas bahwa ia terafiliasi dalam PKI. 

Di dalam penjara ia diperlakukan layaknya binatang, menderita, dan disiksa. Satu ruangan yang normalnya cukup untuk 60-70 tahanan diisi sekitar dua kali lipatnya bahkan lebih. Alhasil ketika tidur mereka harus ditata seperti jemuran ikan asin. Dalam sehari, tahanan hanya mendapat jatah makanan 52 butir biji jagung. Mereka banyak berkisah, tapi lagi-lagi sayang, aku tidak bisa mendengar suara mereka dengan baik. Suara mereka tak cukup keras, deru mesin bus dan kendaraan lain di luar menyaingi dan kursiku dengan para simbah itu agak berjauhan.

Setelah sekitar dua jam perjalanan, bus mulai memasuki jalanan pedesaan yang sangat rusak tak terawat. Badan bus berguncang, ranting-ranting pohon di kanan kiri jalan mencakar badan bus bagian atas. Salah satu lelaki tua menyeletuk, “Jalan ini sengaja dirusak oleh pemerintah,” katanya. Ya, di ujung jalan ini kita akan menemukan bukti sejarah kelam Indonesia, yakni Luweng Grubug yang sedapat mungkin kisah suramnya tidak diketahui banyak orang. Luweng sendiri merupakan sebutan untuk gua vertikal seperti sumur. 

Tanah Gunungkidul yang kami lalui tampak merah, banyak bebatuan ditumpuk-tumpuk memanjang membentuk petak-petak tanah. Sepengetahuanku, memang Gunungkidul ini daerah yang kering dan tanahnya berbatu karena lokasinya yang berada di kawasan karst. Mungkin orang-orang membuat garis-garis dari batu itu bukan semata untuk membuat batas tanah melainkan juga untuk menyingkirkan batu yang berserakan agar tanah bisa ditanami.

Di sela-sela pemandangan tanah merah dan pepohonan yang jarang sepanjang jalan, ada pemandangan yang menarik. Ada semacam panggung. Di atasnya terdapat toren-toren air besar berwarna hitam yang jumlahnya banyak. Di badan toren-toren tersebut tercetak dengan jelas tulisan berwarna putih, “Bantuan Kementerian Pertahanan”.

Terlepas dari keherananku dengan tulisan itu, sejak jauh hari aku sedikit tahu bahwa kekeringan dan kekurangan air bukan merupakan permasalahan baru yang ada di Gunungkidul. Tapi mengapa Kementerian Pertahanan yang membantu? Kenapa bukan kementerian lain? Kementerian Sosial misalnya? Kira-kira itu yang mengganjal di benakku. Sekian data soal ini kucari. Kutemukan jawaban yang mengerucut, tapi takkan kusampaikan hasil cocoklogi itu di sini.

Setelah hampir setengah jam melaju di jalan bergeragal akhirnya bus sampai di parkiran Luweng Jomblang. Jelas bukan luweng ini yang kami tuju melainkan Luweng Grubug. Hanya saja Luweng Grubug ini tidak dibangun selayaknya destinasi wisata, meskipun dikunjungi wisatawan tertentu dan khusus mereka yang mampu membayar mahal untuk masuk ke dalamnya. Bahkan di Google Maps pun tidak bisa ditemukan lokasi Luweng Grubug.

Ketika semua rombongan telah berkumpul, kami harus berjalan melintasi hutan jati yang daunnya sedang rontok di musim kering. Simbah kakung menunjukkan jalan setapak mana yang harus kami ambil. Dia memang bukan baru kali ini mengantar orang-orang ke Luweng Grubug ini. Dia sempat bercerita di tahun 2003 dia juga mengantar rombongan dari Jakarta ke sini. Sayang rombongan tidak bisa melihat langsung ke luweng tersebut karena di dalamnya sedang ada pembersihan tulang-tulang. 

Ya, tulang-tulang manusia yang dulu dibuang ke dalam luweng tersebut adalah korban pembantaian ‘65 dan juga para korban ketika terjadinya tragedi ‘83. Saat itu aku belum benar-benar tahu tentang duduk perkara pecahnya tragedi ‘83. Setelah pencarian ke sumber berita, aku baru tahu bahwa di tahun 1983 ada Operasi Pemberantasan Kejahatan atau disebut juga “Petrus”, kependekan dari penembakan misterius.

Di Yogyakarta, operasi ini dipimpin oleh militer dan yang menjadi target adalah orang-orang yang dianggap/dicurigai sebagai penjahat dan kriminal. Orang-orang berpenampilan preman dan bertato sangat rentan menjadi target dari operasi ini. Seorang kakek di bus juga mengisahkan, kalau ada orang bertato kulitnya akan disayat. Ketika itu juga setiap hari bisa ditemukan mayat tergeletak di pinggir jalan. Masuk akal jika Luweng Grubug ini juga menjadi tempat pembuangan korban ‘83 yang ditengarai menewaskan lebih dari 1.000 orang itu.

Setelah sekian ratus meter berjalan kaki, kami sampai di lokasi Luweng Grubug. Penampakannya persis seperti sumur besar. Dinding luweng dipenuhi pepohonan sehingga mustahil untuk bisa melihat sampai ke dasar. Terlebih, sesampainya kami di sana, petugas dari wisata Luweng Jomblang segera memagar keliling dengan tali agar rombongan kami tidak terlalu dekat dengan mulut luweng.

Pada petugas itu aku bertanya kedalaman dan diameternya. Dari jawabannya aku tahu, mulut luweng berbentuk lingkaran asimetris itu berdiameter 20-30 meter dan kedalamannya 100 meter. Aku membayangkan bertahun-tahun lalu, luweng ini berisi tumpukkan tubuh manusia. Sekalipun ada yang dibuang hidup-hidup (misalnya), tampaknya mustahil seseorang bisa merangkak naik dan keluar dari luweng tersebut dengan tangan kosong. Akhirnya semua yang terlanjur masuk ke dalamnya pasti akan menjadi mayat juga. 

Sampai di sini, aku menghela napas menyadari betapa kejamnya pemerintahan kala itu dan betapa tidak berperikemanusiaannya tangan-tangan yang menjadi alat eksekusi kemauan Soeharto. Setelah melalui masa penjajahan panjang, ternyata nyawa masih harus berjatuhan, bahkan oleh tangan bangsa dan saudara sendiri, yang harusnya mengayomi dan melindungi tapi malah membuat ribuan raga mati. 

Kata-kata Ir. Soekarno ada benarnya, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”. Teringat pula kutipan dari buku Burung-Burung Manyar, “Inilah kesalahan logika mereka: menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga. Nonsens,” tulis Romo Mangunwijaya.

Di dekat luweng itu kemudian ritual doa untuk para korban ‘65 dipanjatkan. Simbah dari Kulonprogo menjadi pemimpin doa di antara sekitar 120 orang yang turut serta. Adat-adat Jawa tetap dipraktikkan seperti menyediakan tumpeng dan bebungaan yang dialasi daun pisang serta menyalakan api kecil. Para rombongan ternyata juga membawa tanaman-tanaman hias yang mereka tanam di sekitaran luweng.

Awalnya aku tidak memahami maksud dari penanaman tanaman-tanaman tersebut. Baru dijelaskan bahwa mereka berusaha membuatkan taman di sekitar luweng untuk menghormati para korban yang terbunuh di luweng tersebut. Sembari taman dibuat, seorang kakek dengan merdu melantunkan tembang macapat. Isi dari tembang macapat tersebut dipersembahkan untuk para arwah korban di Luweng Grubug dan nasihat untuk generasi-generasi yang masih hidup saat ini. Bagiku pribadi, momen dinyanyikan tembang macapat ini suasananya terasa sakral dan menggetarkan hati, bahkan ketika aku memutar ulang video yang aku ambil menggunakan kamera HP.

Di tengah hutan jati itu, beberapa penyintas juga diberikan kesempatan untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mereka dalam kejadian ‘65. Di cuaca yang terik menyengat, orasi Mbah Ponyono dari Pagupon menyala-nyala menuntut keadilan atas penderitaan yang para penyintas alami di masa lalu.

“Pada saat sekarang kita sudah memulai untuk bisa melempengkan sejarah yang pada waktu itu kami telah disalahkan dan (diperlakukan) boleh dikatakan seperti binatang, disiksa dan sebagainya. Untuk itu, pada waktu ini, mulai detik ini, kita minta bersama-sama kepada semua pemuda agar kita mendapatkan suatu hak asasi pada waktu simbah-simbah ini ditahan. Itu yang pertama. Yang kedua, kita tetap berjuang, bagaimana hak kebenaran ini nanti akan terwujud dan nanti akan diketahui oleh negara. Itu saja yang penting dan marilah kita tetap berjuang. TETAP BERJUANG!”

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *