Dalam Kenang: Gus Dur dan Perayaan Imlek di Indonesia

“Ada perlu apa, hah? Sudahlah, nggak usah punya urusan sama Cina. Apalagi Cina yang masih suka bakar dupa. Bisa-bisa sampeyan nanti dapat masalah.”

Begitu melihat kami, Cik Ellen melambai, menyuruh kami masuk ke tokonya yang sumpek itu. “Itu lho, Yu Marni, kasihan si Koh Cayadi. Ada yang lapor ke tentara, kalau dia suka ke kelenteng.”

Begitulah cuplikan yang ada pada novel Entrok karya Okky Madasari. Okky menggambarkan keadaan kaum Tionghoa yang hidup di Indonesia pada masa Orde Baru. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967, Presiden Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa merayakan festival keagamaan atau adat istiadat secara tertutup di lingkungan keluarga.

Mereka tidak diperkenankan menjalankan kegiatan peribadatan maupun tradisi terbuka di depan umum. Artinya perayaan seperti imlek, cap go meh, liong, barongsai, dan penggunaan huruf Mandarin dilarang. Betapa pada masa Orde Baru kaum Tionghoa tidak mendapatkan hak dan kebebasan beragama. Stigma buruk terus menjadi momok bagi kaum Tionghoa. Padahal seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia terdiri tidak hanya dihuni oleh ras dan suku tertentu, bangsa Indonesia dihuni oleh berbagai ras dan suku.

Pada tahun 2000 ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia, salah satu yang dilakukan oleh Gus Dur adalah mencabut Instruksi Presiden (Inpres) pada masa Orde Baru. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 6 Tahun 2000 warga Indonesia bebas menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa.

Keppres yang diresmikan oleh Gus Dur pada 17 Januari Tahun 2000 tersebut menjadi pembuka bagi kaum Tionghoa dalam menjalankan kembali agama, kepercayaan, dan adat istiadat dengan terbuka. Termasuk perayaan Imlek, penggunaan huruf mandarin dan kesenian Tinghoa pun kini bebas dilakukan di Indonesia. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam poin kedua dan ketiga dari Keppres, yakni:

Kedua: Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina tersebut dinyatakan tidak berlaku.

Ketiga: Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.

Gus Dur muncul dengan konsep kebangsaan baru yang inklusif, meninggalkan konsep kebangsaan suram milik Orde Baru. Gus Dur bagai oase di tengah kerontangnya padang pasir bagi para kaum Tionghoa. Kegembiraan dirayakan oleh kaum Tionghoa.

Salah satu penulis keturunan Tionghoa, Lang Fang namanya, kegembiraannya diungkapkan dalam sebuah artikel pendek berjudul “Imlek Tanpa Gus Dur”. Dalam artikel di halaman 35 buku ini, Lan Fang menunjukkan bagaimana perubahan pada dirinya (dan juga orang-orang Tionghoa di Indonesia) terjadi tiba-tiba.

Namun, terus terang saja,  setelah terbiasa bungkam (entah dibungkam atau terbungkam) selama berpuluh-luluh tahun, saya “tidak siap” dengan kebahagiaan sebesar ini, ungkap Lan Fang menggambarkan kebahagiaan sekaligus kekagetannya akan keputusan Gus Dur.

Selain itu dalam sebuah unggahan di akun X salah satu artis Indonesia, Ernest Prakasa (@ernestprakasa) juga mengungkapkan akan jasa Gus Dur terkait perayaan Imlek:

“Waktu gw SD & SMP, bokap harus izin ke wali kelas pake surat sakit supaya gw bisa imlekan. Semua berubah berkat Presiden Gus Dur, yang melalui Keppres No. 6 / 2000, resmi mencabut Inpres Suharto No. 14 / 1967 soal pelarangan Imlek. Terimakasih Gus Dur.”

Kini setelah 25 Tahun kembalinya perayaan Imlek, Gus Dur telah meneladankan kepada kita semua tentang nilai-nilai kemanusiaan, menghargai dan menganggap semua manusia tanpa mempedulikan ras dan suku mereka serta memberikan ruang kebebasan bagi siapa saja untuk mengekspresikan agama dan adat istiadatnya. Terakhir mengutip perkataan Gus Dur, Tidak penting apa agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang tidak akan menanyakan apa agamamu.

Selamat tahun baru Imlek. Gong xi fa cai. Semoga kebaikan dan keberuntungan selalu ada di depan pintu dan kebahagiaan selalu ada dalam hati kita semua.

Penggerak Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *