Pada hari Rabu tanggal 5 Maret 2025, saya bersama 19 siswa Katolik SMP-SMA Cahaya Bangsa Utama (Kinderstation School) pergi ikut Misa Rabu Abu di Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru, Yogyakarta. Didampingi oleh beberapa guru yang beragama Katolik, kami bersama-sama menuju gereja dan mengikuti misa yang mulai pukul 12:00 – 13:00 WIB.
Setelah misa selesai, kami bersama-sama kembali ke sekolah. Sampai di sekolah ada satu siswa yang sempat bertanya pada satu siswa Katolik, “Itu kok ada tanda salib di dahimu? Itu abunya dari abu manusia ya?” Seorang guru Katolik yang kebetulan mendengar pertanyaan tersebut, sambil berkelakar mengatakan, “Ya, itu abu dari tulang manusia.”
Saat guru tersebut menceritakan kembali ke saya, saya tertawa dan berusaha menulis ini sebagai usaha untuk menerangkan secara sederhana makna dan sejarah Rabu Abu dalam Gereja Katolik, serta konsep teologis dan hubungannya dengan puasa dan pantang dalam ajaran Gereja.
Rabu Abu adalah tanda dimulainya masa prapaskah dalam Gereja Katolik. Masa prapaskah adalah masa permenungan dan pertobatan yang biasanya diisi dengan pembaruan diri dalam menyambut Paskah (Hari Raya Kebangkitan Yesus Kristus). Rabu Abu menjadi momen permulaan untuk merenungkan 40 hari perjalanan puasa dan pantang dalam Gereja Katolik.
Lalu, mengapa disebut Rabu Abu? Karena misanya dirayakan di hari Rabu, dan orang Katolik menerima Abu, jadi deh Rabu Abu. Penggunaan abu sebagai tanda pertobatan sebenarnya sudah dimulai dengan kisah-kisah dalam Alkitab Perjanjian Lama.
Kisah Nabi Yunus 3:6-10 yang mana mengisahkan Raja Niniwe yang memohon pertobatan dengan mengenakan kain kabung dan duduk di atas abu sebagai tanda pertobatan.
Kitab Ayub 42:6 juga menegaskan, “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu,” serta dalam Kitab Daniel 9:3, Nabi Daniel juga berpuasa dengan mengenakan kain kabung dan menaburkan abu sebagai ungkapan doa dan pengakuan dosa bangsanya.
Penggunaan abu sebenarnya melambangkan kerendahan hati manusia di hadapan Tuhan. Abu yang digunakan oleh umat Katolik saat ini adalah abu dari hasil bakar daun palma. Daun palma adalah daun yang digunakan oleh orang-orang Kristiani untuk menyambut masuknya Yesus ke Kota Yerusalem.
Sebagai informasi, Minggu Palma biasanya dirayakan seminggu sebelum Hari Raya Paskah. Tahun 2025 Minggu Palma akan dirayakan pada tanggal 13 April 2025, persis satu minggu sebelum pekan suci dan Minggu Paskah akan jatuh pada tanggal 20 April 2025. Abu yang diterima pada perayaan hari Rabu Abu 2025 ini adalah abu hasil bakar daun palma tahun 2024.
Setiap perayaan rabu abu, daun palma yang biasanya dibagikan ke umat Katolik, dikumpulkan kembali dan dibakar secara bersamaan di gereja. Penggunaan abu adalah tanda kesadaran manusia sebagai makhluk yang rapuh, berdosa.
Sebagaimana ditekankan sebelumnya, bahwa rabu abu adalah awal masa puasa dan pantang selama 40 hari bagi umat Katolik. Puasa 40 hari sebenarnya terinspirasi dari pengalaman Yesus Kristus yang menjalankan puasa dan dicobai di padang gurun.
Menariknya, dari tiga godaan, semuanya masih relevan hingga saat ini. Dalam Injil Lukas 4:1-13 ditekankan tentang tiga cobaan itu antara lain: mengubah batu menjadi roti (makanan), meminta Yesus menyembah setan dengan imbalan menawarkan kerajaan dunia kepada Yesus (kekuasaan), menguji KeAllahan Yesus dengan melompat dari puncak Bait Allah.
Tiga pencobaan tersebut dijawab Yesus dengan menegaskan manusia bukan hidup dari roti atau makanan saja, menyembah Tuhan bukan setan (kerakusan, keserakahan, dan ketamakan), serta tidak mencobai Tuhan Allahmu (takut akan Tuhan).
Dari pencobaan Yesus tersebut, umat Katolik diajak untuk belajar menjadi pribadi yang mampu bertahan dalam iman, setia dan tidak haus jabatan atau kuasa duniawi, serta menjadi pribadi yang takut akan Tuhan.
Puasa dan pantang dalam Gereja Katolik saat ini bisa diterjemahkan sebagai kapasitas untuk membatasi diri dari nafsu perut, nafsu kuasa dan jabatan, serta berpegang teguh pada ajaran-ajaran kebaikan dalam hidup bermasyarakat.

Sebagai manusia yang terbuat dari debu tanah, Rabu Abu dan momen puasa menjadi hari yang bisa diisi untuk memperjuangkan kesempurnaan diri dalam ketidaksempurnaan.
Ajaran Gereja mewajibkan puasa dan pantang pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, sedangkan hari-hari lain dianjurkan untuk menjalankan pantang. Puasa adalah makan kenyang sekali dalam sehari, sedangkan pantang adalah mengurangi makanan-makanan yang disukai seperti daging dan lain-lain. Puasa dianjurkan bagi umat Katolik yang sudah berusia 18-59 tahun, sedangkan pantang untuk semua yang berusia di atas 14 tahun.
Sederhananya, tujuan dari puasa dan pantang adalah mengurangi porsi makan, agar umat Katolik bisa berbagi dengan sesama. Misalnya budget makan satu hari 3x makan adalah 50k, dengan puasa akan berkurang menjadi 20k. Uang yang disisihkan tersebut digunakan untuk Aksi Puasa Pembangunan, yang digunakan untuk membantu kegiatan-kegiatan karitatif Gereja. Puasa dan pantang bagi Gereja Katolik adalah anjuran untuk membatasi ketamakan dan nafsu duniawi tetapi seraya memperbanyak perbuatan-perbuatan baik.
Ada satu pesan puasa yang disampaikan oleh Romo Anton Gunardi MSF saat khotbah, yang mengutip pesan dari Santo Krisostomus. Saya kira pesan tersebut bisa meringkas makna puasa dan pantang dalam Gereja Katolik. Pesan tersebut bunyinya demikian:
“Adalah sangat bodoh, bila kita tidak makan daging atau makan makanan lain dengan alasan berpuasa, tetapi anggota tubuh yang lain melakukan hal-hal yang tidak benar. Katamu, kamu tidak makan daging? Tetapi kamu membiarkan telingamu mendengarkan hal-hal yang tidak benar.
Tahukah kamu, kamu harus berpuasa dengan telingamu juga! Artinya tidak membiarkannya mendengarkan hal-hal yang cabul, perkataan-perkataan yang jahat dan tidak benar tentang sesama.
Selain berpuasa dengan tidak makan makanan tertentu, mulutmu juga harus berpuasa dengan tidak membiarkannya mengeluarkan kata-kata kotor, makian, gosip, juga berbohong. Apa bagusnya bila kamu tidak makan daging sapi atau daging ayam, tetapi kamu menggigit dan memangsa sesamamu manusia?”
Semoga masa puasa, yang kebetulan bersamaan antara umat Islam dan umat Kristiani saat ini bisa menjadi momen untuk memperbanyak kebaikan. Momen untuk bersama-sama merawat Indonesia dengan tidak berperilaku korup, haus jabatan, merusak tatanan sosial.
Semoga, puasa menjadi momen untuk memperjuangkan Indonesia menjadi negara yang sempurna (maju) di tengah carut marut isu sosial, politik, dan ekonomi yang memprihatinkan.