Gaji Pendidik: Beban Negara atau Investasi Masa Depan?

Pernyataan Sri Mulyani yang disampaikan dalam acara Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia melahirkan respons beragam dari masyarakat. Melalui pidatonya yang berlangsung di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Kamis, 07 Agustus 2025, ia menyampaikan tanggapannya mengenai stigma profesi guru dan dosen yang tidak dihargai oleh negara.

“Banyak di media sosial saya, selalu mengatakan, ‘Oh! Menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya tidak besar.’ Ini juga menjadi tantangan besar bagi negara,” ujar Sri Mulyani.

Beliau melanjutkan pidatonya dengan menegaskan bahwa rendahnya gaji guru dan dosen menimbulkan pertanyaan yang dituturkannya dengan penuh penekanan.

“Apakah semua harus (berasal dari) keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?” ucap Menteri Keuangan tersebut.

Pertanyaan tersebut muncul berdasarkan kenyataan yang sulit disangkal, yakni keterbatasan anggaran negara. Meski dana pendidikan telah dialokasikan sebesar Rp724,3 triliun atau 20% dari total APBN 2025, persoalan kesejahteraan guru dan dosen masih menjadi tantangan yang belum terselesaikan.

Lantas apakah negara memandang gaji pendidik merupakan suatu beban negara? Atau bentuk dari membangun investasi jangka panjang untuk masa depan, yaitu menuju Indonesia Emas 2045?

Menurut Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Santriwan Salim, jika dikaji lebih dalam berdasarkan pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945, secara eksplisit mengandung jaminan pendidikan sebagai hak setiap warga negara. Oleh karena itu, pemenuhan kesejahteraan guru dan dosen bukan hanya kewajiban moral, tetapi amanat konstitusi yang harus diwujudkan oleh negara.

Mengutip kompas.com, Santriwan Salim juga menilai bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memahami spirit Undang-Undang Dasar 1945 ketika menyinggung rendahnya gaji dosen dan guru.

“Ini menandakan bahwa Bu Menteri tidak memahami, tidak mengerti betul itu yang apa spirit dari Pasal 31 Undang-Undang Dasar 45 bahwa mendapatkan pendidikan adalah hak warga negara.”

Hal ini juga seiman dengan pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan bahwa tujuan nasional negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOUS), Nailul Huda, memberikan kritik keras dengan menilai pernyataan Sri Mulyani tidak memiliki dasar landasan moral maupun akademik, dan kalimat tersebut tidak layak diucapkan oleh seorang pejabat publik setingkat menteri. Nailul Huda berpendapat berdasarkan data lapangan yang ironi, di mana kondisi kesejahteraan guru masih jauh dari ideal. Ia menegaskan bahwa negara tidak bisa melepas tanggung jawabnya dalam isu krusial ini.

“Pernyataan Sri Mulyani sangat tidak berlandaskan secara akademik maupun moral sebagai pejabat. Miris mendengar ada guru yang sudah mengajar puluhan tahun namun hanya mendapatkan gaji yang sangat minim. Lantas apakah itu tidak masalah jika dibiarkan oleh negara? Itu masalah besar karena negara ikut andil dalam mencerdaskan bangsa,” tutur Huda.

Polemik ini juga tidak terlepas dari perhatian kreator konten sekaligus pendiri Mantappu Academy, Jerome Polin. Lewat unggahan akun Instagramnya, ia mengungkapkan kekecewaan yang mendalam atas respons pernyataan Menteri Keuangan Negara tersebut. Jerome menegaskan bahwa kunci dari pendidikan yang baik adalah guru yang berkualitas, karena itu negara juga harus menjamin kesejahteraan para pendidik untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia Emas.

“Gaji itu menjadi salah satu faktor penting yang membuat orang mau mengerjakan sesuatu. Hal itu bisa membuat orang semangat dalam bekerja. Kalau mau mewujudkan Indonesia Emas, ya harus mulai dari pendidikan, dan itu dimulai dari guru. Jangan harap kualitas pendidikan Indonesia bisa naik kalau tidak ada perbaikan kualitas guru. Itu semua balik lagi ke faktor gaji untuk mensejahterakan para pendidik,” tulis Jerome.

Ketika pertanyaan Sri Mulyani tersebut terdengar seperti upaya lepas tangan pemerintah pada gaji dosen dan guru, publik sontak menoleh pada kemewahan-kemewahan elite yang justru dibiayai negara tanpa berpikir berulang kali. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dengan tajam menyoroti ketimpangan skala prioritas ini.

Alokasi anggaran sebesar Rp32,85 triliun untuk sekolah kedinasan kontras dengan dana yang hanya Rp7 triliun untuk membiayai seluruh mahasiswa di perguruan tinggi negeri. Di saat yang sama, ribuan guru honorer masih menerima upah yang jauh di bawah standar kelayakan hidup. Maka, kita layak bertanya, “Partisipasi pajak rakyat selama ini di kemanakan?”. Pernyataan Sri Mulyani, alih-alih terlihat sebagai ajakan untuk bergotong-royong, justru tampak seperti upaya negara untuk “melepas” tanggung jawab yang seharusnya menjadi tugas utamanya.

Dengan demikian, pertanyaan “apakah semua harus keuangan negara atau ada partisipasi masyarakat?” memang sah untuk diajukan, namun jawabannya tidak boleh mengaburkan tanggung jawab utama negara. Partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan pihak swasta bisa menjadi sumber dukungan tambahan, misalnya melalui beasiswa, kemitraan riset, atau program pengabdian masyarakat, tetapi inti pembiayaan gaji pendidik tetaplah tanggung jawab pemerintah.

Jika pemerintah mulai melihat gaji guru dan dosen sebagai beban, maka arah pembangunan menuju Indonesia Emas 2045 akan goyah. Sebaliknya, jika dipandang sebagai investasi, maka setiap rupiah yang dikeluarkan untuk pendidik akan kembali berlipat ganda dalam bentuk kemajuan ekonomi, inovasi, dan kualitas hidup warga negara di masa depan.

Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *