Soroti Kasus Timothy, GUSDURian Pontianak Bahas Akar Perundungan

PONTIANAK – Pada Rabu, 22 Oktober 2025, GUSDURian Pontianak menyelenggarakan diskusi reflektif bertajuk “Setelah Timothy Pergi, Kita Tidak Mau Ada Nama Lain” di Gazebo IAIN Pontianak. Kegiatan ini diinisiasi sebagai bentuk kepedulian terhadap kasus dugaan perundungan yang dialami oleh mendiang Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana, sekaligus sebagai ruang aman untuk berbagi pengalaman dan kesadaran bersama tentang isu perundungan.

Diskusi dimulai dengan penjelasan dari pemantik mengenai kasus Timothy dan berbagai bentuk kekerasan psikologis yang sering kali luput dari perhatian. Salah satu peserta kemudian menceritakan pengalaman pribadinya menjadi korban perundungan sejak SMP. Ia mengaku sering dijauhi teman-temannya, bahkan teman baru yang sempat dekat akhirnya ikut merundung setelah bergaul dengan para pelaku. Ia juga mengungkapkan bahwa perundungan tak hanya terjadi di sekolah, melainkan juga di rumah, dari orang tua sendiri, sementara pihak sekolah tidak memberikan dukungan berarti.

Peserta lain menambahkan bahwa perundungan sering kali bermula dari lingkungan terkecil hingga ke lembaga pendidikan. Ia mengkritik cara pandang masyarakat yang merendahkan orang dengan fungsi kognitif berbeda, seolah-olah ada standar ideal tentang “manusia normal” yang ditetapkan secara sepihak. “Sebenarnya siapa yang membuat standar itu?” ujarnya menantang.

Salah satu peserta lain juga berbagi pengalaman ketika menjadi santri. Ia mengaku pernah menjadi korban sekaligus pelaku perundungan di pesantren. “Kalau boleh memilih, aku ingin kembali menuntut ilmu di pondok, tapi tanpa pola relasi sesama santri yang menindas,” katanya.

Diskusi juga menyinggung praktik perundungan dalam konteks sejarah, seperti bagaimana rezim Orde Baru menggundul rambut narapidana untuk merendahkan martabat mereka. Praktik ini juga masih diwariskan di lingkungan kampus melalui tradisi perpeloncoan. Tradisi ini, kata seorang peserta, membentuk siklus kekerasan yang diwariskan secara struktural dari satu angkatan ke angkatan berikutnya.

Selain itu, isu gender juga menjadi sorotan. Peserta mengkritik pandangan masyarakat yang masih mendiskriminasi laki-laki dengan ekspresi feminim, menyebutnya sebagai bentuk lain dari budaya militeristik yang menolak keberagaman.

Menariknya, salah satu peserta mengangkat kasus yang lebih filosofis: perundungan bahkan dapat terjadi pada janin yang belum lahir, ketika masyarakat menghujat kehamilan di luar nikah dan menstigma anak sebagai “anak haram”. “Padahal setiap manusia memiliki hak asasi, bahkan sebelum ia dilahirkan,” tegasnya.

Diskusi kemudian berlanjut dengan pembahasan mengenai relasi kuasa dalam kasus perundungan. Salah satu peserta menyebut, “Masalah perundungan bukan hanya soal individu, tapi sistem yang menuntut penyeragaman.”

Para peserta sepakat bahwa komunikasi antara anak dan orang tua merupakan kunci penting untuk memutus siklus kekerasan ini. Kesadaran dapat tumbuh bila kedua pihak saling memahami pola asuh dan luka yang diwariskan dari generasi sebelumnya.

Kegiatan ini ditutup dengan pesan reflektif: “Tragedi Timothy bukan sekadar kabar duka. Ia adalah tamparan bagi kita semua, agar tak ada lagi yang merasa sendirian di tengah keramaian.”

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *