Social Media

Bedah Buku “Gender Gus Dur” Masuk Rangkaian Peringatan Haul Gus ke-12 GUSDURian Pasuruan

Masih dalam serangkaian peringatan Haul Gus Dur ke-12, Komunitas Gitu Saja Kok Repot (GUSDURian Pasuruan) melaksanakan kegiatan bedah buku Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid pada Minggu, (26/12/2021) pukul 19.00 sampai 21.00 WIB secara online via Zoom meeting.

Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Ashilly Achidsti (penulis buku), Ahmad Zainul Hamdi (senior GUSDURian Jawa Timur, serta Founder Arrahim.ID), dan Alifatul Arifiati (Aktivis di Fahmina Institute, penulis buku Gus Dur: Sang Presiden Feminis), serta dimoderatori oleh Khoridatul Bahiyyah (Penggerak Komunitas GUSDURian Pasuruan).

“Buku ini sangat luar biasa karena memotret kebijakan Gus Dur tentang keadilan gender dan patut diapresiasi. Kami sangat berterimakasih kepada mbak Ashilly sudah menyajikan karya buku Gender Gus Dur ini,” ujar Makhfud, Koordinator GUSDURian Pasuruan.

Buku karya Hilly ini, sapaan akrabnya, merupakan olahan dari tesisnya ketika mengambil magister. Di dalam buku tersebut menceritakan tonggak kebijakan kesetaraan gender era presiden Abdurrahman Wahid.

“Ada tiga pembagian dalam buku tersebut. Pertama, sebelum Gus Dur menjadi presiden itu seperti apa pemikiran beliau terkait dengan kesetaraan gender, pembelaan-pembelaannya terhadap penegakan kesetaraan, baik dalam perilaku atau pemikiran. Kedua, ketika Gus Dur menjadi presiden bagaimana pemikiran beliau terkait dengan kesetaraan gender, bentuk pembelaan serta kebijakan beliau terkait kesetaraan gender, meskipun periodisasi pemerintahannya sangat singkat. Ketiga, pengembangan dari tesis itu sendiri, yaitu isu-isu kontemporer kesetaraan gender setelah Presiden Abdurrahman Wahid lengser,” jelas Hilly.

Bentuk kebijakan-kebijakan Gus Dur terkait dengan kesetaraan gender secara garis besar meliputi tiga garis besar. Pertama, ia membawa isu gender ke dalam tatanan pemerintahan, meskipun pada waktu itu isu gender belum menjadi isu yang banyak dibicarakan di ranah pemerintahan.

Kedua, ia menempatkan orang-orang yang sudah memahami isu tersebut sebagai sirkel utama untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.

Ketiga, dengan inisiatif dan kewenangannya sebagai presiden, Gus Dur mengubah beberapa kebijakan seperti mengubah nama Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Ia juga mengesahkan Inpres pengarusutamaan gender No. 9 tahun 2000, serta melakukan penyelamatan Siti Zaenab, buruh migran perempuan yang diancam hukuman mati.

Menurut Alifatul Arifiati, perubahan nama kementerian memberi banyak pengaruh, karena di balik itu ada prespektif global tentang posisi perempuan dalam prespektif pembangunan.

“Ada human in development dan human and development. Berkaitan dengan prespektif itu, Gus Dur beserta tim menyadari bahwa perempuan bukan hanya objek semata atau “and“, melainkan “in“, harus terlibat aktif dan dilibatkan secara aktif. Dengan perubahan nama kementerian tersebut menjadikan perempuan sebagai subjek yang mengedepankan peran-perannya di ranah publik, terutama peran sebagai pengambil kebijakan,” ujar penulis yang akrab disapa Alif tersebut.

“Saya senang dengan bukunya Hilly. Ini adalah sedikit dari buku atau tulisan yang ditulis oleh tokoh perempuan yang ingin melihat bagaimana sejarah gerakan perempuan di Indonesia dan menjadikan Gus Dur sebagai tonggak penting dari gerakan perempuan itu,” ujar Ahmad Zainul Hamdi.

Menurut pria yang kerap disapa Inung tersebut, dalam konteks pembicaraan tentang gerakan perempuan di Indonesia nama Gus Dur tidak begitu populer untuk dimasukkan sebagai tokoh gerakan perempuan. Namun dalam proses intelektualisasinya, Gus Dur tidak asing dengan isu perempuan dan gender. Jiwa humanis Gus Dur menjadikannya mudah dalam berbicara, berpikir, dan merasakan isu-isu kemanusiaan. Menurutnya tidak ada orang yang bisa direndahkan, dipersempit gerakannya, hanya karena dia perempuan. Gus Dur menganggap setiap orang memiliki harkat dan martabat yang perlu dihormati.

Dari kebijakan-kebijakan tersebut, terlihat bahwa orang seperti Gus Dur sangat menyadari betapa pentingnya peran perempuan untuk tidak lagi hanya menjadi lampiran kehidupan laki-laki. Sejauh dari tulisan Gus Dur, perubahan kementerian tidak hanya urusan nama, namun subtansi dari perubahan tersebut dampaknya sangat luar biasa dan bisa dirasakan betapa berdayanya gerakan perempuan saat ini.

Dari tonggak kebijakan kesetaraan gender di era presiden Abdurrahman Wahid, ketika dihubungkan dengam isu kontemporer kebijakan kesetaraan gender saat ini, terutama terkait alotnya perdebatan di parlemen tentang RUU Penghapus Kekerasan Seksual yang dengan tegas mengusung perlindungan terhadap perempuan, maka terlihat munculnya kelompok masyarakat yang gigih memperjuangkan RUU Ketahanan Keluarga yang isinya sangat bias gender dan merugikan perempuan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa betapa sulitnya kebijakan gender di Indonesia yang katanya menganut prinsip demokrasi ini.

“Malam ini tentu menyenangkan sekali, di mana dalam peringatan #haulgusdur atau bisa juga disebut #bulangusdur ini kita dibersamai dengan kegiatan bedah buku Gender Gus Dur dengan para narasumber yang keren sekali. Hal yang menarik dari diskusi tadi adalah adanya satu cerita bahwa ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, Istana Kepresidenan tidak pernah sepi dari kunjungan para aktivis perempuan dan adanya diskusi tentang kondisi perempuan saat itu yang dilakukan satu bulan sekali,” tutup Rida selaku moderator.

Penggerak Komunitas GUSDURian Pasuruan, Jawa Timur.