Social Media

Gus Dur dan Ekonomi Rakyat

Pada 30 Desember 2020, tepat 11 tahun Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden ke-4 RI, mangkat.

Warga menganggap Desember bulan Gus Dur, laiknya Juni yang dianggap bulan Soekarno. Tiap tahun, pada Desember diselenggarakan rangkaian acara yang berpuncak perhelatan haul di kediamannya.

Pada 10 Desember 2020, saya diundang Jaringan GUSDURian menjadi salah satu ahli pada diskusi Forum Isu Strategis Ekonomi Kerakyatan. Topik ini tak sering ditelisik karena selama ini Gus Dur identik dengan gerakan demokrasi, pluralisme, dan kebebasan. Ia jarang diulas sebagai tokoh yang sebetulnya intensif berpikir dan memproduksi kebijakan bagi penguatan ekonomi (rakyat).

Keberpihakan dan gerakan

Gus Dur tumbuh di kalangan santri dan berjuang bersama rakyat. Latar itu pula yang membentuk sebagian besar pemikiran ekonominya, termasuk ketika jadi presiden. Pemikiran ekonomi itu ditegakkan oleh lima pilar dan sekaligus menjadi praksis gerakan.

Pertama, ia lebih memilih memakai istilah ”ekonomi rakyat” ketimbang ”ekonomi kerakyatan” untuk memastikan yang terjadi di lapangan adalah gerakan ekonomi yang dikuasai dan dilakukan rakyat (kecil).

Baginya, ekonomi kerakyatan kerap disandera oleh elitisme yang seakan memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi sumber daya ekonomi tak sepenuhnya diberikan dan dimiliki rakyat. Implikasinya, istilah yang terakhir ini hanya ingin menunjukkan keberpihakan, bukan gerakan (ekonomi rakyat). Jadi, ekonomi rakyat mesti diikuti dengan penguasaan alat-alat produksi, khususnya tanah dan modal, dan organisasi/jejaring ekonomi yang mapan.

Ia ingin ekonomi Indonesia tegak oleh dua kaki: daratan dan lautan.

Kedua, ekonomi harus berbasis sumber daya lokal. Itu sebabnya, Gus Dur menekankan pembangunan pertanian (dalam pengertian luas), termasuk kelautan. Pada zamannya dibentuk Kementerian Kelautan demi memastikan nasib nelayan (bukan cuma petani) diurus dengan layak.

Tak ada negara yang tegak ekonominya tanpa bersandar pada sumber daya yang dipunyai (endowment factor). Ia ingin ekonomi Indonesia tegak oleh dua kaki: daratan dan lautan. Dua pertiga wilayah Indonesia lautan. Jadi, wajar sektor ini dikelola saksama agar jadi sumber kemajuan ekonomi.

Ia juga percaya sektor keuangan menjadi sumbu gerakan ekonomi sehingga muncul ide membentuk bank yang berorientasi ke wilayah perdesaan (misalnya BPR Nusumma). Gerakan ekonomi rakyat kerap macet karena penopang penting ekonomi, yakni modal, tak pernah menjamah pelaku ekonomi kecil. Darah ekonomi tak mengalir.

Ketiga, stabilitas harga pangan menjadi pertaruhan menyangga daya beli masyarakat (termasuk menaikkan gaji PNS). Pada masanya, peran Bulog sangat efektif menjaga harga pangan. Petani memperoleh harga yang bagus dan daya beli konsumen kuat karena harga yang terjangkau. Ini kombinasi kebijakan yang tak mudah dilakukan, tetapi bisa dicapai dengan mengesankan.

Persoalan stabilitas harga pangan ini ritual tahunan yang terus terjadi karena beragam penyebab, yang bisa diperas dalam tiga sumber utama: instabilitas produksi, inefisiensi distribusi, dan fluktuasi konsumsi. Produksi tergantung musim dan cuaca sehingga harga jatuh ketika panen dan jeblok ketika paceklik. Rantai pasok amat panjang sehingga menjerat petani dan menggorok konsumen. Konsumsi kerap dipengaruhi momen keagamaan, seperti Idul Fitri atau Natal, sehingga volume tak stabil. Bulog jadi salah satu jangkar mengatasi problem laten ini.

Menjinakkan globalisasi

Selanjutnya, keempat, pertumbuhan ekonomi berjalan seiring pemerataan. Pencapaian fantastis diperoleh saat Gus Dur menjabat presiden: pertumbuhan padu dengan pemerataan. Butuh kurang dari dua tahun menurunkan ketimpangan menjadi 0,31 pada 2001 (dari 0,37 pada 1999). Itu rekor rasio gini di Indonesia.

Penurunan ketimpangan itu diraih saat pertumbuhan melompat tinggi pascakrisis ekonomi 1997/1998.

Penurunan ketimpangan itu diraih saat pertumbuhan melompat tinggi pascakrisis ekonomi 1997/1998. Sebelumnya pertumbuhan ekonomi negatif, menjadi positif. Utang pemerintah juga berhasil diturunkan secara nominal dan membuat rasio utang terhadap produk domestik bruto menjadi rendah.

Rasio pajak juga meningkat sehingga menjadi sumber penerimaan fiskal penting pengganti utang. Semua ini dikerjakan dengan mengandalkan resep racikan sendiri, tak menggantungkan menu IMF dan Bank Dunia yang terbukti gagal di banyak negara.

Kelima, seperti halnya Soekarno, Gus Dur yakin dengan relasi antarnegara yang bisa saling menumbuhkan. Dia bukan penentang globalisasi. Namun, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk membangun kerja sama ekonomi dengan negara lain yang dianggap strategis bagi penguatan ekonomi nasional, sekaligus punya daya pengaruh besar pada lapak internasional.

Gus Dur menginisiasi poros Jakarta-New Delhi-Beijing karena kolaborasi tiga negara ini dianggap bisa menguntungkan dan sekaligus mengurangi ketegangan di antara dua blok ekonomi (AS dan Rusia).

Syarat globalisasi bisa memberi faedah bagi negara, terlebih ekonomi rakyat, adalah formulasi kebijakan ekonomi domestik mesti solid. Jika sebagian besar pelaku ekonomi dalam negeri adalah UMKM, kebijakan difokuskan untuk memperkuat dan mengonsolidasikan pelaku ekonomi itu. Negara maju, seperti Jepang dan Cina, sebagian besar ekspor ditopang produk UMKM.

Di Jepang, 54 persen total ekspor disumbang produk UMKM dan di Cina 69 persen. Di Indonesia, pelaku UMKM hanya menyumbang ekspor 20 persen, padahal jumlah usahanya 99,8 persen dan menyerap tenaga kerja 97 persen (McKinsey Global Institute, 2013). Data ini menggambarkan, globalisasi dimanfaatkan dengan baik oleh Cina, Jepang, dan beberapa negara lain untuk menciptakan latar yang jembar bagi usaha ekonomi rakyat. Jadi, kata kuncinya adalah soliditas kebijakan domestik agar globalisasi dapat dijinakkan.

Diplomasi ekonomi rakyat

Pemikiran Gus Dur mewakili perkawinan dua nilai fundamental: kebangsaan dan nilai agama. Kebangsaan tanpa spirit religiusitas akan mudah terkoyak. Agama menjadi sumber nilai bangsa, tetapi tak perlu ditarik menjadi tali formal bernegara karena akan membenturkan aneka perbedaan yang berserak.

Ia juga yakin dengan kemanusiaan yang disangga oleh etos kerakyatan, termasuk persatuan yang dibingkai di atas hamparan keragaman. Relasi antarmanusia tidak boleh saling menindih sebab itu inti sari dari humanisme yang sahih.

Fatwanya, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Kemanusiaan yang didasari oleh bara kerakyatan bermakna terbangunnya persaudaraan dan gotong royong sebagai alas kemakmuran bersama. Persatuan gampang patah jika tungkunya bukan kesadaran memperjuangkan agenda bersama di tengah pluralitas latar belakang. Persatuan menjadi abadi jika diikat pula oleh tali keadilan. Keyakinan ini yang membuatnya teguh membela Pancasila.

Fatwanya, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.

Kerangka dasar bernegara itu lantas menjelma menjadi politik pembangunan ekonomi ketika ia menjadi presiden. Jika dipostulatkan dalam gugus gagasan, akan diperoleh lima identitas ekonomi menonjol.

Pertama, kedaulatan ekonomi ditunjukkan oleh sikap demokrasi yang memberi ruang pemerintah membikin keputusan partisipatif dan penguasaan sumber daya ekonomi oleh rakyat. Kepemilikan faktor produksi adalah akar tunjang kemakmuran. Afirmasi ekonomi tak cukup apabila tanpa diteruskan dengan distribusi atas alat-alat produksi.

Kedua, negara wajib memperjuangkan pembangunan yang bertumpu kepada sumber daya lokal. Sektor pertanian (dalam pengertian luas, termasuk kelautan) merupakan kekayaan bangsa yang bisa menjadi pijar gerakan ekonomi rakyat. Daya beli masyarakat akan kuat, termasuk kesanggupan membeli kebutuhan pangan. Petani dan nelayan memperoleh harga layak akibat keberadaan lembaga penyangga pangan.

Ketiga, ekonomi dan organisasi ekonomi rakyat adalah praksis gerakan ekonomi. Sumber daya ekonomi dikuasai oleh rakyat dan dikonsolidasikan melalui organisasi ekonomi rakyat, yakni koperasi. Sektor ekonomi pertanian dan perdesaan merupakan sari pati ekonomi rakyat, termasuk ikhtiar mendirikan sektor keuangan perdesaan. Pola ini akan tumbuh menjadi gerakan, bukan semata keberpihakan.

Keempat, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan (keadilan) harus dicapai bersamaan. Kekuatan ekonomi domestik menjadi titik tumpu utama, bukan utang luar negeri atau investasi asing. Sumber pendanaan pembangunan dari dalam negeri dioptimalkan.

Kelima, kerja sama ekonomi dengan negara lain difokuskan untuk memperkuat potensi ekonomi domestik, membangun poros strategis, dan dijalankan dengan semangat kesetaraan. Globalisasi dijalani demi mengambil peluang ekonomi dan menegakkan kedaulatan.

Jika ini direlasikan dengan situasi kini, banyak ide Gus Dur itu yang memiliki tautan jelas. Pemerintah telah punya sikap keberpihakan kepada usaha kecil dalam wujud banyak kebijakan, misalnya penurunan pajak dan bunga kredit. Keputusan itu tinggal diteruskan menjadi gerakan ekonomi rakyat dengan penguatan faktor produksi.

Program reforma agraria dan perhutanan sosial menjadi laci pembuka gerakan ekonomi, termasuk permodalan khusus bagi usaha kecil. Pemerataan yang agak longgar setahun ini harus kembali diperjuangkan, jangan sampai pertumbuhan hanya menyentuh tubuh kaum kaya.

Sektor kelautan dikembalikan untuk membela hak hidup nelayan, bukan para pedagang yang terampil mengakali kebijakan. Semua kementerian/lembaga dan duta besar diberi target membuka lapak produk usaha kecil di fora internasional. ”Diplomasi ekonomi rakyat” menjadi mandat yang mesti ditunaikan oleh pejabat Republik. Seusai membaca ini, mungkin Gus Dur akan bilang, ”Gitu aja, kok, repot!”

Sumber: kompas.id

Guru Besar FEB Universitas Brawijaya. Ekonom Senior Indef.