Belum lama ini, sekelompok siswa (yang mau tidak mau harus diakui) beragama Islam di salah satu sekolah yang ada di Bolaang Mongondow Selatan kedapatan menghina simbol agama lain. Kabar ini saya ketahui dari cerita salah seorang guru di sekolah tersebut.
Peristiwa semacam ini dapat terjadi dan juga memang sudah pernah terjadi di tempat lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang-orang dengan semangat berislam yang over-dosis membanggakan agama sendiri, namun sayangnya cara yang ditempuh malah dengan menjatuhkan agama lain. Pikir mereka, itu merupakan sikap keren dalam membenarkan dan membanggakan Islam sebagai agamanya. Padahal, perbuatan demikian merupakan sikap intoleransi, yang jika tidak ditangani bisa-bisa tumbuh subur dan melahirkan laku kekerasan kepada non-Muslim.
Jika mencermati penjelasan Charles J. Adams dalam Islamic Religious Tradition, bahwa dalam beragama terdapat aspek inward experience (pengalaman ke dalam/keimanan) dan outward behavior (tingkah laku ke luar/pengamalan) yang saling terhubung. Keimanan menjadi napas dalam pengamalan agama, dan laku agama menjadi bagian dari ekspresi keimanan. Sehingga, jika mendasari pada pandangan ini, maka perbuatan merendahkan agama lain terpandang sebagai bagian dari ekspresi keimanan.
Pertanyaannya, apakah ekspresi iman Islam menghendaki laku tidak hormat pada agama lain? Atau, apakah tauhid menghendaki laku kekerasan terhadap pemeluk agama lain?
Jawabannya, tentu tidak. Sebab, jika tauhid manusia lurus kepada Allah yang Maha Kasih, maka sudah barang tentu ekspresi keimanan adalah menebarkan kasih. Inilah kiranya kenapa sosok seperti Gus Dur (Abdurrahman Wahid) berislam dengan mengayomi non-Muslim. Misalnya Gus Dur yang diketahui banyak membantu umat Konghucu untuk mendapat keadilan di negeri ini. Karena bagi Gus Dur, tauhid menghantarkannya pada sikap menebar kasih kepada seluruh ciptaan Allah, sekalipun itu adalah non-Muslim.
Dalam ajaran ketauhidan Gus Dur, bicara tauhid tidak hanya soal keimanan namun juga mencakup laku keberislaman. Sebagaimana berdasarkan penjelasan dari Nur Kholik Ridwan dalam Ajaran-ajaran Gus Dur, bahwa ketauhidan dalam konsep Gus Dur memiliki “aspek ke dalam” dan “aspek ke luar”. Konsep ini juga sejalan dengan pandangan Charles J. Adams yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebagaimana Nur Kholik Ridwan dalam Ajaran-ajaran Gus Dur menjelaskan, “…Dia (Allah) menjadi sumber segala sumber dan rahmat di alam raya ini. Inilah yang menjadi bagian penting dalam bertauhid, yaitu ‘aspek ke dalam’–menembus penyatuan dan membaranya kesadaran ilahi dalam dirinya…. Dari kesadaran inilah betapa Tuhan dilihatnya menjadi asal dan akhir dari segala sesuatu, yang rahmat-Nya tidak terbatas pada komunitas tertentu, tetapi kepada semua umat manusia tanpa terkecuali. (Dan juga ada) …‘aspek ke luar’ di balik tauhid kepada-Nya, yang diwujudkan dalam bentuk: menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan pelayanan kepada masyarakat, bangsa dan umat manusia. Di sinilah unsur-unsur teori sosial, perubahan sosial, dan dinamika sosial bekerja, yang diwujudkan Gus Dur untuk mempertinggi mutu dan martabat manusia, bangsa dan komunitas masyarakat.”
Jadi dalam konsep ajaran Gus Dur, ketauhidan tidak semata soal keimanan, melainkan juga termasuk laku beragama. Dalam hal ini, sebab Muslim mengimani Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maka seyogiannya ekspresi keberislaman adalah sikap menebar kasih dan bukan kekerasan, sekalipun itu terhadap non-Muslim.
Sehingga menghormati agama lain dan bersikap baik kepada non-Muslim termasuk bagian dari laku bertauhid (berislam). Sebaliknya, menghina agama lain dan berlaku kasar kepada non-Muslim justru menyalahi nilai ketauhidan yang memiliki semangat kedamaian.
Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya untuk: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….” (Q.S. al-An’an: 108).
Maka dalam berislam sikap yang patut ditunjukkan adalah menebarkan kasih. Menghina agama lain tidak akan menjadikan Muslim sebagai pembela Islam, malah menjadikannya sebagai penista agama sendiri, karena sikap yang demikian menjadikan Islam terpandang buruk. Karena itu, tidak heran jika Gus Dur dalam Melawan Melalui Lelucon mengingatkan bahwa, “Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan pada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang…. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela….”
Ketauhidan dalam ajaran Gus Dur (dengan “aspek ke dalam”) mengajarkan untuk mengimani dan mencintai Allah yang Maha Kasih, membawa pada pemahaman bahwa rahmat Allah mencakup seluruh umat manusia, dan itu mewujud melalui (“aspek ke luar” berupa) ekspresi keislaman yang menebarkan rahmat. Ajaran tauhid yang membawa pada pengamalan Islam ramah bukan marah seperti ini penting dibumikan di Nusantara, agar kehidupan damai antarumat beragama dapat terus terjaga.