Social Media

Islam Ramah dalam Padangan Gus Dur dan KH. Hasyim Muzadi

Islam adalah agama yang menjalankan misi keselamatan untuk kehidupan dunia-akhirat, juga kesejahteraan dan kemakmuran secara lahir batin bagi seluruh umat manusia dengan cara mematuhi perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (Taqwa).

Islam juga merupakan agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang diperintahkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (Habblun Minallah) dan mengatur hubungan manusia dengan manusia (hablumminas), serta alam jagat raya (hablumminnal alam) yang saling memberi manfaat. Maka dari itu, Islam memiliki prinsip rahmatan lil alamin, yakni rahmat bagi alam semesta.

Sepanjang hidupnya, Gus Dur membaktikan diri kepada bangsa Indonesia. Gagasan-gagasanya sudah sangat mendunia. Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi tokoh yang sangat disegani, bukan hanya dalam lingkup umat Islam, akan tetapi umat agama yang lainya.

Predikat ‘Bapak Pluralisme Indonesia’ melekat dalam dirinya karena kedekatannya dengan beberapa kalangan antarumat beragama yang lainnya. Kedekatannya menjadi sebuah warna tersendiri bagi tegaknya sebuah keadilan, kedamaian, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, Predikat ‘Bapak Lentera Dunia’ kiranya sangat layak untuk disematkan dalam diri beliau, karena pembawaannya yang sangat kharismatik serta aktif menyuarakan bingkai keadilan-kemanusiaan, sehingga masyarakat lebih kenal dengan berbagai pemikiran-pemikiran beliau yang luwes dan santun. 

Gagasan Islam rahmatan lil alamin berhasil menampilkan wajah Islam yang khas dan lebih komprehensif. Islam rahmatan lil alamin yang telah ditorehkan oleh Gus Dur bisa kita lihat dalam keanekaragaman agama yang hidup di Indonesia. Termasuk keanekaragaman paham keagamaan yang menjadi kenyataan historis yang tidak bisa disangkal oleh siapa pun.

Dalam kondisi yang plural semacam inilah Islam mampu berperan dalam segala aspek kehidupan di masyarakat. Lebih tepatnya berperan secara substantif dengan mengembangkan pesan-pesan moral dengan mengangkat tema-tema sentral seperti halnya keadilan dan egalitarianisme, bukan hanya menonjolkan sisi simboliknya saja.

Gagasan inilah yang sering dikemukakan oleh Gus Dur dalam banyak hal, sehingga memunculkan Islam dalam bentuk dan esensi ajaran-ajarannya. Gus Dur lebih memprioritaskan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada sisi sosial dan ekonomi, berbanding terbalik dengan permasalahan kekuatan pada sektor politik dari suatu organisasi umat yang basis anggotanya berjumlah cukup banyak.

Gus Dur memandang peran substansif yang ada dalam diri manusia dalam menjalankan Islam rahmatan lil alamin. Menurutnya, orang-orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsunya sendiri bisa memberikan banyak manfaat kepada siapa pun tanpa harus mempertimbangkan apa latar belakang suku dan agama. Bagi Gus Dur, orang yang demikian merupakan seorang pribadi yang tenang dan damai (an-nafs al muthmainnah). Orang tersebut juga menjadi representasi kehidupan spiritual dan akan menjadi khalifah Allah SWT yang sebenarnya di muka bumi.

Gus Dur sendiri merupakan figur dengan kepribadian yang sangat fleksibel. Ia mempunyai banyak kelebihan dalam membangun hubungan sosial dengan para tokoh non-muslim. Gus Dur bersahabat dengan banyak kalangan pastor dan pendeta, termasuk dengan tokoh-tokoh non-muslim lainnya seperti dari kalangan Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu.

Kendati demikian, Gus Dur tampak menginginkan kehidupan agama yang saling menunjukkan keramahan dengan umat beragama lainnya. Tentunya dengan tetap meyakini kebenaran agama yang mereka anut. Sebab hanya dalam keyakinan yang tulus itulah maka akan tumbuh keberagamaan yang sejati.

Namun pada saat yang sama mereka juga seyogyanya mampu menghormati dan mengayomi orang lain untuk meyakini kebenaran agama yang mereka anut dan melaksanakannya secara bebas tanpa ada intervensi dari pihak mana pun. Gus Dur juga mengibaratkan negara Indonesia semacam aneka ragam bunga yang dibiarkan tumbuh secara wajar tanpa dihalang-halangi oleh tumbuh-tumbuhan lainnya dan juga tidak dipaksa-paksakan.

Kolerasi adanya Islam rahmatan lil alamin juga telah disajikan oleh KH. Hasyim Muzadi dalam berdakwah. Kiai Hasyim mengedepankan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian berdampak positif, inklusif, dan holistik bagi kehidupan masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Namun gagasan Islam rahmatan lil alamin yang dibawa KH. Hasyim Muzadi berbeda dengan konsep yang diusung Gus Dur. Hal ini disampaikan oleh Zuhairi Misrawi saat menyoal konsep mengenai ‘Pribumisasi Islam’ yang berpangku pada konsep Islam rahmatan lil alamin.

Dalam pandangan KH. Hasyim Muzadi, ajaran Islam rahmatan lil alamin bukan hal baru dalam konsep pemikiran Islam. Ajaran ini memiliki basis yang kuat dalam kaitannya teologi Islam. Kata “Islam”  berasal dari kata aslama yang berakar kata salama. Kata Islam adalah bentuk infinitif dari kata aslama. Dari kata itulah, Islam memiliki varian makna yang diafirmasi oleh al-Qur’an sendiri, meliputi: damai (Qs. al-Anfâl/8: 61 dan Qs. al Hujurȃt/49: 9), menyerah (Qs. al-Nisâ/4: 125 dan Qs. Ali Imrân/3: 83), penyerahan diri secara totalitas kepada-Nya (Qs. al-Baqarah/2: 208 dan Qs. al-Shaffât/37: 26), bersih dan suci (Qs. al-Syu’arâ’/26: 89, Qs. al-Maidah/5: 6 dan Qs. al-Shaffât/37: 84), selamat dan sejahtera (Qs. Maryam/19: 47).

Adapun makna “rahmat” adalah al-Riqqatu wa al-Ta’attufi (kelembutan yang berpadu dengan rasa keibaan). Al-Asfahani mempertegas bahwa dalam konsep rahmat adalah belas kasih semata-mata (al-Riqqat al-Mujarradah) dan kebaikan tanpa belas kasih (al-Ihsân al-Mujarrad dûna al-Riqqat). Artinya, jika rahmat disandarkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka bermakna “kebaikan semata-mata”. Namun jika disandarkan kepada manusia maka yang dimaksud adalah “simpati semata”.((Dilansir dari Rahmat Asifulloh, “Islam Rahmatan Lil Alamin menurut Perspektif KH Hasyim Muzadi”.))

Lebih dalam, KH. Hasyim Muzadi dalam gagasan Islam rahmatan lil alamin merujuk kepada satu sumber primer yang menuju kepada keadilan dan perdamaian dunia. Konsep semacam ini telah beliau kampanyekan saat masih memimpin organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di dunia, yakni Nahdlatul Ulama melalui gerakan Moral Nasional (Geralnas) dan Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS).

Dalam Islam, sopan santun sering kali kita dengar sebagai salah satu cara yang dilakukan dalam bergaul antarsesama. Hal ini juga menjadi salah satu kebiasaan yang telah secara turun menurun diterapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Nyatanya, agama Islam juga mengajarkan hal yang sama. Sopan santun diterapkan sebagai salah satu upaya terpeliharanya hubungan persaudaraan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al – Qur’an,

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

Artinya : “Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa ayat 86).

Dengan demikian, kita sebagai pemuda dan pegiat GUSDURian di seluruh Indonesia, kiranya mampu menghormati dan dihormati oleh siapa saja dengan suatu salam penghormatan dan sesegera mungkin balaslah dengan segera penghormatan itu dengan penghormatan yang lebih baik, atau balaslah penghormatan itu yang sepadan dengan penghormatan yang diberikannya.

Mari kita belajar banyak dari figur KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Hasyim Muzadi secara istiqomah, karena pada dasarnya istiqomah adalah suatu amalan yang dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semoga dengan usaha yang kita lakukan hari ini, kita dapat melaksanakan dengan baik dan beriringan dengan pahala yang mengalir limpah untuk kita semua.

Wallahu a’lam bish showwab.

Penggerak Komunitas GUSDURian Brebes. Kontributor NU Online Jawa Tengah.