Empat tahun lalu, suasana Ledokombo tak sehidup hari ini. Ledokombo merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Jember bagian utara. Di wilayah ini semakin banyak penduduk yang berangkat ke luar daerah untuk mencari nafkah atau ke luar negeri menjadi buruh migran (TKI-TKW). Anak-anak yang ditinggal merantau oleh orang tuanya tidak terurus dengan baik. Tidak ada kegiatan positif yang cukup memadai untuk menunjang proses tumbuh-kembang mereka.
Kondisi ini mengalami perubahan sejak Dr. Suporaharjo memutuskan pulang ke kampung halamannya di Ledokombo pada tahun 2009. Farha Ciciek istrinya dan kedua anak mereka ikut berhijrah. “Kami pulang ke Jember karena panggilan ibu yang sudah sepuh dan butuh ditemani. Sekarang usianya 82 tahun dan sering sakit-sakitan.”
Di halaman rumahnya, Suporahardjo yang mempunyai panggilan akrab Lik Hang mengajari kedua anaknya bermain egrang, mainan lawas yang mulai terlupakan. Mokh Sadan Zero, anak Supo dan Ciciek, penasaran dengan egrang. Mainan ini belum pernah mereka temui selama tinggal di Jakarta. Pasangan suami istri ini juga mulai menyapa anak-anak sekitar dengan mengadakan berbagai lomba. Lambat laun, interaksi ini membentuk sebuah kelompok belajar dan bermain yang oleh anak-anak Ledokombo diberi nama Tanoker (dalam bahasa Madura berarti kepompong). Egrang menjadi ikon utama komunitas ini. Tak hanya bermain egrang, anak-anak desa di Ledokombo kini terbiasa bergaul dengan orang dari berbagai pelosok Indonsia maupun luar negeri. Interaksinya melalui pertemuan langsung, media jejaring sosial maupun video call (belajar dan dialog jarak jauh menggunakan jaringan internet).
Nama Farha Ciciek sendiri tidak asing lagi di belantika aktivis dan peneliti di Indonesia. Ciciek membawa segala yang ia punya ke Ledokombo untuk membentuk kehidupan baru di sana, termasuk ilmu, keterampilan, jaringan, dan ketulusan.
****
Mbak Ciciek, dari mana inisiatif mendidirkan Tanoker muncul?
Awalnya karena kami melihat masalah yang kompleks di Ledokombo. Memprihatikan sekali. Di antaranya yang menimpa anak-anak TKI/TKW. Kami menyebut mereka “yatim piatu” sosial. Semakin ditelisik semakin banyak muncul kasus-kasus. Di antaranya broken home dan berbagai dampak ikutannya. Sangat mungkin akan terjadi lost generation kalau begini terus. Kami kemudian mendekati dan menyapa anak-anak itu dan melakukan banyak hal bersama-sama dengan mereka.
Apa saja yang dilakukan di Tanoker?
Kami belajar berbagai pengetahuan dan bermain beragam permainan tradisional, outbond, musik, menari, drama, dan lain-lain. Egrang digunakan sebagai ikon komunitas kami. Ke depan ada inisiatif untuk mendirikan semacam “museum malam” egrang. Bersyukur kegiatan-kegiatan kami sudah didukung dan dipromosikan berbagai kalangan. Kawan-kawan dan kolega saya dan Mas Supo, lembaga pendidikan, LSM, organisasi massa, dan juga pemerintah. Pemkab Jember mendorong Ledokombo menjadi kawasan wisata karena semakin banyak orang yang datang kemari.
Bagaimana partisipasi masyarakat sejauh ini?
Alhamdulilah kami mendapat dukungan dari berbagai pihak. Lokal, nasional, dan Internasional. Di Jember Pemda, Camat, tokoh masyarakat, tokoh agama, sekolah, madrasah, pesantren, ormas, dan LSM antusias dengan gerakan budaya ini. Di acara-acara Tanoker seperti festival, kepanitiaan dibentuk bersama. Setiap kegiatan dan pembelajaran rutin ada pendamping baik mahasiswa maupun para guru relawan.
Namun seperti laiknya terjadi di mana-mana ada saja pihak-pihak yang tidak mendukung, menarik dukungan, bahkan menghambat. Misalnya saat ini Mas Supo (sebagai ketua Tanoker) bersama sementara warga dan para tokoh masyarakat sedang membahas tren masuknya toko-toko modern ke desa kami. Ini sebuah ancaman nyata ekonomi rakyat yang sedang limbung, seperti warung kelontong milik warga. Nah ada orang-orang yang semula mendukung Tanoker kini menjauh karena merasa dirugikan kepentingannya oleh kritisme ini.
Di acara-acara Tanoker, sering ada orang asing. Siapa sebenarnya mereka?
Kami bermaksud mempromosikan perdamaian dengan mendatangkan teman-teman dari berbagai negara dan daerah. Orang-orang asing itu adalah kenalan lama dan baru. Ada teman menitipkan anaknya, mahasiswanya, kawan-kerabatnya. Dulu kalau di Jakarta, banyak teman-teman dari daerah dan luar negeri datang ke rumah kami. Sejak saya tinggal di Ledokombo, ternyata mereka juga mau mengunjungi kami meski rumah kami jauh di pelosok desa.
Kegiatan kami bersifat GLOCAL, global-local. Kami bersama-sama mencoba untuk membuat wilayah ini sebagai ruang untuk menumbuhkan budaya damai, juga mengasah nasionalisme sekaligus humanisme lewat berbagai pengetahuan, permainan, tarian, drama, dan lagu/musik. Tiap kali ada tamu yang datang, ada saling tukar kebudayaan, sharing dan empowering. Kami punya lagu sambutan selamat datang yang terdiri dari berbagai bahasa. Disesuaikan dengan tamu yang datang. Jadi sedikit-sedikit mereka juga belajar bahasa daerah dan bahasa asing. Siapa tahu anak-anak Ledokombo ini juga ada yang bisa belajar ke luar kota atau ke luar negeri kalau mereka ingin.
Setelah berinteraksi dengan orang-orang yang beragam, apa pengaruh untuk anak-anak Ledokombo?
Mereka lebih percaya diri, toleran dan terus berusaha untuk berbagi dan memandang dunia tidak hitam putih. Dari interaksi selama ini mereka bisa belajar untuk menerima dan menghormati orang lain yang berbeda dengan mereka. Anak-anak itu hebat. Mereka multikulturalis.
Tanggal 10 April lalu kami mengadakan teleconference dengan mahasiswa Australia yang belajar bahasa Indonesia di Sydney University. Setahun lalu kami juga melakukan ini dengan teman-teman yang belajar di Jerman dan Amerika Serikat. Kali ini seorang anak madrasah dan seorang murid SD dari Tanoker yang presentasi tentang problem lingkungan di desa, khususnya sungai. Sementara dari Australia akan bicara tentang kebakaran dan banjir.
Mbak Ciciek berasal dari Ambon dan sudah melanglang buana. Apakah pengalaman Mbak Ciciek ini juga membentuk jiwa multikutur di dalam diri Anda?
Iya, tentu. Saya berasal dari Ambon, tetapi sebagian besar hidup saya di habiskan dipulau Jawa: Solo, Jogja, Surabaya, Jakarta dan kini di Ledokombo-Jember. Pengalaman-pengalaman di tempat lain, baik di dalam maupun di luar negeri sangat membekas dan membentuk multikulturalisme saya. Anak-anak di sini sedang merangkai pengalaman mereka sendiri dan berproses menjadi multikulturalis ala Ledokombo. Mereka manusia Indonesia sekaligus warga dunia, meski tumbuh di desa. Saya berharap semoga mereka akan tumbuh menjadi juru damai di mana pun mereka berada.