Agama dan Negosiasi Kebudayaan

Suatu ketika dalam sebuah kegiatan dialog “Relasi Agama dan Budaya” di mana penulis hadir sebagai pemantik, seorang peserta bertanya kepada penulis. Apakah budaya yang mengikuti agama, atau agama yang mengikuti budaya? Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan lain berkenaan dengan hal tersebut, juga telah lama mengusik pikiran penulis atau juga mungkin pembaca. Namun justru dengan begitu pelan-pelan kita akan berusaha menemukan jawabannya. Jawaban yang tentu tak akan pernah final, melainkan hanya sebagai kesimpulan sementara, sambil tetap membiarkan nurani dan nalar kita bekerja, mengiringi perubahan yang telah, sedang dan akan terjadi dalam kehidupan kita.

Pertanyaan di atas penting dijawab segera, berkenaan dengan semakin berkembangnya fenomena di mana agama diposisikan sebagai antitesa dari budaya dan tradisi yang telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sejak lama.

Pertanyaan tersebut sekaligus menjadi sebuah bukti, bahwa hingga dewasa ini, masih banyak di antara kita yang mengira atau bahkan meyakini bahwa agama dan budaya adalah dua entitas yang beroposisi biner, padahal sejatinya agama dan budaya dapat hadir berkelindan dalam perikehidupan kita.

Akomodasi

Agama yang bersifat Illahiah, tak akan mungkin hadir dalam realitas yang kosong, agama membutuhkan ruang perwujudan, di mana terdapat ranah dan infrastruktur kehidupan, seperti sujud yang membutuhkan sajadah. Sehingga agama membutuhkan kebudayaan sebagai basis yang menggerakkan alam bawah sadar manusia, untuk berlaku dan bertutur secara naluriah. Bahkan ada yang menganggap bahwa praktik keberagamaan, adalah kebudayaan dalam makna luas.

Ketika penghayatan terhadap keberagamaan diwujudkan dalam kebudayaan secara terus-menerus dalam kurun waktu yang panjang, di sanalah agama dan kebudayaan itu saling memeluk dan berkoeksistensi.

Nilai-nilai agama kerap melahirkan ekspresi kebudayaan yang termanifestasi dalam tradisi berbasis lokalitas masyarakat, seperti tradisi Maulid Nabi Muhammad saw yang kini tengah berlangsung di seantero Nusantara, bahkan dunia. Hal ini merefleksikan bagaimana Islam mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dalam sebuah lokalitas.

Kecintaan terhadap Rasulullah Muhammad yang merupakan salah satu bagian inti ajaran Islam, diekspresikan melalui sebuah peringatan yang memanfaatkan sumber daya lokal, baik yang berasal dari hasil alam daerah setempat, maupun dari hasil kreativitas masyarakat sesuai dengan basis lokalitasnya.

Dalam tradisi Maulid Nabi, kita dapat menyaksikan bagaimana agama hadir dan menggerakkan kebudayaan. Kebudayaan yang berasaskan keluhuran dan kearifan. Manusia dan alam hadir, bershalawat kepada Sang suri tauladan, serta memuja dan memuji keagungan Allah swt. Orang-orang saling bersilaturrahim dan membagi kebahagiaan, muslim KTP dan muslim kaffah melebur dalam ekspresi tradisi, sama-sama mendapat berkah Maulid.

Islam Lokal

Agama, dalam hal ini Islam, ketika pertama kali dirisalahkan ke dunia, tidaklah hadir dalam masyarakat yang hampa budaya, tradisi dan adat-istiadat bangsa Arab. Islam hadir dalam realitas kehidupan masyarakat Arab yang telah memiliki kebudayaan dan peradaban. Menurut Khalil Abdul Karim hadirnya Islam di tengah masa keemasan Suku Quraisy, bukan hanya berbicara soal kebenaran dalam beragama, lebih dari itu di belakangnya terdapat pergulatan kebudayaan dan pertarungan kekuasaan bangsa Arab.

Sehingga lahir keniscayaan terjalinnya hubungan yang apik antara ajaran Islam dengan lokalitas kearaban, temu tengkar Islam dan lokalitas kearaban terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Bahkan sering kali Islam dan Arab menjadi sesuatu yang hadir dalam rupa yang identik dalam kebudayaan masyarakat, ini sekaligus bukti bahwa Islam membutuhkan kebudayaan sebagai basis sosial untuk menjadi media aktualisasi ajarannya.

Hanya saja mendudukkan Islam sebagai ajaran yang universal dan kebudayaan Arab dalam proporsi lokalitasnya menjadi penting, agar tidak terjadi klaim “kebudayaan Islam” yang tunggal, karena senantiasa terdapat peluang, di mana ajaran Islam dapat bernegosiasi dengan kebudayaan yang ada di berbagai lokalitas. Bahkan nilai-nilai Islam dapat hadir dalam urat nadi kebudayaan tersebut, untuk saling memberi dan menerima dalam koridor-koridor yang negosiatif, tanpa saling menegasikan.

Islam yang tercerabut dari akar kebudayaan justru akan kering dari nilai-nilai kearifan dalam merespons kenyataan-kenyataan faktual yang terjadi. Karena kebudayaan sebagai nilai, praktik dan laku kehidupan sebuah masyarakat, memiliki daya imunitas yang lebih kuat dari pada agama sebagai doktrin semata-mata.

Di Indonesia, terdapat gerakan Islam reformis yang puritanistik, gerakan ini mengandaikan adanya Islam yang murni, Islam yang tak terkontaminasi oleh budaya dan tradisi lokal, Islam model inilah yang diklaim sebagai Islam yang kaffah, sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad, sahabat dan generasi salaf. Padahal ukuran kemurnian Islam tidaklah terletak pada kebudayaan yang hadir menyertainya, melainkan pada subtansi ajaran yang akan terus-menerus mengalami pergulatan dengan konteks zaman (waktu) dan makan (ruang) tertentu, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dasar dari syari’atnya.

Islam dengan wajah lokal, adalah Islam yang telah melalui pergulatan panjang dengan agama, budaya hingga kekuasaan (politik) di sebuah lokalitas tertentu, sehingga Islam model ini telah memiliki daya tahan yang kuat, karena selain telah hadir dan membentuk sebuah kebudayaan dalam masyarakat, juga telah mengalami berbagai pengalaman negosiasi dari masa ke masa. Semua pengalaman itu adalah modal yang sangat berharga untuk membangun masyarakat Islam, di mana agama dan kebudayaan menjadi panglima kehidupan.

(Artikel ini pertama kali dimuat di rubrik Opini, Harian Tribun Timur, 8 Januari 2016)

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar, Sulawesi Selatan.