Social Media

Percik-Percik Retrospektip, dan Perjumpaan Wasiat Abah Guru Sekumpul-9 Nilai Utama Gus Dur

Minggu 10 April 2016, ratusan ribu jemaah hadir pada kegiatan Haul KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani yang ke-11 di Sekumpul, Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Para jemaah yang hadir tidak hanya memadati kubah Makam dan kompleks Mushala Ar-Raudhah,namun juga menyeruak ke rumah-rumah warga sekitar kompleks dan seluruh jalan hingga ke jalan-jalan raya. Estimasi sekitar 500 ribu jemaah ini datang dari berbagai penjuru, ada yang dari Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Jatim, Jabar, Jateng, Jakarta hingga Malaysia, Brunei, Yaman dan Turki. Haul ulama kharismatik Kalimantan Selatan yang lebih akrab disapa Abah Guru Sekumpul ini selain untuk mengambil barokah ulama besar juga menjadi ajang silaturahmi umat Islam serta sebagai momen mengenang salah satu ulama Nusantara di Tanah Borneo Bumi Lambung Mangkurat.

Cuaca sore yang panas tidak menyulutkan semangat umat Islam untuk berkumpul, acara haul dimulai ba’da (sesudah) magrib, namun acara sudah dimulai sejak pukul 16.00 Wita. Kegiatan dimulai dengan sholat Ashar berjamaah, dilanjutkan dengan pemutaran rekaman video ceramah abah Guru Sekumpul.  Menonton rekaman ceramah ini, para jemaah mengingatkan kembali akan sosok Abah Guru Sekumpul sebelas tahun silam yang berdakwah dengan santun, halus, menyejukkan, dan menghibur. Bapak-bapak, ibu-ibu, remaja putra-putri mudah mencerna karena bahasa/ kata-kata beliau  lugas dan sangat komunikatif. Tema ceramah Abah Guru Sekumpul pada haul ini adalah tentang menuntut ilmu, dan bahkan meskipun hanya pemutaran video namun isi dakwah ceramah beliau tampak sangat mengena, aktual dan relevan.  Setelah pemutaran video, dilanjutkan pembacaan Rothibul Attas  dan do’a hingga magrib.

Setelah sholat magrib, dilanjutkan dengan pembacaan  mada’ih an-nabawiyyah (al-Barzanji, ad-Diba’I, al-Bushiri) dalam al-Burdah. Kerinduan pada Abah Guru Sekumpul semakin terobati karena pada saat itu juga menyaksikan langsung dua putra Abah Guru Sekumpul, Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali yang melantunkan sholawat sambil memainkan terbang. Selain keduanya sangat mirip dengan ayahnya (Abah Guru Sekumpul), pun kekhusyukan mereka dalam cara melantunkan Sholawat sangat mirip dengan Abah Guru Sekumpul. Selanjutnya haul pun dimulai. Pembacaan haul dipimpin oleh tokok-tokoh ulama lokal dan internasional, termasuk  juga Habib Syeikh Fadhil al-Jilani yang merupakan ulama keturunan ulama ternama Syeikh Abdul Qodir al-Jailani. Pada saat dzikir bersama tampak terlihat semua jemaah yang hadir hanyut dalam dzikir tersebut, dan bahkan banyak yang menangis dalam khusyuk. Setelah do’a haul, ditutuplah kegiatan haul dengan sholat Isya berjamaah. Itulah sekelumit teropong kegiatan Haul ke- 11 Abah Guru Sekumpul.  Lalu siapakah sebenarnya Abah Guru Sekumpul ini?

Sosok Abah Guru Sekumpul Sesungguhnya

Abah Guru Sekumpul lahir di Desa Tunggulirang Seberang Martapura, pada malam Rabu 27 Muharram 1361, dan berpulang kerahmatullah  berjiwar dengan Allah dalam keabadian pada 5 Rajab 1426 H atau 10 Agustus 2005 silam. Abah Guru Sekumpul Kecil adalah anak yang mahfudz (terpelihara/ terjaga). Beliau adalah seorang yang sholeh karena dididik  oleh orang tuanya ilmu agama dan ketaatan beragama. Dibimbing oleh neneknya (Salbiah) dan pamannya (KH. Seman Mulia), serta berguru,  menimba ilmu agama dan suluk pada banyak ulama, kyai, qari, hafidz, syeikh dan Quthb syeikh menjadikan Abah Guru Sekumpul memiliki pribadi ber-akhlak mulia-berbudi luhur, memuliakan para ulama, memiliki nilai-nilai ketauhidan dan nilai-nilai Qurani yang sangat tinggi, tahfidz Alquran, serta memiliki keistimewaan kasyaf hissi sejak beliau masih anak-anak (dianugerahi dapat mengetahui/mendengar apa yang terdinding di dalam sesuatu termasuk yang tersembunyi di dalam hati tiap orang). 

Abah Guru Sekumpul atau Guru Ijay Martapura adalah sebutan nama dari Waliyullah Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin H. Muhammad Sa’ad bin H. Abdullah bin Al-Mufti H. Muhammad Khalid bin Al-Amin Al-Alalamah Al-Khalifah H. Hasanuddin bin Maulana Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (atau Datu Kalampayan, Mufti penasehat agama pada masa kesultanan Banjar, seorang ulama yang sangat berpengaruh dalam sejarah pengembangan syiar agama Islam di Bumi Kalimantan).  Abah Guru Sekumpul membangun kompleks ar-Raudhah, yang di dalam kompleks tersebut juga dibangun sebuah mushala. Disanalah beliau mengajarkan ilmu syariat-hakikat-marifat kepada jemaahnya, memimpin jamaah agar mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau mengajarkan tentang Islam dengan cara sangat halus dan menyejukkan,  dakwah beliau banyak mengajak jemaah untuk introspeksi diri, dan dalam memahamkan ilmu agama beliau berdakwah sangat jauh dari literasi pemaksaan ataupun bersifat kekerasan. Pengajaran agama beliau lebih banyak bersifat internalisasi ke diri individu sebagai muslim ketimbang justifikasi menyalahkan orang lain maupun orang diluar Islam.  Abah Guru Sekumpul adalah ulama Kalimantan Selatan yang mengajarkan Thoriqat as-Sammaniyyah dan bahkan satu-satunya ulama Indonesia yang mendapat izin memberi ijazah Thoriqot tersebut.

Retrospektip Wasiat Abah Guru Sekumpul

Kepergian Abah Guru Sekumpul membuat masyarakat sangat kehilangan dan berduka. Makam beliau selalu diziarahi tak henti-hentinya setiap hari. Peziarah tidak hanya datang dari Kalimantan Selatan tapi juga dari luar pulau Kalimantan bahkan dari luar negeri. Kegiatan haul dijadikan juga oleh jemaah untuk mengambil barokah kewalian beliau, tak ketinggalan apa lagi warga disekitar kompleks ar-Raudhah, misalnya memberi tumpangan tempat tinggal/menginap bagi para jemaah yang berasal dari luar kota, membagi-bagikan makanan nasi samin, kue, air mineral secara cuma-cuma (gratis), dan bergotong-royong menyiapkan segala hal demi suksesnya haul Abah Guru Sekumpul tiap tahunnya.

Ada hal-hal esensi dari Haul Nasional Abah Guru Sekumpul tersebut, yakni selain untuk menambah kecintaan pada alim ulama dan menjadikannya sebagai tauladan, haul juga sebagai oase spiritual umat Islam di zaman cosmopolitan. Tambahan pula, haul Abah Guru Sekumpul adalah sebagai reminder system orang Banjar agar senantiasa mengamalkan wasiat Abah Guru Sekumpul. Ada 10 nasehat Abah Guru Sekumpul yang diwasiatkan kepada jemaahnya dan seluruh masyarakat Kalimantan, yaitu: 1) Menghormati ulama, 2) Murah diri, murah hati, manis muka, 3) Memaafkan segala kesalahan orang lain, 4) Jangan bersifat tamak dan memakan harta riba, 5) Jangan menyakiti orang lain, 6) Jangan merasa baik dari orang lain, 7) Berpegang kepada Allah segala hajat yang dikehendaki, 8) Baik sangka terhadap muslim, 9) banyak-banyak sabar apabila mendapat musibah, banyak-banyak syukur atas nikmat, 10) Tiap-tiap orang yang iri dengki atau adu asah jangan dilayani, serahkan segala sesuai kepada Allah (tawakkal). Para jemaah dan masyarakat Kalimantan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta komunitas Para Pencinta Abah Guru Sekumpul (Komunitas PPAGS)—satu sama lain—saling mengingatkan akan wasiat ini baik ketika berada di lingkungan sosial masyarakat maupun di dunia virtual.

Wasiat tersebut adalah bagian kearifan lokal ulama kharismatik Borneo, dan ini mengisyaraktkan agar warga Kalimantan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya agar mengamalkan dan membumisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 10 wasiat Abah Guru Sekumpul ini mengarahkan pada pandangan substansi beragama yang inklusif humanis profetik. Inklusif humanis profetik adalah sebuah konsep vertikal-horizontal, komprehensif  amaliyah dari habluminallah, habluminannas dan hablumin’alam, dan ia lebih bersifat intrinsik dari kesadaran (consciousness) diri pribadi.  Keseluruhan warisan wasiat tersebut saling terintegrasi satu dengan lainnya, sehingga selain sebagai khalifah fil ard dan ibadullah, manusia juga sebagai ibadurrahman yang secara ritual dan sosial melakukan ibadah dengan penuh rasa cinta, baik interaksinya dengan Allah, interaksinya dengan sesama orang Islam, interaksinya dengan sesama warga Indonesia,  interaksinya sesama manusia, hingga interaksinya dengan semua alam dengan segala isinya yang merupakan ciptaan Allah Swt. Sikap pola keagamaan yang inklusif humanis profetik bertujuan untuk menciptakan lingkungan beragama yang sehat dan dinamis, mampu menjadi pemersatu Islam dan kedamaian di lingkungan masyarakat (pluralistik)  Indonesia. Wasiat ini diamalkan baik ketika bersentuhan dengan ras, etnis, kelas sosial, kelompok budaya, dan atau bahkan paham/agama yang berbeda.  Abah Guru Sekumpul dalam wasiatnya mengisyaratkan kepada jemaah dan seluruh masyarakat untuk menyadari secara penuh akan adanya sunatullah dalam keragaman pikiran/pendapat/pemahaman, semuanya adalah bagian dari fakta sosial, sehingga tidak dapat dipungkiri. Namun fakta sosial tersebut bisa disikapi dengan mengamalkan wasiat Abah Guru Sekumpul. Kesepuluh wasiat Abah Guru Sekumpul tersebut adalah amalan yang sangat mulia dalam menghantarkan kehidupan bermasyarakat menjadi aman, damai, tentram dan sejahtera (baik di dunia maupun di akhirat).

Wasiat Abah Guru Sekumpul dan Nilai-Nilai Gus Dur serta Perjumpaan Keduanya

Inklusif humanis profetik merupakan entitas dari ajaran Islam Nusantara.  Inklusif humanis profetik bisa juga disebut sebagai nilai-nilai filosofis etis keislaman yang humanistik dan terbuka. Inklusif artinya menghargai pendapat maupun kebenaran yang berasal dari berbagai sumber. Humanis berarti walaupun berbeda pendapat/pandangan keagamaan tetap menjunjung tinggi moralitas universal, sehingga mendorong terciptanya keadilan sosial, menjaga keutuhan persatuan, dan kelestarian alam serta meminimalisir sikap anarkis ataupun radikalisme agama. Profetik adalah berkenaan dengan kenabian yang artinya perspektif yang utuh dan terintegrasi antara domain yang disebutkan Allah dalam kitab suci Alquran, domain keilmuan, dan domain amalan-amalan etika praktis (akhlak).

Cita-cita dari inklusif humanis profetik tentu saja menjadikan seseorang beragama yang matang, sholeh secara ritual maupun sosial. keimanannya tinggi, kemanusiaannya juga tidak kalah tinggi, dan kematangannya dalam beragama pun menjadikan ia seorang pribadi yang inklusif, jauh dari berpahaman fanatik sempit, primordialisme kelompok ataupun beragama dengan aksi destruktif. Tentunya individu yang inklusif humanis profetik ini  akan selalu menyebar kedamaian di muka bumi dan menjadi rahmat untuk semesta alam (Rahmatan lil ‘Alamin).

Beragama yang inkusif humanis profetik juga diajarkan dan dicontohkan oleh KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa “Gus Dur”. Jika Abah Guru Sekumpul dalam wasiatnya mengarah pada ajaran akhlak tasawuf dan suluk Shammaniyyah yang ditujukan kepada murid, jemaah dan individu orang Islam (insider-internal), inklusif humanis profetik Gus Dur bersifat global yang dipahami bisa diimplementasikan untuk siapa saja (Insider outsider-internal eksternal). Namun, secara general  inklusif humanis profetik Gus Dur—baik dalam pandangan esoterik dan eksoterik—juga sebenarnya sama seperti Abah Guru Sekumpul yakni manifestasi dari hubungan ke Tuhan, hubungan kepada sesama manusia, dan hubungan ke alam. Inklusif humanis profetik Gus Dur dikenal dengan 9 nilai utama Gus Dur yaitu  ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal. Nilai-nilai yang didapat dari pemikiran dan perjuangan Gus Dur ini merupakan rumusan dari orang-orang yang bersentuhan langsung dengan Gus Dur dalam keseharian. Nilai-nilai tauladan dari Gus Dur tersebut diteruskan oleh GUSDURian, para murid, pengagum, dan orang-orang yang tergerak hatinya untuk mengamalkan, menyuarakan dan medakwahkan prinsip nilai tersebut (baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional). Sudah seharusnya prinsip nilai dari “bapak Bangsa” ini diteruskan dan diteladani oleh generasi bangsa. Nilai inklusif humanis profetik dari Pesiden ke-4 ini menjadi jembatan dan alternatif dalam mengelola dan merawat identitas bangsa Indonesia yang beragama, berbudaya, berbangsa (berlandaskan filosofi bhineka tunggal ika). Ketauhidan dan nilai-nilai lainnya menjadikan warga Indonesia menjadi ikon pancasilais sesungguhnya. Dengan aksi transformatif (yang mengintegrasikan agama dan budaya) menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang beradab.

Berangkat dari dua premis inklusif humanis profetik—wasiat abah Guru Sekumpul dan 9 Nilai Utama Gus Dur—ini, maka menjadi suatu affirmative action bagi umat muslim Indonesia dan warga Indonesia secara umum untuk senantiasa mengamalkannya baik ketika berperan sebagai seorang muslim, perannya ketika sebagai bagian masyarakat Indonesia maupun perannya sebagai warga desa dunia global (Global village). Wasiat dan nilai dua ulama kontemporer ini sangat urgen untuk dibumisasikan karena sangat relevan dan sesuai dengan konteks tantangan zaman. Selain memiliki persamaan dalam aspek wasiat dan nilai inklusif humanis profetiknya, Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur adalah dua orang panutan yang memiliki sifat dan sikap yang sangat mulia, penyayang, tidak pemarah, ramah, pemurah, sabar, ridho, humoris, dicintai oleh banyak orang multi agama-multi etnis, dan bahkan jika ada kritikan dari orang yang tidak senang kepada Abah Guru Sekumpul maupun Gus Dur, beliau berdua tidak membalas. Itulah perjumpaan Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur dalam menanamkan ajaran (engraft) Inklusif Humanis Profetik.

Sudah menjadi suatu ketetapan, ketika memiliki visi-misi hidup dan kesamaan tujuan dalam sutau hal pasti akan dipertemukan Allah Swt suatu saat, baik disengaja maupun tidak, begitupun juga yang terjadi pada Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur. Pada hari Jum’at, 26 Mei tahun 2000 itulah takdir Allah Swt dalam memperjumpakan dua orang  waliyullah yang memiliki aspirasi inklusif humanis profetik yang sama ini. Gus Dur bersilaturahmi ke Martapura bertandang mengunjungi Abah Guru Sekumpul dan berziarah ke makan Maulana Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.  Ada beberapa hal unik pada pertemuan Abah guru Sekumpul dan Gus Dur, yang pertama yaitu keduanya tampak sangat akrab dan penuh canda tawa. Keduanya seperti sahabat lama yang baru bisa berjumpa kembali pada saat itu (padahal secara awam Gus Dur dan abah Guru Sekumpul baru pertama kali bertemu satu sama lain). Keunikan lain, Gus Dur ada memberi bingkisan untuk Abah Guru Sekumpul, yang ternyata isinya adalah satu pak rokok bermerek Istana Presiden.  Gus Dur tahu kalau Abah Guru Sekumpul suka merokok, Abah Guru Sekumpul menerimanya, tertawa sangat senang dan berterima kasih.  Peristiwa itu merupakan kejadian “langka” yang senantiasa dikenang Urang Banua (atau orang Kalimantan). Kisah dua ulama yang sangat dicintai ini sering didengarkan oleh generasi-generasi muda Borneo. Kisah pertemuan Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur ini menambah daftar kisah-kisah dan karomah waliyullah. 

Sikap dan sifat Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur yang inklusif serta dakwah yang menyejukkan dari keduanya membuat jemaah dan masyarakat mau mengamalkan ilmu dan apa-apa yang telah dinasehatkan.  Konten wasiat dan nilai-nilai dari Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur tidak ada unsur menghina penganut ajaran lain, tidak ada menjustifikasi orang lain dan apalagi menyerang, semuanya murni diajarkan untuk kesadaran diri/introspeksi diri tiap individu. Dakwah yang bersifat dialogis partisipatoris dengan ilmu agama yang disampaikan sesuai realitas kontekstual ditambah juga anekdot dan pribadi yang humoris membuat masyarakat cinta kepada keduanya, dan mau mngamalkan ajarannya. Tentu saja ini membuahkan munculnya output amaliyah sinergitas ukhuwah wathaniyyah, insaniyyah/ bashariyyah,  fiddin, dan ubuddiyah dalam pergumulan hidup di dunia modern, Wasiat Abah Guru Sekumpul dan 9 keteladanan nilai dari Gus Dur membuat “ajaran agama” mendarah daging, “kesadaran keragaman” membudaya, “persatuan” semakin mengakar, dan “pesaudaraan” pun menjadi distingsi karakteristik tersendiri dalam amal ibadah sosial di Indonesia.

Praktik hidup bermasyarakat pancasilais yang  inklusif humanis profetik sudah seharusnya menjadi kerangka implementasi bangsa Indonesia yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo dan ber-bhineka tunggal ika. Wasiat Abah Guru Sekumpul dan nilai-nilai keteladanan dari Gus Dur bisa menjadi alternatif jembatannya. Dengan mengikuti nasehat Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur serta ulama-ulama nusantara maka masyarakat bisa membentengi diri dari  paham-paham yang suka memecah belah persaudaraan dan mempererat kesatuan bangsa. Sebagaimana Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur ajarkan bahwa keunikan wahyu Allah dan keselamatan rahmat bagi semua adalah sesuai hak mereka dilihat dari pandangan Allah Swt (Almighty God). Posisi Allah Swt tidak dapat diambil/diwakilkan oleh”siapa saja”, semua penilaian adalah hak prerogatif Allah Swt. Oleh karenanya “paham inferior”, “minder dengan ajaran agama- budaya sendiri”, “paham truth claim-takfiri-suka menyalahkan” dan “faham-faham trans-nasional” harus dihindari karena tidak sesuai dengan karakteristik seorang muslim dan sebagai orang yang berbangsa Indonesia.

Oleh karenanya, praksis dari wasiat Abah Guru Sekumpul dan 9 Nilai – nilai Gus Dur perlu didukung semua pihak, penyadaran pada peradaban masyarakat (resuscitation of public sphere) secara dini juga perlu diperhatikan. Pemahaman agama yang disertai nasehat-nasehat  dan tauladan seperti Abah Guru Sekumpul dan Gus Dur  kepada generasi muda harus menjadi mainstream utama. Oleh karenanya, hal yang tidak wajar jika melihat wasiat Abah Guru Sekumpul dan 9 nilai utama Gus Dur hanya sebagai suatu bagian ilmu etika tanpa aksi.  Penyadaran melalui pengetahuan tentang wasiat Abah Guru Sekumpul dan nilai-nilai tauladan dari Gus Dur  sudah seyogyanya disampaikan secara massif dan terakomodir (baik dalam lingkup komunal ataupun global) oleh siapa saja yang mau meneruskan perjuangan kedua ulama ini. Wasiat Abah Guru Sekumpul dan nilai Gus Dur  diamalkan, dan selanjutnya warisan keduanya ini menjadi affirmasi kultur masyarakat Indonesia.  Memiliki nilai andragogi, kemampuan analitis, cakap mengambil pilihan, menguasai ilmu pengetahuan, gemar belajar dan menimba ilmu agama, arif bijaksana, daya  kreatif, rajin, kerja keras, tahan uji, suka berbaik sangka, cinta perdamaian, toleransi terhadap perbedaan, menyadari akan adanya keragaman, persatuan  Indonesia pluralistik, berakhlak mulia, bermoral, religius substantif (esoterik)  dan sopan santun di masyarakat; mengenal adat istiadat dan mengenal tata pergaulan lokal dan global keseluruhannya merupakan pengejawantahan dari warisan wasiat Abah Guru Sekumpul dan 9 Nilai utama Gus Dur.

Itulah dua warisan inklusif humanis profetik ulama Nusantara sebagai alternatif common platform dan legitimasi aksi Pancasila sebagai prinsip kalimatussawa’ orang Indonesia. Warisan nilai ini bisa dijadikan senjata untuk melawan musuh bersama Indonesia seperti kekerasan, perpecahan, kemiskinan, korupsi, manipulasi, dan sejenisnya. Untuk amaliah nilai-nilai yang diajarkan ulama tersebut tidak bisa terjadi secara langsung, namun tentunya harus ada kesadaran, komitmen, dan inisiatif diri—baik secara intrapersonal maupun interpersonal—oleh setiap orang

Terakhir—sebagai retrospektif wasiat Abah guru Sekumpul dan 9 Nilai Utama Gus Dur—cukuplah kisah nenek moyang, Habil dan Qabil (Kain) (Al-Baqarah 2:30/ Al-Maaidah 5:27/Genesis 4:3-16)  menjadi meta narrative sejarah peradaban manusia dan sebagai cerita historis simbolik refleksi diri agar semakin bertaqwa, dengan  jalan manifestasi sikap menolak konflik dan berupaya selalu menebar cinta-kasih dan perdamaian (sebagaimana yang diajarkan oleh para nabi dan rasul, para sahabat Rasulullah Saw, hingga diperjuangkan oleh para ulama sekarang).  Label keturunan “pembunuh” dihapus dengan label keturunan “Adam yang bertobat”. Pendekatan yang dilakukan sekarang ini bagi orang Indonesia adalah dengan jalan menebarkan hukum dialog demi tercapai pemahaman, akuntabilitas dan tanggung jawab moral. Harus diingat bahwa agama tidak ada yang menghasilkan individu yang arogan dan melakukan aksi destruktif.  Jangan terkurung dan mengikuti hukum rimba, Sebagai kontemplasi tulisan, mari buktikan bahwa millennia ke tiga dan  seterusnya orang Indonesia bukan seperti yang didakwakan malaikat “bahwa Tuhan menciptakan di dunia wujud manusia yang menyebarkan kerusakan dan suka menumpahkan darah”. Jika tidak mau membuktikan, maka (secara metafisis) benarlah perspektif  figurative malaikat tentang manusia tersebut, dan iblis pun ikut tertawa “pena ajena” melihat tingkah manusia. Dengan mengamalkan wasiat Abah guru Sekumpul dan 9 Nilai utama Gus Dur dalam konteks sekarang ini maka sedikit banyak turut mengurangi dan bahkan menghilangkan sikap homo homini lupus, jangan sampai individu peradaban modern ini malah mengafirmasi bahwa “manusia tak lebih dari kumpulan hewan berakal yang saling memangsa dan menghancurkan satu sama lain”. Naudzubillahimindzalik! Jadi, pertanyaan retorik akhir sebagai kontemplasi—internalisasi diri—dan  referensi renungan orang nusantara: Apakah anda mau turut serta mengamalkan warisan ajaran inklusif humansi profetik ulama nusantara ini? dan bersediakah juga menyebarluaskan wasiat Abah Guru Sekumpul dan 9 Nilai Gus Dur di Masyarakat?

Berkecimpung di kajian pendidikan multikultural. Menjadi Duta Agama mewakili Islam Indonesia di Future Faith Leaders Asia Pacific. Aktif di GUSDURian Kalimantan Selatan, sebelumnya aktif di Paham Qurani Indonesia dan IPPNU.