Acara masak-memasak termasuk acara televisi yang saya suka tonton apabila ada waktu luang. Walaupun tidak menjadi lebih pintar setelah menontonnya, saya menikmati bagaimana masterchefs mengolah bahan mentah menjadi sebentuk makanan siap santap. Dulu saya tidak tahu bagaimana memasak lasagna atau sop konro, sekarang saya sedikitnya mengerti.
Bayangan dapur masterchefs seketika muncul di kepala setelah menyaksikan drama-drama politik Indonesia hampir dua minggu terakhir ini. Fakta-fakta yang dulu tidak bisa diketahui oleh masyarakat umum dan hanya tersirkulasi sebagai gosip politik mendadak menjadi informasi yang beredar luas dan tak dapat dikendalikan persebarannya. Hal-hal yang dulu hanya samar-samar atau abu-abu sekarang makin terang benderang terlihat oleh mata awam.
Mata awam masyarakat pun membelalak menyaksikan sepak terjang politisi-politisi yang mempertontonkan betapa karut-marut perebutan kekuasaan serta bagaimana sebuah keputusan politik dibuat. Sebagian publik menonton penuh kemarahan, sebagian penuh cibiran, dan sebagian penuh dengan rasa cemas akan masa depan. Sebagian lainnya mencernanya sebagai keniscayaan, sebagaimana ujar Machiavelli: politics have no relation to morals, politik tidak ada hubungannya dengan moral.
Sandera-menyandera kepentingan, saling tikam dari belakang, transaksi politik tanpa janji pasti, pengingkaran gentlemen’s agreement, segalanya terjadi semacam plot sinetron di televisi. Masyarakat pun menyaksikan dengan gamblang: jangankan bicara nasib rakyat, atau ide-strategi program pembangunan, bayangan masa depan bangsa pun tak diindahkan. Hanya satu saja yang diperebutkan oleh para politisi: tiket menuju kue kekuasaan.
Tak sampai satu dasawarsa lalu, realitas politisi dan realitas publik adalah dua sphere (ruang) yang berbeda. Saat mereka sedang berada di balik layar, perkataan dan perbuatan yang muncul dari para politisi sering sekali berbeda dengan yang mereka tampilkan di panggung publik. Bagi para politisi, ini hal lumrah. Mereka menganggap ini sebagai realitas politik, semacam urusan dapur yang tidak layak dibawa ke ruang tamu, apalagi dibawa ke jalan raya di depan rumah di mana banyak warga berkerumun.
Ini membuat di masa lalu politisi tak pernah bisa dituntut integritasnya. Publik tak punya akses pada dapur para politisi, tidak pernah mengerti bahan mentah apa dan bagaimana mengolahnya sebelum disajikan dalam bentuk makanan siap santap. Publik tidak pernah mengerti proses tawar-menawar dengan supplier bahan atau pemodal dapur. Para politisi tidak terdesak oleh mekanisme pertanggungjawaban langsung, toh publik tak tahu apakah mereka menggunakan bahan kedaluwarsa atau menggunakan zat aditif berbahaya yang memunculkan rasa enak.
Akan tetapi, perkembangan teknologi informasi mengubah itu semua. Apa yang terjadi di balik layar atau di dapur sekarang bisa disiarkan melebihi ruang fisik yang menjadi konteks. Pemirsa bisa ikut menyaksikan bahan mentah di dapur diproses dan dimasak, tidak hanya menunggu dan menerima hasil jadi akhir makanan. Mereka bisa melihat jika ada bahan yang tidak diolah dengan kaidah yang sesuai. Maka, mereka kemudian bisa meninggalkan atau menindaklanjutinya dengan langkah lebih konkret. Apalagi jika salah satu peserta bisa ikut mengabarkan apa yang terjadi dalam proses masak-memasak tersebut.
Menurut Muel (2014), nilai moral penting dalam integritas politisi adalah faithfulness (kesetiaan), humility (kerendahan hati), dan accountability (dapat mempertanggungjawabkan). Sementara SMR Covey (2000) menyebutkan, integritas terbentuk dari humility (kerendahan hati), congruence (keselarasan), honesty (kejujuran), dan courage (keberanian). Integritas dan itikad menjadi karakter dasar yang menentukan kredibilitas seseorang, terutama pejabat publik.
Dari semua atribut tersebut, drama politik Indonesia minggu ini hanya menampilkan bahan berupa keberanian para politisi dalam berebut bahan membuat kue kekuasaan. Selainnya, tidak tersedia atau bahannya membusuk. Misalnya, bahan berupa kesetiaan, atau kongruensi antara ucapan dan tindakan, antara hari ini dan sikap beberapa hari sebelumnya. Kita tahu, dalam drama seminggu ini, hal-hal tersebut sudah menimbulkan bau anyir yang menyengat publik. Dan kita tahu, gelombang ketidakpuasan pun mulai muncul, yang berujung pada sikap calon pemilih yang wait and see. Sikap ini menjadi konsekuensi logis dan langsung atas perilaku politisi, dan ini menjadi mekanisme insentif yang sehat bagi masa depan politik Indonesia.
Walaupun berpotensi menimbulkan problema fake news dan konten yang tak terkendali, kita harus akui bahwa teknologi informasi memberikan ruang pendidikan politik kepada warga negara. Masyarakat dapat mulai memanfaatkannya untuk memantau proses yang terjadi di dapur masterchefs politik. Saatnya warga negara Indonesia menuntut politisi untuk akuntabel, mampu mempertanggungjawabkan tindakannya. Karena tinta mereka menentukan nasib kita, demikian meminjam istilah akun Twitter @pantauDPR. Politisi hanya berpikir sampai pemilihan umum berikutnya, sedangkan negarawan memikirkan generasi berikutnya. Inilah perbedaan antara politisi dan negarawan, menurut James F. Clarke. Masih bisakah kita berharap dari kedua pasang capres-cawapres untuk menunjukkan sikap negarawan, bukan sikap politisi? Semoga, agar nasib bangsa dan rakyat tidak digadaikan hanya untuk siklus lima tahunan. Semoga.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 19 Agustus 2018)