Merindu Negarawan

Bagai banjir bandang, publik mengalami pendidikan literasi legislatif yang luar biasa dalam beberapa waktu terakhir ini. Rancangan regulasi dari berbagai sektor mengalir deras melalui semua kanal media informasi. Rancangan UU Pesantren, UU Pertanahan, UU Keamanan dan Ketahanan Siber, UU Penghapusan Kekerasan Seksual, Revisi UU Perkawinan dan Revisi UU KPK serta berbagai regulasi lainnya mendadak menjadi terminologi yang populer. Perdebatan sengit terjadi antara pemerintah, partai politik, kelompok-kelompok pendukung Pemerintah, gerakan masyarakat sipil termasuk akademia, serta media massa offline dan online. Sebagai sebuah fenomena, ini adalah momen pendidikan politik rakyat.

Parlemen yang selama lima tahun ini dikritik tidak produktif menghasilkan legislasi sebagai bangunan dan tatanan hidup berbangsa bernegara, dalam sebulan terakhir masa jabatannya terlihat kejar tayang menyelesaikan begitu banyak rancangan legislasi. Publik memprotes fakta bahwa sebagian rancangan tersebut diproses tanpa kajian yang berimbang dan komprehensif, kurang melibatkan, untuk tidak menyebut dengan mengabaikan, pihak-pihak yang berkepentingan, dan tergopoh-gopoh sehingga banyak pasalnya menimbulkan kontroversi.

Masyarakat menyaksikan secara gamblang akrobat parlemen tersebut dan memahaminya sebagai pemenuhan hasrat partai politik melalui mekanisme demokrasi yang ada. Agaknya, para politisi di parlemen ini tidak lebih dari pekerja politik. Yang konon berjuang untuk kepentingan rakyat, nyatanya justru bekerja untuk kepentingan dirinya dan partai politik. Sebagai pekerja politik, mereka memperhitungkan investasi dalam kampanye dan keuntungan yang akan mereka peroleh. Mereka memanfaatkan dan pada saat yang sama mengkhianati janji-janjinya pada rakyat.

Dan di saat-saat demikian, sosok para negarawan melintas di kesadaran kolektif kita. Masyarakat mendambakan Bung Karno, yang mampu membangun visi bangsa yang berdaulat dan jaya, bersatu di tengah keberagaman bangsa.  

Masyarakat mendambakan Bung Hatta, yang sama sekali tak memikirkan keuntungan ekonomi personal, selaras dengan gagasan besarnya tentang ekonomi yang adil sosial.

Masyarakat mendambakan Gus Dur, yang tak kenal lelah memperjuangkan demokrasi hakiki di atas prinsip kesetaraan warga negara, tak hanya memikirkan kepentingan Nahdlatul Ulama, organisasi besar yang dipimpinnya.

Masyarakat mendambakan Jenderal Soedirman, yang dalam kondisi sakit dan harus ditandu pun masih memimpin tentara Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Masyarakat mendambakan para ulama dalam BPUPKI, yang mengikhlaskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi cita-cita persatuan Nusantara.

Apa yang membuat mereka layak disebut sebagai negarawan? Walaupun area juang mereka beragam, dalam diri semua tokoh tersebut muncul beberapa karakteristik yang sama. Yang pertama adalah komitmen kebangsaan, yang membuat mereka bertindak demi keutuhan negara. Yang kedua adalah komitmen perjuangan untuk kemaslahatan masyarakat, yang tercermin dalam kebijakan yang adil bagi seluruh rakyat. Nilai keadilan serta kongruensi antara pemikiran dan tindakan menjadi ciri karakter yang menjiwai kedua komitmen tersebut.

Walhasil, rakyat benar-benar dapat melihat dan merasakan integritas pribadi sang negarawan, juga iktikad untuk mewujudkan kemaslahatan, jauh dari sikap dan tindakan manipulasi, eksploitasi, dan pengkhianatan terhadap komitmen kerakyatan. Menjadi negarawan adalah tentang pengabdian, bukan pekerjaan. Potret negarawan tersebut melekat kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat (collective consciousness) dan menjadi tolok ukur mereka untuk menilai para politisi.

Di tengah situasi Indonesia yang kewalahan menghadapi berbagai tantangan yang memberikan dampak cukup besar dalam kehidupan kita, seperti geopolitik dan pertarungan raksasa ekonomi dunia, pemberantasan korupsi, kontestasi ideologi yang menimbulkan kebencian antar kelompok, indeks pembangunan manusia yang  masih belum memuaskan, kita sangat membutuhkan figur negarawan.

Ironisnya sistem politik yang berlangsung di tanah air adalah sistem yang menghasilkan pekerja politik. Sulit mengharapkan lahirnya negarawan-negarawan dalam sistem politik yang seperti ini. Bila pun ada, terpinggirkan di dalam partai politiknya atau dalam parlemen.

Dalam kata-kata Winston Churchill: the difference between a politician and statesman is that a politican thinks about the next election, while the statesman thinks about the next generation – beda politisi dengan negarawan: politisi berpikir sampai pemilu berikutnya, sedangkan negarawan memikirkan generasi masa depan bangsanya.

Maka, kejutan ontran-ontran beberapa waktu terakhir yang telah menyadarkan masyarakat akan ketidakhadiran negarawan di tengah mereka, membuahkan kerinduan. Indonesia surplus politisi, miskin negarawan, kata Buya Syafii Maarif.

Kapankah krisis negarawan akan berakhir? Sampai kapan bangsa ini harus menunggu? Adakah satrio piningit yang akan hadir? Atau barangkali, satrio piningit bukanlah sosok seseorang, namun adalah karakter yang sedang kita harapkan. Sepertinya, kerinduan masyarakat terhadap lahirnya para negarawan disimbolkan melalui kerinduan terhadap satrio piningit. Akankah ia menjelma dalam diri para politisi? 

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 6 September 2020

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.